TIDAK sulit menemukan Jalan Reog. Letaknya hanya sepeminum teh dari kantor Kepolisian Sektor Regol. Dari Jalan Buahbatu tinggal masuk ke Jalan Solontongan. Setelah itu ambil kanan terus belok kiri di tikungan kedua. Di situlah Jalan Reog yang membentang dari selatan ke utara sepanjang lebih-kurang delapan ratus meter.
Ada beberapa Jalan Reog. Selain memiliki cabang Jalan Reog I dan II, di balik deretan rumah Jalan Reog utama ada pula anak jalan yang dinamai Jalan Reog IA, IB, dan seterusnya.
Suasana Jalan Reog utama terlihat sangat asri dengan lanskap didominasi rumah-rumah besar, baik di birai kanan maupun kiri. Jalur pedestriannya yang terbuat dari paving grass block kentara sangat terawat. Rata. Tak ada bagian yang bergelombang, pecah, atau sompek. Rumput peking yang ditanam di rongga grass block tumbuh kompak dalam ukuran yang sama, pertanda dipiara secara telaten.
Tiap dua meter, jalur pedestrian dihiasi beberapa jenis pokok peneduh yang tumbuh permai bak di alam asalnya. Flamboyan, tabebuya, dan ganitri ditanam berselang-seling. Satu-dua ketapang kencana meneguhkan kepermaian. Sama sekali tidak terlihat barang sebatang angsana, pokok penuduh yang dikenal pesat sekali tumbuh tapi rapuh dan mudah rubuh.
Kebetulan pohon ganitrinya sedang berbuah lebat. Buahnya banyak yang reras sampai berserak di jalan. Curah hujan yang tinggi membuat tangkai-tangkai buah menjadi lemas sehingga memudahkan kerja angin untuk mereraskannya ke bawah. Ban motorku beberapa kali melindasnya. Getarannya sangat terasa, sebab buah ganitri dikenal punya kekuatan luar biasa keras. Bijinya tidak pecah meski dilindas ban motor sekalipun. Dalam beberapa kasus, alih-alih pecah, untuk meloloskan diri dari himpitan karet ban, dia lebih memilih mencelat ke sembarang arah seperti efek pegas bola bekel yang dihantamkan ke lantai dengan tenaga penuh. Hanya kulitnya yang mengelupas menyisakan bercak-bercak ungu di atas aspal.
Lokasinya yang masih termasuk pusat kota namun relatif belum terkontaminasi kebisingan, membuat bilangan Reog jadi incaran orang berduit untuk membeli tempat tinggal. Seorang mantan gubernur Jawa Barat era Orde Baru juga bermukim di jalan ini, menempati sebuah rumah nan megah di birai kanan.
Beberapa bangunan di Jalan Reog utama disulap jadi tempat kos-kosan bertarif mahal. Sebagian kecil dijadikan tempat usaha. Tak ada lahan yang dibiarkan kosong barang sehasta di sepanjang Jalan Reog utama.
Rupanya aku salah mengambil arah masuk. Titik awal Jalan Reog yang aku masuki ternyata memiliki nomor yang besar-besar. Tiga digit. Sementara aku menuju Jalan Reog Nomor Empat. Berarti nun di ujung yang satunya lagi. Tak apalah, toh tidak terlalu jauh. Hanya saja aku harus lebih berhati-hati menghindari biji ganitri yang berserak di jalan. Salah-salah motorku bisa terpeleset karenanya.
Sambil melaju dalam kecepatan rendah, mataku terus tertuju ke bangunan-bangunan sebelah kanan, sebab bangunan sebelah kiri terdiri dari nomor ganjil. Sebuah plang putih yang masih cemerlang belum banyak ditingkahi debu, menghentikan laju sepeda motorku. Ditulis dengan huruf kapital melulu memakai cat hitam, di plang itu terdapat tiga baris kalimat:
KANTOR LEMBAGA BANTUAN HUKUM
KOTA BANDUNG
JALAN REOG NO. 6, BANDUNG
Di sebelah kiri atas plang terdapat gambar manusia sedang bersimpuh menghamba pada sebuah timbangan. Itulah logo LBH yang serta merta langsung mengingatkanku pada gambar sampul album Metallica, And Justice for All. Satu dari sedikit kaset metal yang aku beli saat SMA dulu.
Rupanya sedang ada perhelatan. Parkiran sesak dengan mobil, yang memaksa motor untuk parkir di luar, mengkooptasi jalanan. Seorang lelaki berompi biru bladus tergopoh-gopoh menghampiri seraya memberi isyarat agar aku memasukkan motor ke sebuah celah kosong antara dua motor warna hitam. Sempritan merah yang sedari tadi terselip di kiri bibirnya menjerit tiga kali. Bunyinya mengganggu telinga. Lebih menganggu lagi adalah air liur yang menyiprat dari sempritan. Andai aku berada lebih dekat lagi, cipratan itu pasti… Ah sudahlah, jangan dibayangkan!
Lelaki itu --- juru parkir --- pasti mengira aku datang untuk menghadiri acara. Makanya aku mengangguk saja ketika dia berkata, “acaranya sudah mulai dari tadi, Pak!”
Seperti bangunan lain di Jalan Reog utama, kantor ini juga terlihat sentosa. Bangunan semi art deco yang sangat lebar. Di pekarangannya, pohon pucuk merah berbaris rapi dalam pot-pot besar. Aku yakin bangunan ini aslinya adalah tempat tinggal. Jika tidak dipasangi plang di depan, tampilan muka bangunan plek-ketiplek rumah tinggal. Paviliunnya dibentengi pagar tembok melengkung, khas arsitektur bergaya art deco. Terlihat jelas tempat ini baru saja bersolek. Cat pagar, dinding, kusen, daun pintu, juga jendela, masih tampak segar mengkilap. Aroma terpentin daur-baur dengan asap rokok dan wangi tubuh tetamu.
Aku berjalan sedikit segan memasuki paviliun. Keraguan mulai membuyarkan niat bertemu dengan Pak Andri. Muncul ketidakyakinan aku bakal mendapatkan apa yang aku mau dalam suasana sedang hiruk-pikuk. Tapi aku sudah berada di sini. Tak ada salahnya mencoba dulu. Kalaupun akhirnya ketidakyakinanku menemui kebenaran, itu murni kesalahanku yang tidak memberikan konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak yang mau aku temui. Hanya berbekal proyeksi dari Vera --- yang pernah pula disampaikan Jimi --- bahwa Pak Andri bisa dijumpai di kantornya pada hari Selasa dan Rabu.
Beberapa muda-mudi duduk berdempetan menyesakki dua buah sofa yang dipasang berderet. Salah seorang di antaranya langsung bangkit menyambut kedatanganku. Seorang pemuda dengan kapala dibebat kain tenun Lombok. Berkaus oblong hitam dengan gambar siluet potret Munir yang di bawahnya tertulis kalimat: kami tetap ada dan berlipat ganda.
Dia mengarahkanku menuju sebuah meja yang di atasnya ada buku tamu. Dengan halus aku menampik arahan untuk menulis sesuatu di atasnya.
“Hatur nuhun! Tidak! Tak usah. Saya hanya urusan pribadi. Mau ketemu Pak Andri. Ada?”
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Malah melirik ke arah dadaku. Ke arah kartu wartawan yang sejak beranjak dari tempat parkir tadi sengaja aku pamerkan di dada. “Oh iya. Ada, Pak! Ada. Pak Andri ada di dalam.”
“Maaf, ini acara apa ya? Diskusi?”
“Bukan, Pak. Ini acara syukuran kantor baru. Kita baru pindah. Tadinya di sebelah.”
Refleks aku menyapukan pandang ke arah bangunan sebelah ketika pemuda itu mengacungkan ibu jari ke sana. Ya Allah, aku baru sadar. Bangunan yang aku masuki ternyata bernomor enam. Tadinya aku berniat menuju bangunan di Jalan Reog Nomor Empat sesuai petunjuk Vera dan Jimi.
“Acaranya baru saja beres kok, Pak. Kalau mau ketemu Pak Andri, silakan langsung ke dalam,” pemuda itu kembali memberikan informasi bagus tanpa aku harus lelah bertanya.
Aku beringsut menuju ruang dimaksud. Ruang tengah sebuah rumah tinggal yang disulap mirip aula. Ternyata rumah ini punya ruang tengah yang cukup lega. Di salah satu kursi, tampak beberapa orang sedang mengerubungi seorang lelaki. Beberapa di antaranya mengajak bincang-bincang, beberapa yang lainnya sibuk dengan kamera masing-masing. Para reporter dan fotografer.
Tak disangka, aku kenal seorang di antaranya. Anak buahku di kantor. Keraguan tidak akan bisa menemui Pak Andri kini sirna. Anak buahku itu bisa dijadikan batu lompatan.