Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #2

Polsek Regol

Kepolisian Sektor Regol, Jalan Buahbatu, Bandung, Sabtu, pukul 13.23 WIB.


BEGITU melewati gapura, siapa pun yang datang bakal disambut dengan aura lindap dan halaman yang terbilang luas untuk kantor polisi tingkat sektor. Bangunan utama kantor polsek berkesan arkais menyerupai wastu dinas pejabat wedana pada zaman peralihan orde lama ke orde baru, dipadu sedikit aksen kekinian di bagian depan berupa kanopi rangka besi berkelir abu tua. Sebuah tiang sebesar batang pohon jambe menancap kokoh di tengah halaman, menjulang tinggi menopang kain merah-putih yang mengelepik-ngelepik sedikit enggan. Tiga pokok beringin berbaris khidmat di birai kanan dan kiri halaman, jadi penampang ampuh dari terpaan sinar mentari. Keenam beringin itu pasti sudah berumur puluhan tahun. Boleh jadi dulu ditanam berbarengan dengan peresmian gedungnya. Itu ditandai dengan penampakan sulur-sulurnya yang panjang menjuntai-juntai seperti janggut para pendekar sepuh di film-film silat Mandarin.

Dua sedan patroli terparkir sejajar di sudut kanan halaman. Hanya ada lima motor di sebelahnya, termasuk motor aku punya. Kantor polisi agaknya sedang dalam keadaan sepi. Mungkin karena akhir pekan. Atau mungkin pula seperti itulah keseharian kantor kepolisian tingkat sektor.

Di sudut lain yang agak menjorok, berjejer beberapa motor dalam kondisi tak keruan. Ada yang rangkanya ringsek, roda depannya mirip kue lanting, bahkan ada pula yang teronggok begitu saja serupa tumpukan besi apkiran di markas besar juragan rongsok. Karat dan debu tebal menyelimuti motor-motor itu hingga sukar dikenali lagi warna aslinya. Dua unit minibus dengan moncong hancur, merana dalam ketidakpastian. Sebuah plang dari plat kaleng menempel lekat di tiang besi, bertuliskan: BARANG BUKTI LAKA LANTAS.

Seorang opas yang pundaknya memikul tanda pangkat menyerupai dua hurup v warna merah, menyambut dengan tatapan penuh selidik ketika kakiku memasuki ruang depan. Satu opas lainnya dengan tanda pangkat sama, bersikap tak hirau, kadung anteng menggosok-gosok batu akik dengan kertas ampelas yang sudah terlihat lecek.

“Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?” sambut opas yang di dadanya tertakik nama Ahmad Albar7. Dari cara penulisannya yang dicantumkan secara penuh, tampak sekali dia bangga dengan nama itu. Meski untuk kebanggaan itu dia harus mengorbankan ukuran hurufnya jadi lebih kecil agar sepuluh fonem yang mengkonstruksi namanya masuk dalam dimensi bet yang hanya tiga setengah kali dua belas sentimeter. Cara penulisan seperti itu di luar kebiasaan, sebab galibnya bet nama polisi cuma memuat satu kata utuh. Contohnya, bila namanya Ahmad Albar maka ditakik A Albar atau Ahmad A. Untung saja nama Kapolri saat ini hanya terdiri dari satu kata, Sutanto, jadi tidak perlu ada acara singkat-menyingkat.

“Siang juga, Pak,” timpalku sambil menyambut uluran tangannya. Aku gulirkan pandangan ke arah dada petugas yang anteng menggosok batu akik, penasaran ingin tahu apakah namanya juga ditakik utuh. Siapa tahu namanya mirip pula dengan rocker beken seperti Ian Antono, Donny Fatah, atau Eet Syahrani. Ternyata namanya Nana S, ditulis sesuai kaidah umum penulisan bet nama polisi.

Enggan buar basa-basi, aku langsung menjelaskan maksud kedatanganku. Untuk menghindari bermacam pertanyaan tak perlu, aku putuskan mengaku kakak kandung Jimi. Syukurlah, kebohonganku ditelan mentah-mentah oleh Pak Ahmad Albar.

Tiada dinyana, opas yang namanya mirip rocker terkenal itu menunjukkan respons yang luar biasa ramah. Tatapan penuh selidik sirna. Setelah menunaikan administrasi yang sama sekali tidak ribet, beres dalam sekejap lewat diplomasi dua lembar dua puluh ribuan, dengan suka rela dia membimbing aku ke ruang besuk, lalu dengan suka rela pula menjemput Jimi dari ruang tahanan. Berani sumpah, spontanitas memberikan dua lembar dua puluh ribuan kepada opas yang namanya muradif dengan rocker beken itu sama sekali tidak dilandasi niat menyogok. Aku sungguh-sungguh menganggapnya sebagai manifestasi balas jasa, layaknya aku lakukan kepada orang yang hendak atau telah dimintai tolong. Kebetulan saja yang hendak dimintai tolong kali ini adalah seorang polisi.

Ruang besuk itu tak ubahnya bilik tunggu di tempat dokter praktik. Dipan kayu bertunjang besi mengitari sekeliling dinding. Sepasang lelaki-perempuan sedang ngobrol sambil duduk berdempetan di salah satu sudut. Sangat boleh jadi mereka adalah pasangan pembesuk dan yang dibesuk juga. Tapi siapa yang besuk dan mana yang dibesuk, sulit diterka sebab keduanya sama-sama mengenakan pakaian kasual.

Terdengar dari ruang lain ada yang sedang berbincang sambil sesekali tertawa. Selang-seling dengan bunyi plak-plik-pluk kartu gaple yang dibanting ke atas permukaan benda keras. Tak jelas dari ruang mana. Mungkin dari Ruang Kapolsek, Ruang Kanit Reserse, Ruang Kanit Lantas, ruang tahanan, atau ruang lain yang aku sendiri tak tahu pasti ada ruang apa lagi di gedung ini.

Hanya sekitar empat menit, opas yang namanya mirip rocker kugiran itu sudah kembali diiringi seorang anak muda jangkung, berkaus oblong biru yang di bagian dadanya terdapat tulisan Viking Persib Club dengan font jenis Legend M54. Hanya berkaus dan bercelana pendek setengah gombal. Tidak memakai seragam khas penghuni sel. Mungkin karena akhir pekan, saatnya sedikit rileks. Atau barangkali tahanan setingkat polsek memang tak diberi seragam. Entahlah.

Demi meyakinkan penglihatan, aku pandangi dia dengan saksama. Ya betul, tak salah lagi dia adalah pemuda yang beberapa kali aku temui di markas Viking. Tinggi badannya mencolok, mudah diingat.

Dengan tangannya, Pak Ahmad Albar mempersilakan Jimi mendekatiku. Tanpa diduga dia langsung memburu ke arahku. Merangkul lalu mencium tanganku. Bau apek tipis menyeruak dari rambutnya.

“Hatur nuhun8 sudah mau repot-repot datang nengok saya,” tutur Jimi dengan mata mengandung kristal air. Dia terlihat emosional.

“Iya, sama-sama. Kebetulan lagi bisa.”

Berdua lalu kami duduk bersebelahan di dipan kayu. Kami sengaja mengambil posisi berseberangan dengan sepasang lelaki-perempuan yang terlebih dahulu ada di sana. Keputusan ini muncul begitu saja secara instingtif dengan perhitungan sangat simpel, yakni agar kehadiranku dengan Jimi tidak mengusik mereka, agar ketika kami ngobrol suaranya tidak terdengar oleh mereka, dan juga sebaliknya.

Aku bersandar ke dinding, Jimi duduk menekur. Petugas yang namanya mirip penyanyi rock terkenal itu sudah berlalu, kembali ke ruang jaga membekal bibir dikulum senyum berbanderol dua lembar uang dua puluh ribuan.

Jimi masih menekur. Aku pun belum mulai membuka obrolan. Sekelebat bayangan Vera melintas di pikiran. Sosoknya serupa ambigram yang jika dilihat dari segala sudut memiliki kesan yang seragam, sama-sama memesona. Senyumnya, hidungnya, blazer coklatnya, dan terutama rambut ikalnya yang eksotis kekuningan bikin mata tak kuasa berkedip tiap kali memandangnya, baik dari depan, samping, maupun belakang. Karena dialah aku sudi datang ke sini. Andai saja Jimi tidak menyebut nama Vera waktu nelepon tadi malam, mungkin aku butuh alasan ekstra untuk mengiyakan permintaannya. Atau mungkin perlu waktu beberapa hari berpikir sebelum mau datang ke Polsek Regol. Bagaimanapun Vera pernah jadi bagian indah sekaligus ngenes yang mengisi sebuah fragmen perjalanan hidupku. Dan terbukti dalam sejumlah momen serta urusan, hatiku selalu mendadak jadi lembek bila nama Vera tersangkut di dalamnya. Padahal sekarang aku telah punya istri.

“Sehat, A?” Jimi membuka obrolan dengan setengah berbisik, seketika membuyarkan imaji ambigram Vera.

“Alhamdulillah sehat,” secara otomatis aku menimpali pertanyaan Jimi dengan suara rendah pula.

Kesepakatan untuk bicara dalam nada pelan juga muncul begitu saja secara instingtif dengan perhitungan sederhana. Dalam ruangan nyenyat seperti bilik besuk ini, telinga akan sangat sensitif. Maka untuk mengakali sensitivitas telinga, jalan paling gampang adalah dengan meredam tingkat nada bicara. Sepasang lelaki-perempuan yang lebih dahulu ada di ruang tersebut rupanya telah mengambil keputusan yang sama pula perihal nada suara. Mereka bicara dalam level sangat rendah, sehingga yang terdengar hanya bunyi was-wes-wos.

“Kamu sendiri bagaimana, Jo?” Aku memilih sebutan Jo karena tahu dia lebih banyak dipanggil Enjo ketimbang Jimi. Lagipula leksem Jo terasa genah di lidah dibanding Jim atau Mi.

Lihat selengkapnya