JIMI. Nama lengkapnya Jimi Hendrik Joharuddin. Usia dua puluh tujuh tahun. Ibu Sunda, bapaknya perantau asal Flores. Drop out di pertengahan kelas tiga SMA akibat sempat ditangkap atas kasus tawuran antargeng motor.
Percampuran darah timur dari bapak dan darah barat dari ibu malahirkan keturunan dengan karakter fisik yang sangat khas dalam diri Jimi. Sepintas parasnya mirip Kapitan Pattimura yang fotonya biasa kita lihat di lembar uang seribu rupiah. Pattimura kinyis-kinyis versi milenial. Lengkap dengan kumis dan alis yang tebal, tapi tanpa atribut kelewang melintang di dada tentu saja. Bisa disebut sangat ganteng. Berkulit bersih. Tinggi badannya di atas rata-rata. Aku yang seratus tujuh puluh sembilan sentimeter saja hanya setahap bahu dibanding Jimi.
Dengan anugerah fisik seperti itu, tidak berlebihan bila perempuan secantik Vera bertekuk lutut. Sayang anugerah fisik itu terbengkalai akibat salah urus pemiliknya. Padahal bila dikelola dengan baik, banyak slot pekerjaan yang cocok. Mulai dari yang bergaji biasa seperti penjaga toko atau tenaga penjual lapangan, sampai pekerjaan dengan upah layak semisal front officer bank. Bahkan jika punya garis tangan lebih baik, dengan modal lahiriah seperti demikian, jadi pemain basket, atlet voli, artis sinetron, atau jadi pembawa acara petualangan di televisi sekalipun rasanya cukup pantas. Dengan catatan otot-ototnya dibikin lebih berisi, tidak cungkring seperti sekarang. Atau jika punya suara merdu sebagaimana berkah yang dilimpahkan Tuhan kepada orang-orang asal Indonesia bagian timur, Edo Kondologit atau Glenn Freddly agaknya bakal minder dengan kegantengannya.
Wajah Jimi yang punya resam khas orang Indonesia timur menetes dari sang bapak, seorang gitaris rock paruh waktu yang pada tahun-tahun belakangan justru lebih banyak nyambi jadi mekanik di sebuah bengkel khusus motor-motor klasik. Sementara kulitnya yang bersih dan hidung bangirnya adalah anugerah prodeo yang turun dari jalur ibu, perempuan berdarah Sumedang yang pertama kali bersua dengan ayah Jimi sewaktu jadi penyanyi di sebuah pub dangdut dekat Alun-Alun Bandung.
Sejak SMP lebih banyak dipanggil Enjo. Sempat keukeuh menampik disapa Enjo. Panggilan Hendrik dirasanya lebih keren. Karena itulah ketika SMA dia pernah mengganti huruf pamungkas nama tengahnya dari k menjadi x. Alasannya, biar seperti gitaris legendaris Jimi Hendrix yang tak lain idola bapaknya. Namun nasib menggariskan dia lebih sering dipanggil Enjo. Nasib pula yang menuntunnya masuk ke ruang tahanan Polsek Regol sekarang.
Bila mengetahui pertama kali nama panggilan itu lewat berita koran, kemungkinan banyak yang salah mengeja kata Enjo. Pelafalan huruf e di awal nama panggilannya dikira mirip huruf e pada kata tempe atau Enzo seperti nama orang Italia. Padahal yang benar dilafalkan seperti huruf e pada kata lemah. Untungnya aku pertama kali mengetahuinya lewat mulut teman-temannya di markas Viking dan juga tentu saja dari Vera.
Selebihnya tentang latar belakang keluarga Jimi, aku tak tahu. Tepatnya, untuk saat belum ingin tahu. Sekelumit kisah ayah dan ibunya lebih dari cukup dijadikan sekadar prolog ketimbang tidak ada sama sekali cerita menyangkut keluarganya. Aku lebih tertarik dan mau fokus menelisik perjalanan hidup Jimi sebagai individu, yang menurutku sangat filmis. Berwajah ganteng tapi berandalan, berandalan namun sikapnya santun. Dalam asosiasi imajinasiku, dia adalah bentuk realis dari sosok fiktif Ali Topan dengan kearifan lokal. Tinggal memberi bumbu dengan sedikit cerita rekaan, maka kisah hidup Jimi memenuhi segala unsur yang dibutuhkan sebuah skenario. Alak diangkat jadi sebuah film, setidaknya sinetron sekali tayang.
Beberapa fragmen perjalanan hidup Jimi kini terangkum dalam dua buah kaset mikro C3013 hasil rekaman beberapa hari lalu di Polsek Regol. Satu kaset terisi penuh pengakuan Jimi, kaset satunya lagi hanya terisi sekitar sepertiganya. Jadi total durasi rekaman pengakuan Jimi sekitar empat puluh menit.
Kaset yang terisi penuh sudah aku dengar ulang secara utuh kemarin lusa. Berbagi headset, aku mendengarkannya bareng istri di rumah selepas sarapan pagi. Setelah diberi tahu jika orang yang aku temui di Polsek Regol ada kaitannya dengan kasus pembunuhan pegawai Bea Cukai asal Bali oleh geng motor yang beritanya heboh beberapa pekan lalu, dia agaknya menaruh interes pula. Di sela-sela mendengarkan rekaman, berulang kali istriku menggeleng-gelengkan kepala sambil beberapa kali mendesiskan kalimat “kok bisa ya! kok bisa ya!”. Sama seperti yang aku simpulkan, dia pun tak habis pikir dengan perilaku Jimi dan kawan-kawan sepergengannya yang bisa tega begitu saja menganiaya orang dengan cara mengeroyok, membacok, bahkan sampai membunuh, sonder dilatari alasan yang alak.
Tapi mendengarkan satu kali putaran rasanya belum cukup. Meskipun secara garis besar isinya sudah bisa aku tangkap, ada beberapa bagian yang aku ingin dengar lagi. Lagipula tidak ada salahnya memutar ulang barang sekali-dua, agar proses transkripsi dari versi audio ke tulisan lebih gamblang dan hasilnya bisa disusun secara runut.
Sambil menunggu pesanan pisang goreng dan teh lemon hangat, sekalian membakar waktu sembari menanti Vera datang, aku keluarkan alat perekam. Setelah headset siap sedia di lubang telinga, cetrek... aku tekan tombol play. Terdengar lagi suara Jimi. Tidak terlalu jernih memang. Rekaman suaranya turun naik. Terdengar lebih berat dari suara aslinya. Aku tidak ngeh, saat dipakai merekam tempo hari, baterai recorder mungil itu dalam kondisi soak. Untungnya kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Jimi relatif masih bisa ditangkap gendang telinga, terlebih lagi dengan bantuan peranti headset yang bagus.
“…
Semua yang saya ungkapkan di sini bukan hasil meminjam cerita orang lain. Namun pengalaman yang saya alami dan lakukan sendiri. Tidak ada yang ditambah-tambah atau dikurang-kurang.
Saya akui saya memang nakal. Kelewat nakal. Kelas satu SMA mulai akrab dengan kehidupan jalanan. Jarang sekolah, jarang pulang ke rumah. Sampai di akhir tahun pertama SMA, sepertinya orang tua sudah angkat tangan dengan segala cerita kenakalan saya yang hinggap ke telinga mereka. Mereka pasti malu punya anak seperti ini. Makanya wajar jika mereka tidak mau datang menjenguk ketika saya masuk penjara. Saya tidak menyalahkan mereka. Justru saya yang salah.
Sejak akhir kelas satu SMA, saya mulai intens bergabung dengan geng motor. Awalnya saya masuk geng motor GBU karena ajakan teman sekelas. Namun geng motor ini hanya berumur sebentar. Kemudian saya pindah ke Tusuk Telak, juga lantaran diajak kawan yang sama. Lagi-lagi eksistensi geng motor ini hanya seumur jagung karena anggotanya cuma sedikit. Akhirnya saya bergabung dengan Brinka. Kali ini murni kehendak sendiri, bukan mengikuti ajakan siapa-siapa. Di geng motor ini saya seperti mendapatkan keluarga baru. Merasa dihargai.
Di geng motor Brinka pula kenakalan saya naik level. Bukan lagi kenakalan remaja biasa. Mabuk-mabukan, berkelahi, mencuri, atau menodong, jadi semacam gaya hidup. Lumrah dilakukan sebagai rutinitas dan ritual komunitas. Meski tidak sampai menyusun jadwal secara khusus, perilaku ugal-ugalan di jalanan mulai dari sekadar berbuat onar dengan cara berkonvoi sambil menggeber-geber knalpot brong atau sampai melakukan kegiatan yang terbilang serius seperti menodong, kami lakukan secara berkala. Biasanya tanpa perencanaan. Idenya kerap muncul begitu saja ketika kumpul-kumpul seraya minum-minum.
Kalau di berita sering digambarkan anggota geng motor suka menganiaya orang secara membabi buta tanpa alasan jelas, saya akui kenyataannya seperti itu. Gambaran itu seratus persen benar. Entah kapan dan bagaimana awalnya, di kalangan kami, perilaku ugal-ugalan di jalan raya, bahkan sampai melakukan kekerasan, telah dianggap seperti ritual wajib untuk menunjukkan keberanian dan eksistensi. Semakin brutal seorang anggota, dia akan semakin mendapat respek dari anggota lain. Bahkan seorang anggota yang baru saja masuk, salah satu bentuk pelonconya adalah berkelahi dengan geng motor lain atau melakukan kejahatan di jalanan.
Kekerasaan atau lanun jalanan yang kami lakukan lebih banyak didasari motif ekstase. Hanya sesekali saja kami membegal atau nodong dengan alasan ekonomi, biasanya jika sudah tak ada lagi duit untuk memenuhi keinginan beli minuman keras. Jujur, saya juga pernah nodong. Tiga atau empat kali. Semuanya karena motif ekonomi, demi bertahan hidup di jalanan. Sekali waktu bahkan sampai membacok karena korban melawan, tapi untungnya tak sampai meninggal.
Sementara itu, dalam BAP disebutkan, pada malam kejadian saya lebih dahulu minum-minum di MTC14 sebelum konvoi berdelapan mengendarai empat sepeda motor. Ya betul, seperti itulah memang polanya. Biasanya kami berani membegal atau menganiaya orang dengan membabi-buta jika sudah dalam kondisi mabuk dan beramai-ramai. Jarang yang berani kalau dalam kondisi sadar atau melakukannya seorang diri. Namun harap dicatat, saya tidak berada dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi di Kiaracondong. Berani sumpah demi Gusti Allah atau demi apa pun, saya tidak terlibat dalam kejadian itu. Saya juga tidak tahu kenapa nama saya ujug-ujug masuk dalam daftar tersangka.
Yang tidak masuk akal, dalam BAP disebutkan saat melakukan penusukan saya dibonceng Ray Polak. Ini sama sekali tidak realistis. Adalah sebuah hal yang mustahil saya bisa dibonceng Ray dalam keadaan aman-damai. Kami berasal dari dua kelompok berbeda yang saling bermusuhan. Saya dari Brinka, Ray anggota Xtrim. Jangankan kumpul untuk minum bareng, apalagi naik motor boncengan, secara tak sengaja papasan di jalan saja kami pasti langsung ribut atau malah saling menghindar sama sekali. Dia adalah salah seorang musuh bebuyutan kelompok saya. Pasti saya juga dianggap demikian oleh kelompok mereka. Secara pribadi bahkan saya pernah dua kali duel dengan Ray. Dia pasti punya dendam personal kepada saya, karena saya pernah memukul kakinya dengan linggis. Jadi, sekaki lagi, isi BAP soal saya dibonceng Ray saat melakukan penusukan, itu benar-benar karangan yang tidak masuk akal.
Yang jadi pertanyaan besar buat saya, dari mana asalnya cerita dalam BAP yang menyebutkan saya minum-minum dulu bersama tujuh tersangka lain di MTC, kemudian konvoi memakai motor dalam keadaan mabuk? Aneh, sungguh aneh.
Lebih tidak masuk akal lagi, dalam BAP terdapat delapan tersangka. Saya disebut satu-satunya tersangka yang berasal dari kelompok Brinka, sisanya dari Xtrim. Kalau memang saya konvoi tengah malam bersama mereka, yang ada saya yang mati duluan dikeroyok. Penduduk satu Bandung tahu bagaimana perseteruan antara Brinka dan Xtrim. Sudah tak terhitung berapa puluh kali kami bentrok. Fakta yang mengindikasikan saya dan tersangka lain bukan berasal dari geng motor yang sama bisa dilihat dari sel tempat kami ditahan. Saya di Polsek Regol, mereka tidak tahu ditahan di mana. Jika memang saya dan tersangka lain berasal dari Xtrim, kenapa kami tidak disatukan dalam satu sel?
Lagi pula saat peristiwa pembunuhan itu saya tidak berada di Bandung. Saya sedang menonton pertandingan Persib melawan PSS Sleman di Stadion Maguwoharjo. Banyak orang yang bisa dijadikan saksi bahwa saya memang sedang di Sleman saat itu. Saya bersama banyak kawan anggota Viking sepanjang perjalanan menggunakan kereta. Terlebih lagi saat di stadion.
Saya masih ingat betul, pertandingan itu sendiri sempat dihentikan karena terjadi kerusuhan hebat di tribun. Kami tawuran dengan pendukung tuan rumah. Kami dilempari. Beberapa teman Viking terluka. Syukur saya selamat. Hanya baret tangan sedikit karena terjatuh saat menghindari lemparan. Kalau tidak salah, pertandingan itu disiarkan langsung oleh ANTV15 dan katanya ditayangkan ulang di Bandung TV16.