Langkah Jepen

Muhammad Agra Pratama Putra
Chapter #3

Bab 3-Tarian dan Lensa

Pagi di Tenggarong selalu memiliki ritmenya sendiri. Tidak tergesa, tapi juga tak benar-benar lambat. Langit tampak cerah, dengan sinar matahari menyelinap pelan melalui celah-celah awan putih. Riuh aktivitas mulai terdengar dari halaman belakang gedung kesenian di dekat taman kota suara tabuhan kendang, derak kaki menghentak lantai kayu, dan lantunan sinden yang samar-samar mengiringi tarian para penari muda yang tengah berlatih untuk pentas Erau.

Mahakamaya berdiri di tengah-tengah kelompok, wajahnya penuh konsentrasi, namun tubuhnya menari seolah mengikuti irama yang ia hafal jauh sebelum ia bisa bicara. Gerakannya luwes dan kuat, tangan melengkung dengan presisi, mata tajam mengikuti pola arah gerak. Hari itu, latihan berlangsung lebih lama. Hari-H pentas semakin dekat, dan meskipun ia sudah pernah tampil sebelumnya, tahun ini terasa berbeda. Lebih sakral. Lebih personal.

"Ayo, ulangi lagi dari bagian gantar!" teriak pelatih dari sisi panggung, suaranya tegas namun mengandung semangat. Mahakamaya hanya mengangguk dan kembali bersiap.

Di sisi lain kota, Gazi dan Arga sudah berada di halaman Museum Mulawarman. Kamera tergantung di leher Gazi, sementara Arga sibuk memutar drone kecil yang sejak tadi tak kunjung tersambung sinyal GPS. Museum itu berdiri anggun, bekas istana Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, bangunan kolonial dengan pilar-pilar besar dan tangga lebar menghadap Sungai Mahakam.

"Asli keren ya… dari atas gini kelihatan beda banget. Aku belum pernah liat museum dari sudut begini langsung. Keren baneh," ujar Arga sambil menyipitkan mata menatap ke bawah.

"Iya, Ga. Ini bukan cuma bangunan… ini sejarah yang diem tapi hidup," jawab Gazi tanpa mengalihkan pandangan. Tangannya sudah sigap menyalakan kamera. Lensa Canon 35mm-nya bergerak pelan, membidik pintu utama museum seperti sedang membaca masa lalu dari balik kaca..

“Jadi... kamu suka sejarah dan budaya ya?” tanya Arga sedikit heran.

Gazi hanya mengangguk pelan. "Suka menangkap cerita dari tempat yang diam."

Arga tertawa. “kamu makin puitis aja, bro. Hati-hati, nanti cewek sini kecantol lagi.”

Gazi hanya tersenyum tipis. Fokusnya kembali pada jendela-jendela tinggi dan lukisan Sultan Aji Muhammad Parikesit yang tergantung di aula utama museum. Ia terkesima pada bagaimana cerita masa lalu bisa direkam dan dipamerkan dengan sunyi. Dalam diam, tempat ini berbicara. Dan Gazi tahu, tugasnya adalah menangkap suara itu dalam bingkai foto.

Sementara itu, di sela-sela latihan, Mahakamaya duduk di sisi aula, memegangi botol minum yang hampir kosong. Peluh membasahi pelipisnya, dan suara napasnya masih terengah. Di dekatnya, seorang pemuda berambut gondrong rapi menghampiri dengan langkah percaya diri.

“Kamu Mahakamaya, ya? Aku Raka. Raka Wirawan,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Mahakamaya menoleh malas. “Iya,” jawabnya singkat, mengusap keringat di dahinya dengan handuk kecil.

“Aku mahasiswa ISI dari Jogja. Lagi nyusun skripsi tentang pelestarian budaya di Erau. Katanya kamu salah satu penari utama. Boleh aku wawancara, nanti?”

Lihat selengkapnya