Langit Samarinda cerah, dengan awan-awan tipis yang melayang malas, seperti tak punya tujuan selain menghiasi langit Kalimantan. Di dalam mobil yang meluncur perlahan di jalan menuju Tenggarong, Gazi Elvano membuka buku kulit lusuh yang selalu menemaninya sejak perjalanan ke India tiga tahun lalu. Di halaman yang masih kosong, ia menulis dengan tinta hitam:
"Hari ini, langkahku menuju sebuah kota yang katanya hidup bersisian dengan legenda dan bisikan sungai. Tenggarong permata di tepian Mahakam yang sejak lama memanggil lewat cerita tentang tarian Jepen dan alunan musik tingkilan. Bukan sekadar pertunjukan, melainkan denyut kehidupan yang mengalir dalam setiap gerak dan nada."
Ia menutup bukunya pelan, lalu menatap keluar jendela.
“Pemandangannya mulai beda, ya?” suara sopir di sebelahnya terdengar santai, diikuti tawa pelan. “Hutan, sawah, pasar, sungai, semua berdempetan tapi adem. Belum masuk kotanya aja udah terasa Kutainya.”
Gazi menoleh, tersenyum. “Kamu pasti Arga Mahendra, ya?”
“Betul! Dan kamu pasti Gazi Elvano, separuh Belgia separuh Jawa, tapi niatnya utuh,” jawab Arga cepat, matanya menyipit karena matahari.
Gazi tertawa. “Kamu tahu dari mana?”
“Dari Dayang Ratna, ibunya Mahakamaya. Katanya kamu ini bukan cuma traveler biasa. Katanya, kamu ‘bisa lihat di balik tarian’. Entah maksudnya apa.”
Nama itu Mahakamaya belum punya bayangan yang jelas di kepala Gazi. Hanya terdengar di pesan suara dari Dayang Ratna, perempuan bersuara tenang yang dulu pernah menari Jepen dengan gerakan yang katanya seperti aliran air. Ia-lah yang mengundang Gazi ke Tenggarong, menawarkan kesempatan untuk mendokumentasikan budaya tanpa mengeksotisasi, untuk benar-benar masuk dan merasakan.
Mobil mereka mulai melambat ketika memasuki kawasan kota. Gazi langsung membuka jendela. Udara siang yang hangat menyambutnya dengan aroma kayu, tanah, dan sedikit asap dapur rumah. Di kiri jalan, anak-anak kecil bermain lompat tali. Di kanan, ibu-ibu berjilbab sibuk menjemur ikan asin sambil ngobrol. Sesekali terdengar petikan gambus dari radio warung kopi, bersahut dengan dentang sendok di gelas kaca.
“Ini… indah banget,” gumam Gazi, nyaris seperti anak kecil yang baru tahu warna langit.
Arga menoleh cepat. “Baru masuk kota aja udah ngomong gitu. Tunggu sampe kamu liat jembatan dan sungainya.”