Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #4

Investigasi Daring

HUJAN bekerja makin giat dan ligat pada pekan-pekan belakangan ini. Langit seakan tiada kenal lelah terus berpresipitasi untuk mengolah embun menjadi air lalu mencurahkannya ke bawah. Cakrawala sama sekali tak hirau dengan lenguh lesu tanah-tanah yang kepayahan menampung air. Nasib buruk juga menimpa drainase, selalu dituding tidak becus bekerja dan berulang-ulang dijadikan kambing hitam saban kali genangan menyergap jalanan.

Menghabiskan malam akhir pekan dengan berdiam diri di rumah adalah jalan terbaik ketika kondisi alam sedang serba basah dan suhu kota ngedrop ke titik yang sangat rendah. Jalan-jalan untuk sekadar belanja, jajan, atau makan di luar, rasanya tak sebanding dengan risiko kedinginan, kebasahan, apalagi terjebak macet akibat sungai gampang sekali merajuk minta pindah tempat tinggal ke jalan raya.

Hawa Bandung yang aslinya sejuk, akhir-akhir ini suhunya kerap anjlok hingga menyentuh angka belasan derajat celsius. Puncaknya lima hari ke belakang, Bandung dibekap hawa ekstradingin. Sebuah berita foto yang dimuat di halaman enam surat kabar Pikirat Rakyan tiga hari lalu, memperlihatkan markah penunjuk suhu digital yang terpancang di seberang Balai Kota sempat menyentuh angka sepuluh derajat celsius. Foto serupa dimuat pula di beberapa media, bahkan harian Malagedia menjadikannya foto headline di halaman depan pada hari yang sama. Di samping memancing selusin pakar klimatologi turun gunung untuk tampil di berbagai media, fenomena suhu ekstradingin ditingkahi pula dengan turunnya halimun tipis di segenap penjuru kota saat langit bersulih rupa dari gelap ke terang atau terang ke gelap.

Menurut catatan BMG19, itu adalah rekor suhu terendah kedua dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir. Rekor suhu paling rendah terjadi sembilan belas tahun silam, yakni mencapai delapan derajat celsius. Sebuah fenomena yang masih dianggap wajar kala itu, sebab alam sekitar Bandung masih terbilang utuh. Hutan di kawasan utara, timur, dan selatan masih lebat. Pabrik di pinggiran kota baru satu-dua. Jalanan belum terlalu disesaki kendaraan bermotor. Macet belum mewujud jadi problema kota yang akut.

Aku manarik resleting hoodie sampai mentok ke ujung atas, setelah tegukan terakhir kopi Gayo terasa ampasnya. Pertanda cangkirnya harus segera diabaikan, jika tidak mengganti isinya dengan yang baru. Menutup tubuh rapat-rapat adalah kiat paling instan yang bisa dilakukan ketika tak bisa lagi mengharap kehangatan dari secangkir kopi.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam lewat empat puluh satu menit. Aku tidak tega membangunkan istri hanya untuk minta dibuatkan kopi baru.

Komputer sudah aku nyalakan sejak istriku masuk kamar tidur sekitar jam sembilan tadi. Dibiarkan menyala hanya untuk memutar lagu. Layarnya berbinar-binar siap siaga menampilkan segala hal yang dikehendaki sang empunya. Tak ada hal lain yang aku cari dari monitor, kecuali ikon peramban Mozila Firefox. Segera aku arahkan kursor ke ikon berlambang rubah meringkuk tersebut, untuk kemudian langsung membuka mesin pencari. Selepas bertemu Jimi, rencana ini terus berkumpar-kumpar di kepala. Tertunda dan tertunda lagi karena ada beberapa urusan yang harus lebih diprioritaskan.

Beberapa minggu ke belakang, selama lebih-kurang dua pekan kasus ini sempat jadi komoditas utama pemberitaan. Baik media nasional, terlebih lagi media terbitan Bandung, berbondong-bondong memajankan kasus ini agar dianggap paling depan, paling detail, paling mutakhir, dan paling-paling yang lain. Aku yang tidak suka berita kriminal saja sampai turut memperhatikan perkembangannya, meski tidak mencapai taraf sisik-melik.

Kejadiannya di daerah tapi gaungnya menembus level nasional. Tidak hanya media cetak, beberapa acara televisi yang khusus menayangkan berita kriminal menjadikannya liputan istimewa. Materinya disajikan ke dalam berbagai kemasan, padahal isinya itu-itu belaka. Kemudian ditayangkan berulang tiap pagi, siang, sore, dan malam, sampai membuat lecek bibir presenter yang membawakannya. Bahkan yang menggelikan, acara infotainment tak mau ketinggalan cawe-cawe.

Sebenarnya kasus yang melibatkan Jimi ini bukan kasus kekerasan geng motor perdana yang sampai merenggut korban jiwa. Sebelumnya, sudah tak terhitung berapa jumlah nyawa melayang akibat lanun jalanan dan kebrutalan geng motor yang membuat wajah Kota Kembang coreng-moreng karenanya. Apabila latar belakang korban yang merupakan pegawai instansi pemerintah dianggap jadi penyebab meledaknya kasus ini, rasanya kurang tepat. Sebab, ketika seorang taruna Angkatan Udara tewas dikeroyok geng motor di atas jembatan layang Pasupati pertengahan tahun lalu, pemajanan beritanya biasa saja. Demikian pula penganiayaan yang menimpa anggota polisi di Jalan Sudirman awal tahun ini, media tak sampai jor-joran mengemas kabarnya. Tapi entah kenapa kasus yang satu ini demikian heboh hingga meledak jadi isu nasional.

Saking hebohnya, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat sampai mengeluarkan maklumat kepada para jajaran Polres hingga Polsek se-Bandung Raya untuk sesegera mungkin menuntaskan kasus ini. Maklumat itu konon merupakan tindak lanjut amaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Koran tempat aku bekerja tidak ketinggalan turut pula dalam hiruk-pikuk itu. Memuat beritanya saban hari, bahkan menjadikannya headline halaman satu beberapa kali. Sekitar sebulan ke belakang saat peristiwa berlangsung, ketika pemajanan media sedang hebat-hebatnya selama lebih-kurang dua pekan, kebetulan aku masih menduduki jabatan redaktur desk hiburan, belum memegang jabatan koordinator liputan seperti sekarang. Jadi tidak mencermati materi beritanya sampai detail menyentuh partikel paling bubuk sebagaimana ketika bersua dengan tulisan tentang musik, film, gosip artis, dan isu-isu seputar showbiz lainnya. Lagipula pada dasarnya aku tidak doyan berita kriminal. Kalaupun harus membacanya, sekadar menunaikan tuntutan profesi sebagai pemberita yang harus mau tahu terhadap segala jenis berita.

Tapi sekarang, lain lagi ceritanya. Aku perlu informasi lebih rinci soal kasus ini. Aku mengetik keyword secara sembarang: pembunuhan pegawai bea cukai.

Byarrr... mesin pencari menyediakan tiga puluh tiga entri tautan. Aku klik tautan paling atas dari Harian Malagedia dengan judul sangat lugas: Pegawai Bea Cukai Tewas di Tangan Geng Motor.


Niat hati pelesiran di Bandung, seorang pegawai Bea Cukai Denpasar, Bali, malah meninggal dengan cara mengenaskan. I Ketut Giko pasti tidak menyangka jika malam Minggu itu adalah hari terakhir dalam hidupnya. Tanpa firasat apa pun, malam itu Giko bersama dua orang kawannya keluar rumah untuk mencari hiburan. Mereka berencana menyambangi sebuah rumah karaoke di bilangan Jalan Jakarta.

Namun rencana itu tidak kesampaian. Ketika sedang menunggu taksi di sebuah ruas Jalan Kiaracondong, tiba-tiba melintas delapan remaja mengendarai empat sepeda motor. Kedelapan remaja itu sekonyong-konyong berhenti di depan Giko dan dua orang rekannya. Tanpa alasan jelas, remaja-remaja tersebut langsung melakukan penyerangan secara membabi-buta.

Salah seorang di antara remaja itu mengeluarkan belati. Giko yang kebetulan berada paling dekat, jadi sasaran. Tanpa sempat melakukan perlawanan berarti, perut Giko dihujam belati. Tak cuma sekali, tapi berulang sampai tiga kali. Dua kali mengenai perut, satu tusukan melukai pangkal lengan kanan.

Dua rekan Giko coba melerai. Namun tak urung jadi sasaran amuk. Roni Paskah, salah seorang rekan Giko, disabet tangannya memakai golok oleh anggota gerombolan yang lain. Sabetan itu mengakibatkan Roni harus mendapat delapan belas jahitan.

Rekan Giko lainnya yang bernama Yudhi Febrian bernasib lebih mujur. Dia sempat dipukuli dan ditendang sampai terjengkang. Untungnya tidak sampai ditusuk atau dibacok. Yudhi hanya menderita luka memar di wajah dan sobek pelipis kiri akibat terbentur tembok penutup selokan.

Meski dalam kondisi terluka, Roni masih berusaha menolong Giko. Dibantu dua orang pegawai warung nasi Padang yang lokasinya tak jauh dari tempat kejadian, mereka menyetop angkutan kota untuk memboyong Giko ke Rumah Sakit Pindad.

Namun sayang, nyawa Giko tak bisa diselamatkan. Pegawai Golongan IV-E Kantor Bea Cukai Denpasar itu meninggal sesaat setelah tiba di rumah sakit. Walaupun Rumah Sakit Pindad berjarak kurang dari satu kilometer dari tempat kejadian, dua tusukan di perut membuat Giko banyak mengeluarkan darah.

Sementara Roni hanya menjalani perawatan beberapa jam. Setelah mendapat jahitan dan kondisinya membaik, pagi harinya dia sudah diperbolehkan pulang.


Aku berhenti membaca berita dari tautan itu. Meski ada tombol next page yang menandakan artikelnya masih punya kelanjutan, tapi aku sudah bisa menangkap sarinya. Cukup. Aku butuh info lain dengan sudut pandang berbeda.

Hasil pencarian aku scroll ke bawah. Semua tautan menyediakan judul yang bunyinya nyaris sama. Isinya pun pasti seragam. Tapi satu tautan di halaman berikutnya lumayan menarik perhatian. Tautan dari Harian Tribur Jaban bertajuk Ini Kesaksian Rekan I Ketut Giko saat Penusukan Terjadi.


Lihat selengkapnya