Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #8

Hikayat Blackberry dan Kalung Warisan

Ini bagian terakhir kisah hubunganku dengan Vera. Cerita yang menurutku sangat melodramatik. Sebelum dengan Vera, dua kali aku punya kekasih. Irit memang. Yang pertama, dengan teman satu kompleks waktu kelas dua SMA. Yang kedua, dengan kakak tingkat Jurusan Hubungan Internasional yang mulai terjalin sejak dua minggu selepas masa Ospek beres hingga pertengahan semester dua. Keduanya biasa-biasa saja. Ketika dua kisah itu kandas, tidak sampai menyisakan residu yang mencemari jiwa untuk waktu lumayan lama. Sekali lagi, mungkin kisah ini terkesan menye-menye buat orang lain tapi sama sekali tidak buat aku.


MALAM minggu tiga hari selepas Vera menuntaskan seluruh prosesi kerja praktik, yang juga berselang sehari setelah gajian, aku bermaksud menggelar perayaan kecil-kecilan dengan mengajaknya makan malam di tempat istimewa. Yakni di Garden Resto Hotel Savoy Homann yang jaraknya hanya sekayuhan sepeda dari ruangan tempat aku bekerja. Di tempat itu ada sop buntut --- makanan kesukaan Vera --- yang rasanya paling sedap se-Bandung Raya.

Sebelumnya aku menyengajakan diri menyambangi BEC26 untuk mengikhlaskan nyaris seluruh gaji bulananku ditukar dengan sebuah Blackberry 8700. Dengan benda itu, aku ingin memberikan semacam hadiah atas keberhasilannya menuntaskan kerja praktik secara gemilang. Jadi primadona kantor selama lima bulan bukan karena tampilan fisiknya semata, melainkan pula berkat kinerjanya dalam meracik berita. Jadi buah bibir segenap penghuni kantor, tanpa kecuali. Dengan benda itu, aku ingin kelak komunikasi kami lebih lancar sebab setelah ini dia harus kembali ke kampus. Menjalani kehidupan selaku mahasiswi seperti sedia kala sebelum bersua aku. Kehidupan di mana aku tak bisa lagi mengontrolnya seintens lima bulan belakangan.

Selain menyiapkan Blackberry, aku juga membawa serta seuntai kalung emas putih model figaro yang menurut pemberinya --- almarhum ibu --- berbobot tidak kurang dari tiga puluh lima gram. Kalung yang lumayan besar dan akan terlihat mencolok jika dikenakan. Diameter rantainya nyaris sebesar kelingking bayi. Bukan kalung sembarangan. Punya nilai intrinsik dan ekstrinsik yang amat tinggi. Walaupun tidak memiliki surat pembelian karena merupakan barang warisan yang telah beberapa kali dituruntemurunkan, dari cilawagi kepada buyut kemudian kepada moyang terus kepada kakek dan akhirnya sampai ke tangan ayah, aku langsung bisa tahu berapa nilai intrinsiknya bila diuangkan. Katakanlah bobot kalung itu tiga puluh lima gram pas, terus dikalikan dua ratus enam puluh ribu rupiah sesuai harga jual-beli emas putih termutkahir, maka banderolnya lebih dari sembilan juta rupiah.

Tetapi, banderol itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan nilai ekstrinsiknya. Ketika hendak mewariskan kalung itu kepadaku pada suatu sore di hari Jumat bertahun-tahun silam, almarhum ibu menyertainya dengan wejangan penuh filosofi yang diutarakannya lewat kalimat-kalimat panjang. Bunyinya lebih-kurang seperti ini:

“Nak, patut kamu ketahui terlebih dahulu, yang hendak ibu berikan ini bukan kalung sembarangan. Kalung ini punya sejarah panjang untuk keluarga besar kita. Sudah ada sejak cilawagi Sumadiredja jumeneng menak pada jaman kompeni dulu. Itu berarti umurnya sudah ratusan tahun. Betul Nak, ratusan tahun. Coba kamu hitung, bila cilawagi, buyut, moyang, kakek, dan ayahmu masing-masing berumur enam puluh tahun saja, maka umur kalung ini tidak kurang dari tiga ratus tahun. Sementara cilawagi dan moyangmu, menurut cerita orang-orang, usianya melebihi seratus tahun. Kakekmu sendiri, ibu tahu betul, meninggal pada umur sembilan puluh empat tahun.

Harus kamu ketahui pula, Nak, tapi ibu yakin kamu sudah mengetahuinya sejak lama, keluarga menak Sumadiredja itu sudah kaya raya sejak dulu. Salah satu buktinya ya kalung ini. Hanya dari kalangan keluarga luar biasa kaya saja yang bisa memiliki perhiasan emas putih seberat ini kala itu. Namun Gusti Allah memang Maha Adil. Dia memberikan begitu banyak harta kepada keluarga Sumadiredja tetapi tidak dengan keturunan. Al Muhaimin, Sang Maha Mengatur, mentakdirkan setiap keturunan Sumadiredja untuk cuma punya satu anak dan selalu laki-laki. Tidak pernah ada anak perempuan lahir di keluarga besar Sumadiredja. Sama sekali tidak pernah.

Itulah barangkali yang jadi penyebab ayahmu, kakekmu, moyangmu, buyutmu, bahkan juga cilawagimu, semuanya ngawayuh27. Sebab, untuk memenuhi hasrat ingin memiliki anak perempuan atau punya anak lebih dari satu, cara paling memungkinkan memang dengan menikah lagi.

Uwakmu itu adalah anak dari istri pertama kakekmu. Sedangkan ayahmu, lelaki yang telah menikahi ibumu ini, adalah anak dari istri kedua kakekmu. Keduanya anak tunggal, sama seperti kamu. Sebenarnya kakekmu masih punya satu istri lagi, sayangnya tidak dikaruniai keturunan. Boleh dikata, ayahmu itu adalah bentuk upaya yang gagal dari kakekmu untuk punya anak perempuan. Kakekmu menikahi nenekmu, selain sebagai upaya punya anak lebih dari satu, disertai pula harapan besar dianugerahi anak perempuan. Tapi tetap saja yang brojol laki-laki, ayahmu.

Nak, kalung ini seyogianya diberikan kepada anak pertama dari istri pertama, seperti halnya tahta kerajaan yang hanya bisa diwariskan kepada keturunan ke satu dari istri ke satu. Jadi kalung ini sebenarnya hak uwakmu. Tetapi, Nak, uwakmu itu amat sayang kepada adik tirinya --- ayahmu --- sampai-sampai rela memberikan warisan berharga marga Sumadiredja yang sebenarnya mutlak jadi haknya. Itulah sebabnya sekarang kalung ini ada di tangan ibu. Ayahmu memberikan kalung ini tatkala melamar ibu.

Nak, hal terpenting yang harus kamu ketahui, kalung ini memiliki mukjizat yang keampuhannya telah terbukti secara turun-temurun. Kamu boleh tidak percaya, tapi ibu sendiri sudah merasakan berkahnya. Kalung inilah yang menyelamatkan rumah tangga ibu dengan ayahmu. Keputusan ayahmu untuk menceraikan istri mudanya, secara syariat berkat keberadaan kalung ini. Konon istri-istri pertama dari cilawagimu, buyutmu, moyangmu, dan kakekmu, bisa teguh hati melihat suaminya ngawayuh lantaran dilindungi mukjizat kalung ini.

Sebelum kalung ini menjadi sepenuhnya milik kamu, Nak, ibu mau menyampaikan wewanti turun-temurun yang dulu ibu dengar dari mulut kakek-nenekmu. Wanti-wanti ini tiada lain menyangkut kegunaan dan keutamaan kalung ini. Kegunaan kalung ini cuma satu, tiada lain sebagai pengikat perempuan yang kamu yakini bakal menjadi istrimu. Artinya, bila kamu telah menemukan perempuan yang kamu anggap bakal jadi jodohmu, maka berikanlah kalung ini sebagai tanda penjadi pada saat melamarnya. Oleh karena itu, sebelum memutuskan kepada perempuan mana kalung ini hendak diberikan, baiknya melalui pertimbangan sematang-matangnya. Sebisa mungkin hindari keputusan memberikan kalung ini dilandasi rasa cinta semata. Sebelum menentukan pilihan, ada baiknya melakukan semua ikhtiar yang memungkinkan kamu merasa yakin seyakin-yakinnya. Ikhtiar batin, ikhtiar nalar, pun ikhtiar ilahiah.

Ingat Nak, jangan sampai salah menentukan keputusan karena hal itu berkaitan dengan keutamaan kalung ini. Oleh sebab, keutamaan kalung ini hanya akan berlaku jika diberikan kepada perempuan yang benar-benar jadi jodohmu. Jika jatuh kepada perempuan yang keliru, maka keutamaan kalung ini tidak akan berlaku.

Pasti kamu mau bertanya, apa keutamaan kalung ini, bukan? Mari ibu jelaskan. Kalung ini adalah perisai, yang bakal melanggengkan rumah tanggamu, yang bakal merekatkan hubung kamu dengan istrimu selamanya. Sepanjang kalung ini berada di tangan istrimu, percayalah Nak, bahtera rumah tanggamu tidak akan karam. Tak jadi soal seberapa pun dahsyatnya badai yang mengadang. Jadi, jangan sekali-kali kepikiran untuk menjual kalung ini ya, Nak! Bagaimanapun caranya, usahakan kalung ini tetap berada di tanganmu dan tangan istrimu.

Tapi ibu selalu berharap, kelak kamu punya rumah tangga yang ayem-tentrem-langgeng, rumah tangga yang tidak sampai membutuhkan kemukjizatan kalung ini. Rumah tangga yang menurut orang zaman sekarang disebut sakinah, mawadah, warahmah."

Dan sekarang kalung itu ada di saku dalam jaketku. Dibungkus kantung kain beludru warna burgundi, yang menurut penurutan ibu telah jadi wadahnya sejak dulu. Sesungguhnya aku belum memutuskan secara bulat akan memberikan kalung itu kepada Vera. Walaupun sangat mencintainya, aku harus jujur, masih ada ruang-ruang kosong yang menyebabkan aku belum merasa yakin sejuta persen jika dia adalah perempuan yang akan jadi istriku kelak. Lagipula sebelumnya aku tak sempat melakukan ikhtiar batin, ikhtiar nalar, dan ikhtiar ilahiah, untuk memperoleh keyakinan menentukan pilihan kepada Vera. Kalaupun aku tetap membawanya, tujuannya sebagai jaga-jaga bila dalam pertemuan yang sebentar lagi berlangsung, ada momen di mana aku merasa yakin sejuta persen Vera adalah jodohku, tanpa harus melakukan ikhtiar-ikhtiar seperti dalam wewanti ibu.

Lagipun aku memang belum berencana melamar Vera. Dalam pertemuan yang sebentar lagi akan berlangsung, aku sekadar ingin mendengar kata penegasan keluar dari bibirnya bahwa setelah masa kerja praktik usai, dia akan tetap menjadi kekasihku. Itu saja. Tidak lebih!

Bila memungkinkan, sekaligus aku ingin mendapat jawaban atas rasa penasaran soal statusnya. Apakah saat ini dia masih sendiri atau sudah punya pacar di kampus. Sebab, sejak awal aku merasa sedikit kurang masuk akal jika perempuan secantik dia tidak punya kekasih. Jangan-jangan dia sedang bersandiwara, memberi respons positif kepadaku hanya karena punya kepentingan dengan Mata Kuliah Praktiknya. Jika memang sudah ada laki-laki lain di hatinya, aku akan mundur seketika.

Usai menyantap sop buntut dengan penutup es kopyor yang terasa legit, aku menggeser tempat duduk lebih dekat ke Vera.

“Pri!”

Vera sigap menoleh. Dia tahu betul, sesuatu di luar kebiasan bakal terjadi bila panggilan itu keluar dari mulutku. Pri adalah leksem yang khusus aku gubah sebagai cara istimewa untuk memanggilnya pada momen-momen tertentu saja. Jarang sekali aku gunakan. Leksem Pri diambil dari suku kata pertama Frida Kahlo28 yang film biopiknya dibintangi dengan sangat brilian oleh Salma Hayek. Gara-gara sering dibilang mirip, Vera sangat menggemari film-film Salma Hayek, terutama biopik Frida yang kemudian sekaligus membawanya jadi pengagum seniman surealis termasyhur itu. Perubahan leksem Fri menjadi Pri merupakan bentuk adaptasi kearifan lokal orang Sunda yang kesulitan melafalkan huruf f.

“Sekali-kali kita ngomong yang serius, yuk!”

“Hooh ya, perasaan kita mah bercanda terus.”

“Makanya, kadang aku mikir, jangan-jangan hubungan kita juga cuma bercanda?” aku mendramatisir situasi.

“Hah, masak sih?”

Lihat selengkapnya