Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #1

Nasib Kopi Gayo

SESAMPAINYA di ruang tengah, aku lempar begitu saja kopiah ke atas meja. Hufff, kuusap bekas titik-titik air di wajah. Kukibas-kibas sisa jejaknya di punggung lengan. Pundak terasa sembab karena sebagian titik-titik air rupanya telah merengat ke balik baju kokoku.

Barusan ketika hujan agak reda, dengan setengah berlari aku bersicepat pulang dari masjid begitu beres berjamaah isya. Tanpa berdoa, zikir, bahkan sekadar selawat, aku langsung bangkit begitu selesai mengucap salam. Jika kawanan air kembali turun tiada tepermanai bisa-bisa aku harus menahan lapar lebih lama lagi. Segelas mineral kemasan yang jadi suguhan selepas pengajian barusan, tidak memberikan dampak apa pun bahkan untuk sekadar meredam gejolak cacing-cacing di dalam perut. Yang terjadi justru sebaliknya, cacing-cacing makin keranjingan lantaran air minum yang sedikit itu malah jadi semacam minyak pelumas yang membuat gerak mereka kian belingsatan berkelejat mencabik-cabik dinding usus.

Meski jaraknya hanya tiga ratus meteran dari rumah, hujan deras beberapa kali pernah menahanku untuk lebih lama berdiam di masjid. Dalam situasi macam demikian, terdapat empat pilihan jalan keluar bagi mereka yang tidak membekal payung. Pertama, diam menunggu hujan reda; kedua, menerobosnya; ketiga, numpang pada jemaah yang bawa payung, dengan catatan jalan pulangnya searah; dan terakhir, dijemput anggota keluarga. Tiga jalan keluar yang pertama disebut pernah aku tempuh, tapi tidak dengan jalan keluar terakhir. Bukan lantaran istriku enggan menjemput, melainkan aku yang melarangnya. Terlebih lagi untuk salat-salat malam seperti magrib, isya, wabilkhusus subuh. Pada beberapa kasus, aku lebih baik berbasah-basahan menerebos hujan ketimbang membolehkan istri menjemput.

Aku punya alasan yang sangat spesifik kenapa bersikeras melarang istri menjemput, betapa pun lamanya aku terjebak hujan di masjid selepas menunaikan salat-salat malam. Suatu saat, beberapa tahun yang sangat lampau, kalau tak salah ketika aku duduk di kelas tiga SMP, ibuku pernah mengalami kejadian mengerikan saat hendak menjemput ayah yang terjebak hujan di masjid selepas salat isya. Di tengah jalan menuju masjid, beliau menginjak bangkai tikus yang sudah ajur membusuk sehingga baunya terus terbawa sampai rumah. Akibat kejadian itu, selera makan ibu terganggu untuk beberapa waktu. Bahkan efek jangka panjang yang ditimbulkannya cukup mengkhawatirkan, ibu menderita musophonia1 akut. Jangankan bertemu langsung dalam kehidupan nyata, melihat gambar atau menyaksikan film kartun Mickey Mouse di tivi pun kadang sampai bergidik. Sekalinya tahu di rumah ada tikus, beliau bisa sampai menjerit-menjerit dan takkan berhenti hingga dapat memastikan binatang pengerat itu telah disingkirkan. Fobia itu tidak kunjung sembuh hingga akhir hayat beliau. Dan aku tak mau istriku mengalami hal serupa.

Istriku yang tengah membaca Femina2 dengan punggung menempel penuh ke sandaran sofa, langsung menoleh kaget. Wajahnya semu keheranan mendapati kelakuanku tidak sari-sarinya masuk rumah tanpa uluk salam, tiba-tiba sudah ada di ruang tengah sambil melempar sebuah benda dengan tidak tertib. Badan setengah basah, rasa dingin, dan nafas terengah bekas berlari-lari kecil sepanjang tiga ratus meteran telah melenakan adab yang biasa aku lakukan saban masuk rumah.

Wajar memang bila istriku heran setengah kaget. Bukan saja lantaran aku datang tanpa uluk salam, juga karena lemparan kopiah yang dilakukan secara serampangan hampir saja menyenggol cangkir berisi kopi yang diseduhnya sebelum magrib tadi. Kopi itu masih utuh, sama sekali belum sempat kusentuh. Azan magrib keburu menginterupsi rencana mencicipi kopi Gayo pemberian kawan yang baru pulang mudik dari kampung halamannya di Lhokseumawe.

Tadi selepas berjamaah magrib aku tidak langsung pulang. Ikut dulu pengajian rutin khusus bapak-bapak yang digelar saban Jumat malam. Waktunya di sela magrib hingga isya. Kebetulan di tengah salat magrib hujan deras tumpah, kebetulan pula hari ini tanggal merah dan sepanjang siang tadi aku mengisinya dengan berdiam diri di rumah, jadi aku punya alasan ganda untuk menghanca bacaan Al Qur’an yang selama ini terkatung-katung tak tentu arah. Sekalian membayar malu akibat sering belang-bentong ke masjid. Padahal statusku selaku bendaraha DKM3 harusnya bisa lebih sering hadir dalam aktivitas-aktivitas di sana, sebagaimana pengurus-pengurus masjid yang lain.

Kopi itu pasti sudah anyep. Istriku menawarkan diri untuk menggantinya dengan kopi baru. Kujawab dengan gelengan kepala. Dalam kondisi pikiran kaos akibat pemberontakan cacing-cacing di dalam perut, goreng ayam dan sayur kacang merah jauh lebih menggugah selera dibanding kopi jenis apa pun.

Meski cuma sekitar satu jam, pengajian barusan lumayan menguras energi. Bawaan ikut majelis taklim, menghadiri tablig, atau mengaji, agaknya memang seperti itu. Tidak menuntut banyak gerak badan, tapi terbukti gampang sekali menggerus stamina. Hawanya ingin buru-buru beres dan membuat perut keroncongan setelahnya. Mungkin dari sinilah penyebab munculnya adagium, bahwa makan siang paling nikmat adalah makan siang setelah Jumatan. Makan siang yang sebelumnya harus terlebih dahulu melewati perjuangan didera khutbah Jumat yang kerap terasa lama sampai bikin terkantuk-kantuk, walau sebenarnya hanya belasan menit.

“Sayurnya mau dihangatkan dulu?” tanya istriku seraya menaruh majalahnya ketika melihat aku menuju meja makan.

Kembali kujawab dengan gelengan kepala. Tanpa diminta, istriku gupah-gopoh mendahului menjangkau meja makan. Sonder bertanya apa-apa lagi, dia langsung mencentong nasi dua kali ke atas piring. Rupanya dia mafhum jika sang suami tengah dilanda lapar tingkat tinggi. Tapi aku cegah dia saat hendak membubuhi nasi dengan sayur. Aku punya kebiasaan khusus saat makan dengan lauk yang berkuah. Kuahnya tidak boleh kebanyakan sampai membuat nasinya tenggelam. Takarannya asal saja, lebih-kurang seperti guyuran kuah kalio dalam bungkusan nasi padang. Kering tidak, terlalu basah juga jangan. Untuk mendapatkan takaran yang pas jelas harus aku sendiri yang menuangnya.

Hanya butuh waktu sekejap untuk memindahkan setumpuk nasi, sayur kacang, dan dua potong sayap ayam, dari piring ke dalam perut. Ritus makan yang sudah diulang ribuan kali tak ubahnya gerak refleks tangan menutup hidung saat bersin. Berlangsung begitu saja tanpa rekayasa atau perencanaan. Juga tak perlu perhitungan menjelimet, seperti berapa kali nasi mesti dikunyah atau berapa detik interval jeda yang ideal antara satu suapan ke suapan selanjutnya. Geraham dengan sendirinya akan menghentikan aktivitas penggilingan jika makanan sudah lumat, untuk kemudian mempersilakan otot rongga leher bekerja mengantarkannya ke dalam lambung. Lalu secara alamiah tangan kembali bergerak menyendok nasi untuk menjaga permutasi ritual bernama makan berjalan sebagaimana mestinya.

Kondisi cacing di perut yang tengah merajuk hebat disokong makanan lezat --- perpaduan dahsyat sayur kacang merah dan goreng ayam dilengkapi sambal terasi --- membuat harmoninasi antara gerak tangan saat menyuap, motorik mulut ketika mengunyah, dan tarikan otot rongga leher kala menelan makanan yang telah ajur digerus geraham, terjalin amat solid. Permutasinya tanpa sendatan sama sekali dan dalam tempo repetisi yang tinggi. Nyaris tak ada jeda antara satu suapan ke suapan berikutnya.

“Kilat amat makannya. Belum ketemu nasi dari kelas empat SD ya?” canda istriku saat melihat dua centong nasi yang tadi disuguhkannya punah dalam sekejap dari permukaan piring. Sejak aku memulai ritus makan dengan ucapan bismillah sampai ditutup dengan tegukan terakhir air hangat dari mug, istriku setia jadi penonton. Hanya menonton. Tidak ikut makan.

Tanpa bisa kucegah, mulutku tiba-tiba inisiatif menjawab dengan bunyi: “eugh... euugh... euuuugh... Alhamdulillah”.

Beres! Tak perlu kata-kata untuk menimpali candaan istriku. Semuanya tuntas blas dengan sendawa --- sebuah simtom alam nan tulus terkait ekstase salah satu napsu paling primitif umat manusia. Istriku senang melihat hasil kreasinya di dapur sanggup memuaskan hasrat perut suaminya. Begitu pula kebalikannya. Pemberontakan cacing-cacing di dalam perut seketika padam ditumpas batalion dua centong nasi.

Kembali ke ruang tengah, kulirik Blackberry4 di atas meja. Posisinya sama sekali tidak berubah, persis seperti ketika aku meninggalkannya saat tadi berangkat hendak salat magrib ke masjid. Masih tergeletak vertikal di antara tumpukan majalah dan wadah tisu, bersanding kopi dingin dan kopiah yang setengah basah. Pertanda tidak ada yang menyentuhnya sedikit pun.

Menyangkut hape, di antara aku dan istriku memang ada semacam konvensi yang berlaku begitu saja tanpa didahului kesepakatan lisan maupun tulisan. Kami bersepakat secara alamiah, bahwa hape adalah wilayah otorita khusus yang tidak boleh dirambah oleh sembarang orang, termasuk istri atau suami; hape tak ubahnya brankas tempat si empunya menyimpan benda-benda istimewa yang tidak boleh diotak-atik serampangan. Lagipula memang tidak ada yang spesial di hape kami masing-masing. Hapeku misalnya, di mata istriku isinya pasti tidak lebih menarik dari rubrik masak yang ada di halaman majalah wanita atau tabloid keluarga. Saking isinya biasa-biasa saja, bahkan aku sendiri sebagai pemiliknya tidak terlalu suka berlama-lama mengopreknya. Tidak sampai menyentuh level keranjingan sebagaimana menjangkiti banyak kawan atau orang-orang di belahan tempat lain.

Selain itu aku pernah memberi jaminan kepada istriku, bahwa tak bakalan ada hal-hal aneh yang tersimpan di sana. Kalaupun penasaran diam-diam memeriksanya, pasti takkan beroleh sesuatu yang istimewa. Isinya sangat standar. Paling SMS atau BBM5 dari kolega, saudara, dan beberapa jejak narasumber berita. Di luar itu memang ada dua grup BBM, masing-masing grup beranggotakan kawan kuliah dan grup kecil berisi jajaran dewan redaksi. Tetapi aku lebih banyak pasif, termasuk di grup sejawat kerja. Bahkan notifikasi grup kawan kuliah kusetel dalam keadaan bisu, sebab aktivitas penghuninya kadang mencapai taraf mengganggu. Terlebih lagi grup BBM rekan kuliah memiliki anggota lumayan banyak. Mereka kerap gaduh tak kenal waktu mirip kucing dilanda berahi. Sempat terbersit niat keluar dari grup itu, tapi pasti dikira sombong. Jadi, ya sudah lah…

“Tadi waktu Aa di masjid ada telepon, beberapa kali,” ujar istriku.

“Dari siapa?”

Istriku menggoyang-goyangkan kapalanya dengan gerakan seperti penari Bali, bukan menggeleng galibnya isyarat jawaban tidak tahu.

“Memang tak ada namanya?”

“Kan enggak aku tengok.”

“Kenapa tidak dilihat atuh?”

“Sekali enggak, pokoknya enggak. Titik!”

“Kenapa pula tidak diangkat?” aku pura-pura terus mendesaknya dengan maksud agar istriku jengkel.

“Takut yang nelepon Presiden Amerika, nanti bingung harus jawab apa,” ujarnya serampangan sambil senyam-senyum menampakkan giginya yang belepotan oleh sisa-sisa kudapan cokelat Toblerone.

Aku langsung menjangkau Blackberry. Lampu notifikasinya kelap-kelip macam cahaya kunang-kunang didekap halimun. Terlihat ikon telepon warna merah di sudut kanan atas layar. Ada jejak misscall empat kali.

“Nelepon sampai ratusan kali begini, kenapa tak diangkat coba? Gimana kalau yang nelepon Raja Arab mau ngasih uang?” aku menggugah dengan menyelipkan candaan receh.

Istriku tidak menjawab, malah balik menggugah. “Telepon balik aja. Siapa tahu penting. Siapa tahu dari Presiden Amerika, ngajak wawancara.”

“Kalau yang nelepon Presiden Amerika, aku langsung rijek.”

“Kenapa?”

“Dari dulu aku enggak suka sama doi. Habis doi orangnya sombong.”

Istriku tertawa. Tulus. Bukan berkeletah sekadar ingin menyenangkan suami. Kali ini sisa-sisa kudapan coklat telah hilang dari giginya.

Penasaran ingin tahu siapa yang menelepon, aku periksa bilah dialer. Ternyata dari nomor baru. Masih berupa nomor. Belum memiliki nama. Nomor seluler Indonesia, bukan nomor luar negeri. Jelas bukan dari Presiden Amerika. Aku amati nomornya. Beda provider dengan yang aku pakai. Tadinya jika satu provider, ada niat kutelepon balik. Empat kali percobaan nelepon sudah pasti menandakan orang di seberang sana punya hajat serius.

Lihat selengkapnya