Langkahku berhenti tepat di depan sebuah rumah. Rumah yang sudah lama tak kukunjungi. Rumah ini memang tak seharusnya dikunjungi lagi, karena ia tak lagi layak disebut rumah, karena ia semestinya hanya menjadi sebuah kenangan. Tapi kenangan bukanlah hal yang tak bisa membawamu kembali, baik untuk menikmati atau menangisi.
Aku menatap kosong sesaat ke arah rumah di depanku. Lalu, pandanganku beralih ke pagar rumah yang telah rapuh berkarat di sana-sini. Perlahan kubuka pintu pagar yang tak lagi terkunci. Derak nyaring terdengar saat aku mendorongnya. Kulangkahkan kakiku ke dalam, lalu menutup kembali pintu pagar itu.
Aku menghela napas, menatap ke sekeliling halaman rumah. Halaman sebelah kanan yang dulu dipenuhi beragam bunga dan tanaman, kini hanya dipenuhi rerumputan liar, sisa-sisa tanaman yang telah mati dan sebagian lagi yang hidup segan, mati tak mau. Anggrek bulan yang dulu bergantung warna-warni, kini hanya menyisakan batang-batang yang menguning kecokelatan dengan pot-pot yang centang-perenang karena terjatuh dari kayu penyangga yang telah rubuh akibat rapuh.
Bunga mawar beraneka warna yang dulu setiap tanamannya dikelilingi oleh batu-batu kecil yang disusun rapi, kini sudah tak tentu bentuknya. Bunga dan daunnya telah layu dan mengering, tingginya sudah tersaingi oleh rumput-rumput liar yang tumbuh subur. Tanaman yang masih bertahan hidup tampaknya hanya tanaman Sansevieria, itupun dengan daun kerasnya yang sebagian telah menjadi layu dan kecokelatan, tentu saja.