Randy bernafas lega saat mendengar berita itu disiarkan secara live pada ponsel miliknya. Ia menatap Miss Ria yang duduk di sebelahnya sedang menonton berita yang sama juga.
“Aku tak menyangka semua akan berakhir baik seperti ini.“
“Ya, Miss, bahkan aku tak menyangka menjadi terkenal setelah itu.“ Randy tergelak, apalagi saat Miss Ria melemparkan tisu ke arahnya
“Hari ini kau mau bertemu Pak Hilman lagi?“
“Ya, aku harus melakukan tanda tangan untuk cetak ketiga buku yang kutulis. Aku harus berterima kasih pada Pak Hilman dan juga Alia karena mempercayakan kisahnya padaku. Kalau bukan karena mereka, mungkin aku tak akan seterkenal sekarang. Ibuku di kampung bahkan sangat bangga padaku.“
“Kau tidak ingin berterima kasih pada dosenmu ini? Padahal dia yang selalu mendampingimu kemanapun.“
“Astaga! Bahkan tanpa Miss tanyakan hal itu, Miss adalah orang nomor satu yang ingin kuucapkan terimakasih. Bahkan kalau ada awards kategori seseorang yang selalu bersamaku. Miss akan menang dan jadi nomor satu.“
“Halah! Gombalmu Ran!“
“Miss gak percaya? Belah dada saya!“
Ria terkekeh, ia melempari laki-laki itu dengan tisu kembali. Keduanya sedang berada di cafe dekat kampus saat ini untuk makan siang bersama.
“Saya serius Miss.“
“Ya, ya, terserahlah. Tapi jika boleh kuprotes aku agak terganggu dengan panggilan Miss yang kau sematkan padaku, Ran. Maksudku, jika di luar kampus bisakah kau sebut namaku dengan hal lain. Aku jadi terlihat tua.“
“Kan, memang Miss dua tahun lebih tua dari saya. Jadi mau saya panggil apa? Kakak? Atau … Mbak sayang?“
“Astaga Randy! Begini-begini saya masih dosenmu. Saya kasih nilai E kamu nanti.“
“Yah jangan gitu dong Miss.“
Mata Ria melotot, mencoba garang namun bibirnya tersenyum.
“Mbak sayang!“
Randy tergelak, menghindari lemparan tisur dari Ria yang membabi buta hingga pelayan restoran memperingati mereka untuk tak membuang sampah sembarangan.
Keduanya sontak keluar dari cafe dengan menunduk malu dan saling senggol tangan.
“Kamu, sih!“
“Loh, kok, saya? Miss diluan yang lempar-lempar.“
“Kamu yang mancing-mancing.“
“Saya mancing apa? Mbak sayang?“
“Randy!“
***
Meski terlihat marah tapi Ria menemani Randy untuk PO bukunya cetakan ketiganya sekaligus membantunya menandatangani buku-buku itu sampai selesai.
Setelahnya keduanya pergi menemui Pak Hilman yang sudah menunggu di rumah kosong. Ah, bukan lagi rumah kosong namanya. Nyatanya rumah itu sudah diperbaiki dan ditempati Pak Hilman tanpa merubah apa yang ada di dalamnya. Termasuk lukisan Alia yang terpajang di ruang tengah.
Keduanya turun dari motor setelah sampai di halaman rumah laki-laki tua itu. Masuk ke dalam seiring dengan Pak Hilman yang menyambut ramah.
“Sudah datang kalian rupanya, silahkan duduk!“ ucapnya sembari duduk di sofa. Pak Hilman melirik sekilas pada lukisan besar di ruang tengah itu dengan senyum lebar.
“Apakah itu Alia?“ tanya Randy penasaran.
Hilman mengangguk, menyesap tehnya. “Dia sangat cantik, kan?“
“Pak, bukankah itu lukisan lama?“ ucap Miss Ria.
“Ya, memang. Dan aku semakin menyukainya karena ini satu-satunya kenangan Alia yang tertinggal.“
“Pak, boleh saya bertanya?“ tukas Randy membuat Miss Ria dan Pak Hilman menoleh padanya.