Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #12

Uwak 1

GARA-GARA kasus Jimi, tanpa bisa dihindari hubungan aku dengan Vera kembali terjalin. Rutin berkomunikasi, bahkan telah dua kali bertemu dalam tiga pekan terakhir. Tentu saja beda dengan di masa silam, komunikasi-komunikasi dan pertemuan-pertemuan yang terjadi belakangan ini murni tak ada sangkut paut dengan urusan asmara. Setidaknya motif yang melatarbelakanginya bukan karena rindu ingin bertemu atau kepentingan sebangsa itu. Tapi pemikiran ini semuanya menurut versi aku belaka, sedangkan versi Vera hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Meski demikian, sekali lagi aku harus jujur, aku selalu merasa jadi suami yang laif saat kembali bersua muka dengan dia. Bagaimanapun aku lelaki normal dengan tingkat kesalehan semenjana. Kemolekan Vera sebagai perempuan yang tengah menapaki tingkat tertinggi kematangan hidup, ditunjang kenangan-kenangan masa lampau, dan juga statusnya yang tak kunjung memilih lelaki lain setelah aku bahkan untuk sekadar jadi kekasih, selalu saja jadi bahan bakar setan untuk mendorong-dorong aku ke tubir kabair. Apalagi aku selalu merasa hakulyakin Vera masih mencintaku dan untuk merebut kembali hatinya akan semudah merampas permen dari genggaman balita. Bahkan keakuanku sebagai lelaki telah dengan jemawa menghadirkan kesimpulan, bahwa Vera tidak bakal menampik seandainya aku menjadikannya istri kedua. Untungnya Sang Maha Kuasa memberkati aku dengan rasa sayang yang demikian hebat kepada istriku, sehingga tiap kali pemikiran-pemirikan lancung itu muncul dengan serta-merta surut sendiri seperti bau kentut terhembus angin.

Atas dasar kesadaran itu, aku kemudian membuat batasan, jika bukan membahas perkara Jimi, aku menahan diri untuk tidak menghubunginya. Demikian pula Vera. Dengan kesadaran diri, tidak perlu diminta, hanya menghubungiku untuk kepentingan itu. Bahkan, untuk menjaga perasaan Syifa, kami menghindari berkomunikasi pada pagi dan malam hari. Dua waktu di mana kemungkinan besar aku sedang bersama istri.

Tiga minggu lalu Vera menelepon. Aku kira ada kaitannya dengan kasus Jimi. Tapi ternyata hendak minta tolong dicarikan topik seminar. Asal saja, aku menyodorkan ide tentang isu yang sedang hangat, yakni mulai berbondong-bondongnya media cetak membuat versi daring. Dalam istilah kami, sedang terjadi perubahan pola sajian dari konvensional ke digital. Seraya bla… bla… bla… aku memberikan sedikit penjabarannya. Ternyata ide itu ditelan mentah-mentah saat Vera mendiskusikannya dengan jajaran panitia. Topik yang memang sedang in, terlebih buat entitas yang memiliki kepentingan dengan isu-isu publisistik seperti Fakultas Ilmu Komunikasi tempat di mana sekarang Vera bekerja jadi dosen muda.

Yang membuat aku begitu antusias, ternyata aku diminta jadi salah satu pembicara. Permintaan yang sudah pasti tak kuasa aku tolak karena dua alasan, yakni faktor Vera dan aku mulai menikmati dunia baru: jadi pembicara seminar.

Laptop aku matikan. Tak peduli kondisi baterainya dalam keadaan tidak penuh. Materi seminar yang berulang kali aku pelajari, telah sepenuhnya menempel di otak. Andaipun apes laptopku tiba-tiba mati, tidak jadi masalah. Toh, slide materi untuk tampilan in focus sudah aku kirim ke panitia.

Dengan begitu, urusan teknis beres. Kini tinggal menggarap urusan nonteknis.

Atas nama masa lalu, ada dorongan menggebu agar aku harus tampil sekeren mungkin saat jadi pembicara hari ini. “Pokoknya Aa kudu tampil gourgeus. Kalau perlu ke salon dulu. Mantan Ve enggak boleh malu-maluin,” itu yang dibilang Vera di telepon dua hari lalu saat mengkonfirmasi ulang kesiapanku jadi pembicara. Hak dia menyebut aku ‘mantannya’. Sepanjang suara saat dia menyebut kata itu tidak terdengar istriku, tak sesuatu pun yang dilanggar. Etika tidak, kesopanan tidak, apalagi hukum. Kenyataannya aku memang mantan dia dan dia bekas pacarku. Tapi wanti-wanti dia di telepon agar aku tampil habis-habisan terus menyentil-nyentil telinga batin. Kondisi psikologiku seperti sedang berada dalam kondisi seolah-olah hendak menghadap presiden, bukan menjadi pembicara seminar dengan audien kalangan kampus.

Saking besarnya efek wanti-wanti Vera, sampai-sampai aku menyempatkan diri mengunjungi tukang cukur langganan sebelum Jumatan kemarin. Padahal Jumat dua pekan silam aku dari sana dan biasanya berselang sebulan kemudian baru kembali lagi.

Aku amati lagi hasil kerja Om Bewok --- tukang cukur langgananku --- via cermin. Dipoles pomade oil base level medium, hasilnya sungguh mantap. Model undercut yang sedang tren. Tiba-tiba aku serasa jadi David Beckham. Beckham versi tropis dengan porsi hidung alakadarnya.

Saatnya beralih ke masalah outfit. Urusan ini sedikit jadi rumit ketika istriku turun tangan. Istri menghendaki aku tampil formal habis-habisan. Dia tahu betul ini adalah acara seminar paling besar di mana aku didaulat jadi pembicaranya. Seperti halnya pemikiran Vera, tentu dia tidak ingin suaminya tampil asal-asalan. Untuk itu dia telah menyediakan satu setel jas warna dongker, lengkap dengan hem slim fit putih sebagai daleman, dasi, vest, kaus kaki warna senada, dan pantofel motif kulit ular lancip mengkilat bak baru saja ketumpahan minyak goreng. Setelan jas terbaik dan termahal yang aku punya. Baru dua kali dipakai, yakni saat aku nikah dan jadi pendamping mempelai ketika Eza --- adik bungsu istriku --- kawin.

Tapi wanti-wanti Vera menjelma serupa doktrin. Aku minta dengan halus kepada istriku agar menyediakan setelan semi formal.

“Ya gampang saja, setelannya tinggal dikurangi dasi dan vest. Itu sudah semi formal,” ujar istriku.

“Sepatunya ganti juga dong?”

So pasti lah.”

“Kalau ke bawahnya pakai jins, ‘gimana?” aku minta saran lagi.

“Jangan atuh! Jatuhnya nanti malah terlalu kasual.”

“’Gimana kalau kemeja diganti polo shirt dan ke bawahnya pakai celana bahan seperti itu? Soalnya peserta seminar kebanyakan mahasiswa,” sekali ini aku meminta saran sambil menunjuk foto besar di dinding.

Istriku menoleh ke arah foto kami berdua. Dia mengacungkan telunjuk ke udara, lalu berjalan menuju lemari pakaian. Ketika berbalik, dia sudah menenteng paperbag hitam bertuliskan Lacoste.

“Ingat enggak, kita beli ini waktu di Singapura. Sayang loh, belum pernah dipakai. Aku juga lupa ngasih tahu. Harganya lumayan ini, bisa buat bayar listrik tiga bulan,” istriku mengeluarkan sebuah kaus polo warna abu misty beraksen stripe hitam-merah di kerah dan manset lengan.

Kalau aku tahu punya kaus polo sebagus itu, pasti bakal kupakai ke kantor berulang-ulang.

“Ini padanan serasi kalau ke bawahnya mau pakai celana bahan warna krem. Jasnya ganti sama yang coklat muda. Sepatunya yang suede. Wuih, setelan Dirut Telkom mah lewat pokoknya!”

Aku puas dengan jalan tengah ini. Istriku bisa menyediakan pakaian yang aku mau, sesuai dengan atmosfer acara. Celana, jas, sepatu, kaus kaki, ikat pinggang, seluruhnya serasi. Dan yang tak kalah penting soal kaus polo.

Aku masih ingat, dulu Vera kerap melontarkan pujian tiap kali aku memakai kaus polo. Aa paling keren kalo udah pake kaus berkerah, pujian itu selalu terngiang-ngiang sehingga setelahnya aku gemar mengoleksi kaus wangki. Dan ketika diminta jadi pembicara seminar, sejak jauh-jauh hari aku telah berazam mau memakai kaus wangki berbalut jas.

“Kalau jadi pembicara di kampus gini, dibayar enggak sih, A?” istriku ujug-ujug menyodorkan pertanyaan tak terduga.

“Katanya sih ada uang transpor. Tapi tak tahu juga berapa. Mudah-mudahan semiliar.”

"Amiin ya rabbal 'alamin. Mudah-mudahan semiliar setengah," istriku tak mau kalah bercanda.

Lihat selengkapnya