(10 menit sebelumnya)
Keheningan malam yang seharusnya memberikan sedikit ketenangan tiba-tiba pecah oleh suara listrik yang padam. Kiara terdiam sesaat, jantungnya berdebar kencang. Kegelapan menyeruak, mengisi setiap sudut rumah dengan rasa takut yang semakin menyesakkan. Ketika matanya mulai terbiasa dengan gelap, suara panggilan anak sulungnya terdengar pelan dari kamar.
“Mama…” suara lembut anaknya memanggil dari balik pintu. Kiara buru-buru beranjak untuk menenangkannya. Pasti anaknya terbangun karena kamar yang gelap dan panas.
Dengan cepat Kiara menuntun anaknya kembali tidur, meskipun dirinya sudah kelelahan luar biasa. Namun, begitu kembali ke kamar suami, dia mendapati Andra sudah pipis lagi. Tanpa bisa menunggu lama, Kiara segera membersihkan dan mengganti celana suaminya. Tapi kali ini, gelap gulita. Suasana seolah mencekik tenggorokannya, memperburuk keadaannya yang sudah kalut. Listrik belum juga menyala, dan Andra terus pipis tanpa bisa dikendalikan. Kiara merasa semakin terjepit di antara kewajiban untuk merawat suami dan lelah fisik yang semakin menyiksa.
Lelah sekali rasanya. Kiara terjatuh di samping suaminya, duduk terengah-engah dengan wajah basah oleh keringat. Tangisnya pecah, memenuhi keheningan malam.
“Maaf ya, Pa… aku nggak kuat lagi… maafin aku…” Kiara berbisik, tubuhnya lemas, tak mampu lagi berpikir jernih. “Ayo bangun, Pa, bantu aku...”
Tapi Andra tidak merespon. Suaranya hanya terhenti dengan erangan lemah, seolah menghilang dalam keheningan. Kiara merasa seperti berada di ujung jurang, dan hatinya semakin rapuh.