Langkah Jepen

Muhammad Agra Pratama Putra
Chapter #1

Bab 1-Langkah di Antara Riuh dan Riang

Langkah-langkah kecil itu mendarat halus di panggung kayu yang hangat. Gerakannya ringan, tapi matanya menyala tenang seperti Sungai Mahakam saat pagi baru menyapa. Mahakamaya, gadis muda itu, adalah pesona yang tumbuh dari rahim sejarah panjang Tenggarong. Setiap lenggok tubuhnya seolah menyulam ulang cerita leluhur yang tak pernah benar-benar usai.

Ia mengenakan ta’o berwarna emas gading dengan sulaman burung enggang di bagian dada. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi seraja dan bunga kamboja yang baru dipetik dari halaman belakang istana lama. Tangan-tangannya melayang, menyapu udara dengan gerakan halus yang telah ia pelajari sejak usia tujuh tahun.

Hari itu, seperti biasa, kota Tenggarong hidup dalam iramanya sendiri. Matahari memantulkan cahaya keemasan dari atas jembatan, menari-nari di permukaan Sungai Mahakam yang mengular di antara bangunan tua dan baru. Meski kini kafe-kafe mulai bermunculan di sisi jalan, dan gedung tinggi perlahan menyentuh langit, Tenggarong tetap menyimpan aroma tanah leluhur. Suasana asrinya belum hilang. Langitnya masih biru luas, anginnya masih membawa wangi kayu dan tanah basah setelah hujan subuh.

Dari kejauhan, suara tingkilan mulai terdengar   petikan gambus bersahut tepuk gendang, mengalun dengan irama yang hanya dimengerti oleh mereka yang hidup bersama sungai, hutan, dan cerita rakyat. Musik itu bukan hanya pengiring tari, tapi juga doa dan warisan. Di tengah dentingannya, Mahakamaya bergerak dengan khidmat, membawa cerita rakyat Kutai lewat tubuhnya yang lentur dan penuh makna.

Tarian itu bukan sembarang tarian. Namanya Jepen   tarian kehormatan, lahir dari simpul-simpul budaya Melayu, Dayak, dan Islam, dibingkai oleh adat Kutai yang teguh. Penari Jepen bukan hanya pelaku seni, melainkan penjaga ingatan. Dan Mahakamaya, di usianya yang baru delapan belas tahun, telah menjadi penari utama termuda di Lembaga Seni Mahakam.

Selesai menari, Mahakamaya membungkuk sopan. Suara tepuk tangan membahana dari segala arah, namun ia hanya tersenyum kecil, menunduk dalam. Di hatinya, panggung adalah tempat sakral   bukan hanya untuk menari, tetapi untuk menjaga ruh budaya, menyambungkan yang lama dan yang terus berubah.

Lihat selengkapnya