Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #11

Baron

TEPAT di bawah plang akrilik bertuliskan Semeru, sebuah mulut koridor menganga menawarkan kepongahan bagi siapa saja yang baru kali pertama menyusurinya. Koridor berudara kering dengan bau netral. Tak ada wangi pembersih lantai, bau lembab, parfum manusia, atau lainnya. Tanpa diperintah, kakiku bergerak mengikuti langkah dua petugas memasuki koridor tersebut. Bertiga kami jalan beriringan mirip petugas pengibar bendera.

Berbeda dengan koridor-koridor yang kulewati sebelumnya, koridor bernama Semeru ini sangat panjang. Birai kanan-kirinya terdiri dari bangsal yang saling berhadapan. Saking panjangnya, pemandangan di hadapanku mengkontruksi efek optik perspektif yang sempurna. Mirip efek perspektif ketika berada di dalam terowongan kereta api. Ujung koridor nun di depan sana yang juga berupa pintu, dari titik aku masuk terlihat jauh lebih kecil dibanding ukuran sebenarnya.

Kecuali daun pintu yang terbuat dari besi kokoh bercat coklat kopi, semua benda di koridor itu berkelir serba putih. Lantai, dinding, langit-langit, bahkan kaca bangsal pun disaput cat putih supaya tidak tembus pandang. Sekilas ingatanku mencelat jauh ke waktu lampau, pada sebuah rumah sakit di Singapura tempat ayah dulu meninggal saat menjalani perawatan jantung.

Senyap menyergap saat kaki kami mulai merayapi koridor. Begitu senyap sehingga suara keletak-keletok sepatu kami terdengar sangat nyaring bak efek suara film di Bioskop 21. Tapi kesenyapan hanya berlangsung sesaat. Koridor panjang dengan langit-langit tinggi itu dalam sekejap semarak oleh bunyi jerit engsel jendela. Pantulan suara sepatu kami rupanya memancing hampir semua penghuni bangsal sepanjang koridor untuk melongokkan kepala via jendela.

Semua mata menatap ke arahku. Ya, ke arahku. Bukan kepada dua petugas di kanan-kiriku. Mungkin mereka berpikir aku adalah orang yang bernasib sama dengan mereka dan calon penghuni baru di sana.

Seorang berperawakan gempal tiba-tiba muncul dari balik salah satu pintu, beberapa langkah sebelum aku melewati bangsalnya. Aku sempat kaget sebab gerakan pemuda itu seperti hendak mengadang. Berdiri mematung di tengah lorong. Dia menatap lekat ke arahku dengan sorot mata sulit diterka, antara ramah dan sinis. Seulas senyum dipaksakan keluar dari bibirnya. Senyum yang juga sulit ditebak maknanya, antara mengucap selamat datang atau menantang duel.

Jelas dia bukan orang yang hendak aku temui. Aku sama sekali tak mengenalnya. Bahkan baru sekarang melihat potongan manusia berperawakan mencolok seperti itu. Mukanya putih bersih tapi kulit di bagian tubuh lain berwarna lebih gelap. Postur tubuhnya bongsor ke samping. Kepalanya pelontos, hanya menyisakan sejumput rambut di sekitar ubun-ubun. Mengingatkanku pada model rambut penyerang tim nasional sepakbola Brasil, Ronaldo Luiz Nazario de Lima, saat memenangi Piala Dunia 2002. Walaupun sekarang tampak sedang berupaya menebar keramahan, tapi sorot mata anak muda itu tak bisa berbohong. Ada kesan morbid yang menyiratkan pemiliknya tidak sentosa hidup di sana.

Aku bingung harus berlaku seperti apa. Pemuda itu pun tidak menunjukkan gelagat yang jelas. Antara mau mengadang, hendak berkenalan, atau sekadar melihat kedatanganku tanpa malu-malu melongok lewat jendela seperti penghuni bangsal yang lain.

Seorang petugas agaknya mafhum dengan situasi yang sedang aku hadapi. “Ini temannya Baron. Mau nengok,” ujar petugas bernama Salahuddin sambil menepuk pundak pemuda itu.

Dia hanya merespons dengan dengusan halus beberapa kali. Sejurus kemudian membalikkan badan untuk kembali masuk ke kamarnya. Benar-benar sebuah adegan yang tak jelas hulu-hilirnya.

“Anak yang sangat baik. Kakeknya purnawirawan jenderal. Ketua umum partai politik. Tapi kasihan, otaknya sedikit kena karena terlalu lama kecanduan heroin. Sudah cukup lama di sini. Santri inaba paling lama. Lebih dari dua tahun,” Pak Salahuddin berbisik kepadaku.

Aku terkesiap mendengar kalimat Pak Salahuddin. Bukan karena isinya, melainkan karena ekstensi di balik kalimatnya. Petugas pusat rehabilitasi terkenal seperti ini bermental mulut ember. Bagaimana bisa info sesensitif itu diucapkan seorang petugas kepada tamu baru. Untung saja aku bukan ketua umum partai seteru politik kakeknya. Tapi aku berwasangka baik saja, mungkin Pak Salahuddin bermaksud agar aku memaklumi kelakuan pemuda tadi.

Namun penjelasan Pak Salahuddin tak urung membuat penasaran. Aku kembali menyapukan pandangan ke arah pemuda tadi. Ingin melihat wajahnya lebih saksama. Mungkin dia mirip dengan seorang purnawirawan jenderal yang wajahnya sering lalu lalang di televisi. Tapi apa mau dikata, sosok itu sudah tak kelihatan lagi. Terakhir aku hanya melihat sekilas punggungnya yang dibalut jersey basket kuning bertuliskan Kobe Bryant, sebelum hilang ditelan pintu.

Keluar dari pintu ujung koridor, kami tiba di ruangan serupa ruang tamu yang sangat lega. Di sana aku diberi aba-aba untuk menunggu. Sementara seorang petugas duduk menemaniku di kursi, Pak Salahuddin menjemput Baron dari kamarnya. Sambil menunggu, aku sapukan mata ke dinding sebelah kiri tempat di mana terpampang sembilan foto pria tua dalam bingkai kayu berdimensi tiga puluh kali empat puluh centimeter. Empat foto paling kiri masih hitam putih, sisanya sudah berwarna. Semua pria di foto-foto itu tampil dengan kepala berhias serban. Tertakik nama di bagian bawah tiap foto. Seluruh nama di foto-foto itu diawali dua hurup kapital: KH. Nama dan wajah di foto paling kanan sangat familiar. Seorang tokoh agama termasyhur, bukan hanya di Tatar Sunda tapi juga seluruh Nusantara. Dialah yang sekarang jadi buya tertinggi di pesantren ini. Pesantren besar dan terkenal yang di dalamnya bukan hanya menyediakan tempat mendalami ilmu agama, tapi juga membuka pusat rehabilitasi para pecandu narkoba secara gratis.

Tak terlalu lama, Pak Salahuddin kembali sambil diiringi seorang anak muda berbaju koko biru lengan pendek. Dasar fanatikus Persib. Aku masih ingat betul, dulu waktu dibesuk pertama kali di Polsek Regol, Jimi mengenakan kaus biru yang di dadanya terdapat sablonan bertuliskan Viking Persib Club. Sekarang Baron di tempat rehabilitasi, memakai baju koko warna biru dengan bordir logo tim Persib di bagian saku dada.

Tak ada yang mencolok dari fisiknya. Kecuali setumpuk tato yang saling berdesakan di atas kulit kedua lengannya. Tato yang amat buruk. Lebih menyerupai daki yang menumpuk. Catnya pudar. Acak-acakan. Tak nyeni. Tato bujet rendah yang dibuat asal-asalan.

Menurut penuturan Jimi, Baron punya sifat pemalu dan gugupan. Sulit akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Karena itulah, masih menurut Jimi, Baron tak punya banyak teman.

Tali persahabatan Jimi dan Baron mulai terjalin sejak SMA kelas satu. Jika dengan orang lain Baron kesulitan untuk akrab, tapi tidak dengan Jimi. Hanya sekali ngobrol, keduanya langsung nyetel. Persahabatan itu dengan cepat direkatkan oleh lem persamaan status sebagai anak merdeka yang hidup bebas di luar rumah dan sama-sama pendukung fanatik Persib Bandung. Bedanya, Baron bukan anggota geng motor namun pemakai obat-obatan kelas berat. Sementara Jimi jadi anggota geng motor tapi tak sampai kecanduan, baik obat-obatan maupun minuman. Sering mabuk tapi tidak seperti Baron.

Sejak kelas satu SMA, hidup Baron praktis tak bisa lepas dari obat-obatan. Buat dia, selain Jimi, xanax32 adalah sahabat setia yang selalu ada dalam berbagai suasana. Murah dan mudah didapat tapi sangat mustajab mengatasi penyakit cemas dan gugup. Anehnya, dia hanya keranjingan pada obat-obatan. Minuman keras sama sekali tidak disentuhnya.

Aku mengetahui keberadaan Baron dari Vera. Tak perlulah aku tahu dari mana Vera mendapat info itu sebelumnya.

Lihat selengkapnya