Bulan-bulan berlalu, dan Nadira semakin terbiasa dengan kehidupan di Jepang. Namun, tantangan baru muncul ketika semester kedua dimulai. Ia menemukan bahwa mata kuliah yang diambilnya semakin kompleks dan menuntut lebih banyak usaha dari dirinya. Materi yang disampaikan di kelas terasa lebih dalam, dan kadang-kadang membuatnya merasa kewalahan.
Suatu malam, setelah seharian mengikuti kuliah, Nadira duduk di mejanya, dikelilingi oleh buku-buku dan catatan. Ia memandang tumpukan tugas yang harus diselesaikan dan merasa sedikit tertekan. “Bagaimana bisa aku mengerjakan semuanya?” gumamnya, sambil meraba-raba buku catatannya.
Kekecewaan itu tidak hanya datang dari tuntutan akademis, tetapi juga dari kesulitan memahami beberapa konsep yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Terutama dalam mata kuliah matematika dan fisika, Nadira merasa kesulitan. Teman-temannya tampak lebih cepat menangkap materi, dan ini membuatnya merasa tertinggal.
Ia teringat saat di Indonesia, di mana ia selalu bisa meminta bantuan kepada guru atau teman sekelasnya. Di sini, ia merasa lebih terasing. Berbicara dalam bahasa Jepang dalam konteks akademik menjadi tantangan tersendiri. Meskipun ia telah belajar bahasa tersebut dengan baik, masih ada banyak kosakata dan istilah yang sulit dipahami.
Suatu hari, saat sedang menunggu kelas dimulai, Nadira melihat teman sekelasnya, Yuki, yang juga merupakan mahasiswa Jepang. Yuki terlihat sedang membaca buku dan membuat catatan. Nadira memberanikan diri untuk mendekatinya.
“Yuki, bisakah kamu membantu saya memahami materi matematika ini?” tanya Nadira dengan hati-hati.
Yuki menatapnya dan tersenyum. “Tentu! Ayo, kita bisa belajar bersama setelah kelas selesai. Saya akan menjelaskan beberapa konsep yang sulit,” jawabnya dengan antusias.