Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #9

Keranjang Bayi Musa

UNTUK beberapa waktu, sungguh sulit mengikis habis kenangan-kenangan akan Vera. Hal remeh-temeh seperti menyaksikan ikan gupi jantan mencumbui betinanya di akuarium atau melihat daun sukun luruh di pekarang atau bersua burung gereja di halaman kantor atau peristiwa receh-teceh apa saja, bisa serta-merta dengan mudah mengurah kenang-kenangan itu. Dan kenangan tentang Vera --- yang semuanya indah --- akan terurah begitu dahsyat bila tidak sengaja menyimak berita yang di dalamnya menyebut kata Cipanas. Adegan dia bangkit dari yakuzi kamar hotel dengan daster basah hingga mencetak lekuk tubuhnya secara sempurna, datang menderu seperti suara baling-baling helikopter. Setan seakan misuh-misuh karena kesal, mendamprat-damprat tenahak, lalu menuding-nuding dengan seluruh jarinya yang berkuku runcing seraya memvonis aku sebagai lelaki bodoh. ‘Kamu tidak peka. Itu bukan kebetulan, nyaho! Dia sengaja melakukannya untuk memancing kamu. Yang dia kehendaki bukan sekadar pelukan dan ciuman di kening. Kesempatan emas seperti itu tidak akan datang dua kali. Kenapa kamu tidak menerkamnya? Dasar bodoh! Dasar lelaki arkais kecil empedu!’ hardik sang iblis. Gilanya, di saat-saat tertentu, hardikan sang iblis itu kerap aku amini.

Kesibukan, lompatan karir, kenaikan gaji, musim panas, musim durian, kesenangan-kesenangan hidup lain, bahkan satu-dua-tiga perempuan yang sempat singgah, tak jua mampu menghapus memori-memori tentang Vera secara kemput. Aku melakoni hidup dalam keadaan jiwa seperti orang kena tenung. Untung saja aku masih dikaruniai keteguhan hati menjadi lelaki normal, sehingga tidak sampai mutung untuk kemudian memutuskan hidup selibat atau setidaknya frustrasi dengan menjadi homo.

Konon seperti itulah derita yang harus dipikul ketika asmara kandas di saat sedang gandrung-gandrungnya. Dan, masih menurut sang konon, derita itu hanya bisa diakhiri dengan cara bertemu pengganti yang lebih. Jika yang hendak diganti berparas cantik, maka penggantinya harus lebih cantik. Bila yang sebelumnya pintar, maka yang selanjutnya mesti lebih pintar. Begitu seterusnya.

Masalahnya, kalau yang hendak diganti punya paket lengkap: cantik, pintar, seksi, dan lain-lain sekaligus, maka derita itu dipastikan sulit berakhir. Kenyataan itulah yang aku rasakan. Beberapa perempuan hadir ke sela-sela hidupku setelah Vera. Ada yang cantik tapi tidak pintar. Ada yang pintar tapi tidak cantik. Ada yang seksi tapi tidak pintar dan tidak cantik. Ini tapi itu. Begini namun begitu. Pokoknya tak ada yang seperti Vera.

Padahal sebenarnya aku sendiri tidak pernah secara absolut mematok standar perempuan yang jadi kekasih berikutnya, atau bahkan istri, wajib seperti Vera. Sebab aku tahu pasti, tak ada zebra yang lahir dengan belang sama persis. Hanya mungkin semesta belum merestuiku untuk bertemu yang cocok. Semesta belum membocorkan rangkaian angka yang pas sebagai kode pembuka kunci brankas hatiku untuk menerima deposit perempuan selanjutnya.

Butuh waktu hampir setahun untuk benar-benar bisa menafikan kehadiran Vera dari hidupku. Itu pun sebatas menafikan secara fisik, secara verbal, tapi tidak secara batin.

Setelah acara makan malam nan tragis di Garden Resto itu, aku tidak langsung memutuskan untuk menjauh. Sekuat tenaga aku berupaya mundur pelan-pelan dengan cara yang aku anggap elok. Cara ini aku tempuh untuk menjaga hubungan tetap baik di kemudian hari. Aku tak mau hati Vera terluka, sebab aku tahu persis dan dapat merasakan dengan kuat betapa Vera sebenarnya juga sangat mencintaiku. Kalaupun tetap harus terluka, setidaknya koyak tidak terlalu parah. Dalam kurun setahunan itu, kami masih rajin berkomunikasi. Sesekali bertelepon, lebih banyak via BBM. Vera masih seperti Vera yang aku kenal selama lima bulan masa kerja praktik. Tak ada yang berubah, kecuali jadwal ketemu yang tidak lagi sesering sebelumnya.

Selanjutnya aku meretas program menjauhi Vera dengan cara sedikit demi sedikit mengurangi intensitas berkomunikasi. Dimulai dengan sengaja berlama-lama membalas BBM dari dia. Awalnya dia sempat merajuk, tapi pelahan-lahan mulai terbiasa. Pelan-pelan dia pun melakukan hal yang sama terhadap BBM yang aku kirim.

Pada dasarnya Vera seorang perempuan yang sangat cerdas. Tanpa penjelasan dengan kalimat berbuih-buih, dia langsung mafhum sebuah perubahan tengah terjadi dalam hubungan kami. Tanpa ada protes, sonder disertai acara tangis-tangisan, intensitas hubungan kami secara alami surut dengan sendirinya. Modus desideratif yang aku lancarkan berjalan sesuai harapan. Yang aku lakukan kemudian tinggal memberi tahu tentang musabab yang membuat aku mundur dari kehidupannya. Ini penting, sebab aku tak mau Vera memiliki syak wasangka buruk bahwa keputusan aku menjauhinya karena dia janda, sempat hamil, dan pernah keguguran. Bukan, bukan itu, melainkan karena ada hal lain.

Namun, seperti halnya aku yang didera gelebah batin luar biasa, bohong belaka bila Vera menghadapi kandasnya hubungan kami dengan hati sebenderang sinar bulan tanggal opatwelas. Setidaknya itu yang aku simpulkan saat suatu malam mengintip status BBM-nya. Dalam statusnya dia menulis: “Muito obrigada29! Aku baik-baik saja dan harus baik-baik saja. Aku kuat, sekuat Hulk”.

Adalah hal sangat jarang dia menulis status yang bersifat personal, baik di Facebook maupun BBM. Status-statusnya berkumpar di seputar perihal sastra, buku, makanan, dan kucing. Lain-lain tidak. Hanya pada momen-momen tertentu saja dia mencurahkan unek-unek hati ke beranda media sosialnya. Jika menjauhnya aku bukan sebuah ‘momen tertentu’, rasanya Vera tak akan sampai mengungkapkannya lewat status BBM. Dan aku berani bertaruh, status itu bukan ditujukan pada Walikota Bandung atau Perdana Menteri Inggris, melainkan buat aku.

Dugaanku sama sekali tidak meleset. Pagi hari setelah malamnya menulis status itu, Vera mengirim BBM yang kalimatnya mirip cerpen-cerpen yang dia tulis. “Untuk Antonio Banderas yang pernah memenuhi hati Salma Hayek hingga sebak, ucapan terima kasih saja sebenarnya tidaklah cukup. Tapi hanya ini yang bisa Salma Hayek lakukan, maka ijinkanlah Salma Hayek mengucapkannya. Aa, terima kasih ya. Terima kasih sejuta, terima kasih semiliar, hatur nuhun sa-Bandung-eun. Sekali jadi Antonio Banderas maka akan selamanya seperti itu. Sudah itu saja!”. Dan di akhir BBM itu, dia menakik kata-kata yang sungguh membuat aku tertawan: “NB: Salma Hayek takkan berhenti berharap. Salma Hayek hanya akan berhenti berharap sampai suatu saat melihat Antonio Banderas bersanding dengan perempuan lain di pelaminan. Sebelum itu terjadi, izinkan Salma Hayek untuk tetap berharap kembali memiliki Sang Antonio. Tabik!”.

Jleb! Seperti ada yang menancap di dadaku. Tidak perih memang, tidak pula sakit. Hanya menularkan rasa sesak untuk beberapa jenak. Tapi ide yang diusung dalam kalimat pamungkas di BBM itu sungguh cemerlang. Aku pun setuju sangat. Sepanjang salah seorang di antara kita belum menikah, jangan pernah berhenti memperhitungkan restu semesta akan adanya jalan yang membuat kita bersatu kembali. Sesungguhnya itu pula yang aku pikirkan. Walaupun aku memutuskan untuk menjauh, tapi di hati yang paling dangkal sekalipun, aku tak akan pernah membunuh harapan kembali bersama.

Lihat selengkapnya