INILAH cerita tentang Vera. Cerita yang sangat boleh jadi akan terdengar picisan bagi orang lain, tapi sama sekali tidak buat aku. Cerita ini akan lebih banyak mengungkap hubungan asmara yang pernah aku jalin dengan perempuan yang sempat memiliki tempat istimewa dalam hidupku itu. Saking istimewanya, aku sampai merasa harus menceritakannya dalam dua atau tiga bagian kisah ini. Maksudnya, agar cerita tentang dia terbangun utuh sehingga didapat gambaran yang masuk akal kenapa aku menganggapnya begitu istimewa.
Semua cerita tentang Vera berawal dari satu bundel berkas pengajuan kerja praktik yang tergeletak di mejaku pada satu pagi. Berkas itu telanjang tanpa map, amplop, atau sampul apa pun. Di atasnya terlampir secarik memo:
Barangkali desk olahraga butuh tambahan reporter dan mau mengadakan penyegaran? Biar tidak melulu serasa di STM22. Silakan seleksi sendiri. Cantik-cantik lho…
Ttd
Redpel
Oalah, Redaktur Pelaksana menyodorkan mahasiswa magang untuk diseleksi di desk olahraga, setelah desk lain tidak ada yang berminat. Jika Si Bung Redaktur Pelaksana --- aku biasa menyebut bos yang satu ini dengan panggilan seperti itu dan tetap menyebutnya seperti itu walaupun di kemudian hari dia mendapat promosi jadi Wakil Pemimpin Redaksi --- sudah turun titah, aku hanya bisa manut. Walaupun isi memo bernada tawaran, bagiku itu tak lain adalah instruksi.
Sebagai bentuk balas budi atas jasa-jasanya selama ini, aku menaruh respek yang sangat tinggi kepadanya, melebihi respekku terhadap siapa pun di kantor. Di mataku, dia bukan sekadar atasan, tapi juga mentor yang begitu telaten membimbing aku sejak hari pertama bergabung ke koran ini sampai sekarang. Banyak menularkan ilmu jurnalistik, mengajarkan pentingnya integritas, dan ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Figur anutan yang lebih sering memposisikan diri sebagai kawan ketimbang atasan. Sosok yang dalam keseharian begitu egaliter, namun dalam urusan pekerjaan bisa sangat totaliter.
Bahkan awalnya aku sempat menyangka dia punya kepribadian ganda. Coba pikir, apakah ada istilah yang lebih tepat selain sebutan berkepribadian ganda untuk orang yang jenaka dalam keseharian namun sakelek dalam urusan pekerjaan. Menggoblok-goblok reporter yang salah atau tak becus nulis berita sama entengnya dengan berkelakar. Dia senior yang paling galak sekaligus paling pintar membuat ruang redaksi ger-geran karena humor-humornya. Untuk kekeliruan yang berhubungan dengan teknis keredaksian, katup emosinya terbuat dari kulit bawang, gampang sekali koyak. Dialah yang marahnya paling menggebu bila ada salah judul atau sekadar keliru ketikan dalam koran yang terlanjur beredar. Tapi buat urusan rejeki, sakunya mirip keran air yang dol, mudah ngocor blawuran.
Isi memo ihwal tambahan reporter sebenarnya tidak terlalu menarik. Sejauh ini desk olahraga tak pernah keteteran merangkum setiap kejadian yang patut dijadikan bahan berita. Baik yang mengharuskan liputan langsung di lapangan, terlebih lagi jika sekadar mengais bahan berita dari internet. Aku dibantu tiga reporter dan seorang fotografer, lebih dari cukup untuk memenuhi materi rutin dua halaman olahraga saban hari. Tapi kalau soal penyegaran, jujur saja ini ide brilian. Tiga reporter olahraga yang ada, semuanya pejantan. Ditambah satu fotografer yang juga pejantan, maka tak berlebihan jika skuad redaksi olahraga dianggap mirip sebuah kelas STM. Kondisi yang sudah berlangsung sejak jauh-jauh hari sebelum aku dipercaya menganggit rubrik ini.
Alasan penyegaran lebih menawan --- juga realistis --- untuk dieksekusi. Toh, perusahaan takkan rugi karena tidak usah menambah pos anggaran buat gaji karyawan baru. Kalaupun nanti mau memberi penghargaan seperti biasa dilakukan kepada reporter magang, paling penggantian uang transpor. Itu pun sifatnya tidak mengikat.
Iseng aku periksa berkas-berkas itu. Bukan curriculum vitae yang kali pertama aku cek, melainkan pas foto. Benar pula kata Si Bung Redaktur Pelaksana, lima berkas pengajuan semuanya berfoto betina. Aku amati satu per satu pas foto yang ditempel menggunakan paper clip di sudut kiri atas halaman pertama. Tak tahu kenapa, semesta seperti memberi titah kepada hatiku untuk langsung tertambat pada pas foto di berkas yang ketiga.
Cukup! Sebagai permulaan, acara memeriksa berkas aku cukupkan sampai di situ dulu. Butuh waktu yang lebih tumaninah untuk menelisik lebih saksama berkas-berkas itu. Walaupun sepintas sudah ada yang menarik perhatian, sangat tidak fair jika menentukan pilihan hanya berdasarkan wajah cantik di pas foto, meski motif awalnya memang untuk memberikan efek segar di desk olahraga. Proses seleksi biar kulanjut nanti saja selepas rapat proyeksi.
Usai rapat proyeksi, ketika belum semua awak redaksi bubar, Si Bung Redaktur Pelaksana ujug-ujug menyoal perihal berkas pengajuan kerja praktik. “Hey Bung, bagaimana soal mahasiswi magang? Apakah ada yang berkenan di hati? Atau justru berkenan semua? Kalau mau diambil semua, ambil saja. Bisa diatur. Siapa tahu mau bikin tim cheerleader. Tinggal ajukan saja pada Pak Pemred,” ujarnya dengan suara kencang berlogat khas Jawa Timur.
Karena mafhum Si Bung Redaktur Pelaksana tengah bercanda, maka aku membalasnya dengan gurauan sekenanya pula. “So pasti ada dong. Bahkan sepertinya bukan cuma cocok buat rekan kerja, tapi layak juga jadi rekan hidup.”
Si Bung Redaktur Pelaksana tergelak. “Yo wis, kalau sudah ada yang klop, tinggal suruh Sekretaris Redaksi buat ngontek yang bersangkutan.”
Meski sekadar gurauan, pertanyaan Si Bung Redaktur Pelaksana tak urung terus menempel di kepala sampai aku kembali ke meja kerja. Eksekusi agaknya harus dipercepat agar rapat redaksi tidak lagi jadi ladang olok-olok. Lebih dari itu, biar desk olahraga segera lepas dari cap mirip sebuah kelas STM.
Sekali lagi aku menjangkau berkas-berkas itu. Kali ini yang aku cek adalah asal kampus mereka. Kelimanya dari kampus bagus. Salah satu di antaranya bahkan dari almamaterku. Satu fakultas dan jurusan pula, FISIP HI. Kenapa pula ini mahasiwi HI nyasar mau magang di koran? Apa karena tahu ada kakak kelasnya kerja di sini? Sayang ketika aku periksa dia punya contoh tulisan, agaknya kurang berbakat. Lagipula hati ini kadung terpagut pada berkas nomor tiga yang sekarang entah jadi urutan berapa, karena telah diacak-dibolak-dibalik.
Aku perhatikan lagi pas fotonya. Aih, cantik nian dia. Curriculum vitae-nya pun sangat meyakinkan. Transkip nilai rapi didominasi ponten A dan segilintir B. Tak ada satu pun nilai C. Begitu aku periksa contoh tulisannya, rupanya dia sudah cekatan meramu kata. Beberapa cerpennya termuat di sejumlah majalah dan tabloid remaja, termasuk satu biji di edisi minggu harian ini. Puisinya terselip di sejumlah antologi, bahkan punya antologi sendiri. Sangat berbakat. Punya potensi besar jadi penulis atau wartawan andal.