SECARA umum tidak banyak yang berubah dengan Graha Sumadiredja. Dinding yang didominasi kusen berkaca besar-besar, lantai parket, plafon kayu, lubang ventilasi yang khas, panggung dua umpak dengan tirai kain hijau sebagai pembatas umpakan pertama dan kedua, semuanya masih sama dengan yang kali terakhir aku lihat enam tahun lalu ketika diwisuda. Yang jelas berubah adalah foto pemimpin negeri dalam bingkai ukuran jumbo yang mengapit burung garuda di dinding belakang panggung. Dulu foto yang sebelah kanan diisi sosok perempuan, yang sebelah kiri pria. Sekarang dua-duanya pria.
Perubahan juga terjadi pada deretan foto mantan rektor yang dipajang di sekeliling dinding atas aula --- yang dulu sewaktu duduk menunggu diwisuda secara iseng aku hitung jumlahnya mencapai dua puluh tujuh dan sekarang bertambah sebiji. Kartini pasti meringis kecut melihat deretan foto itu, kemudian kontan mencap almamaterku sebagai institusi yang melanggengkan praktik patriarki, sebab tak satu pun perempuan terselip di antaranya.
Ketika memasuki gedung dari arah samping kanan sesuai arahan dua orang mahasiswi yang bertugas sebagai penerima tamu, aku melihat hampir semua kursi peserta sudah berpenghuni. Kursi VIP di deretan paling depan tinggal menyisakan tiga slot kosong. Satu pasti untuk uwak, satu pasti buat aku, entah sisanya jatah siapa. Tak mungkin buat Vera, sebab dia kebagian mandat jadi pembawa acara.
Sebelum didaulat duduk berdampingan dengan uwak, sebagai pihak yang datang belakang dan merasa paling muda, aku sempatkan menyalami semua yang duduk di kursi deretan depan mulai dari ujung kiri hingga ujung kanan tanpa kecuali. Beberapa di antaranya aku kenal sebagai orang-orang yang dulu mentrasfer ilmunya kepadaku di ruang kelas, oleh karenanya aku merasa harus pula memeluk mereka sebagai bentuk takzim atas jasa mereka di masa silam. Setelahnya, aku langsung menyemayamkan birit di kursi sebelah uwak. Di sebelah kiri uwak ada Rektor, Pembantu Rektor II, dan seterusnya. Di sebelah kananku, duduk Dekan FIKOM sebagai empunya hajat dan Kepala Dinas Kominfo Kota Bandung. Keduanya bakal didaulat masing-masing jadi moderator dan pembicara sebelum aku.
Kurang dari seperempat jam setelah aku hadir di Graha Sumadiredja, terdengar bunyi mikropon diketuk pelan. Seseorang tengah mengeceknya, menyala atau tidak. Sejurus kemudian aku lihat Vera berjalan dengan ritme tertentu dari belakang menuju bagian depan panggung. Tangan kanannya menggenggam mikropon nirkabel, tangan kiri memegang cue card. Tangannya yang lain --- yang tak kasat mata --- tengah meremas-remas hatiku hingga lisut.
Di bibir panggung, yang jaraknya hanya sekitar dua meter dari tempat aku duduk, Vera berhenti. Berdiri sejenak mengatur sikap. Menyapu pandang ke arah hadirin. Lalu mendekatkan mikropon nirkabel ke bibirnya. “Bismillahirrahmaanirrahiim… Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh… Salam sejahtera untuk kita semua… Selamat pagi, hadirin yang terhormat. Sampurasun37!”
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh… Rampeeesss38…” sahut hadirin menggetarkan dinding kaca aula.
Vera membuka acara. Dia tampil sangat elegan dalam balutan blazer coklat berbahan korduroi dipadu rok beludru toska selutut dan highheel lima centimeter warna senada. Rambut ikal panjangnya diikat. Kecuali blus putih di balik blazer yang aku tak tahu, apa-apa yang dia kenakan hari ini seluruhnya pemberian aku dulu. Semuanya masih pas, tanda ukuran tubuhnya tak banyak berubah.
Aku mengira pakaian yang dikenakannya ketika tadi menemui uwak bakal disalin dengan setelan lain saat tampil jadi pembawa acara. Namun ternyata tidak. Dia tidak memakai pakaian baru untuk acara sepenting ini. Aku merasa tersanjung sekaligus terpesona.
Yang membuat aku terpesona bukan karena dia tetap tampil chick dengan pakaian yang tidak gres, namun juga karena dia ternyata telah memoles wajahnya sedemikian rupa. Cepat benar dia bersolek, padahal tadi ketika menemui uwak riasannya masih serba biasa. Alis yang aslinya sudah tebal dipertegas dengan sapuan pencil. Sudut mata bagian luar dilukis dengan eye shadow membentuk sudut tipis lengkung ke atas, menambah kesan tajam. Maskara memperlentik bulu matanya. Blush on tipis meremang di pusat pipi. Gincu merah bata seakan highligt yang menyempurnakan lukisan di wajahnya.
Dulu selama lima bulan kami dekat, tak pernah sekali pun aku beroleh kesempatan melihat dia dengan wajah begitu rupa. Bahkan sepengetahuanku, dia tak doyan bersolek yang berlebihan. Beberapa kali menghadiri acara pernikahan, dia bersolek semenjana saja. Paling bedakan tipis, eye shadow, bergincu dengan warna lembut, sudah. Namun kali ini dia seolah-olah ingin tampil all out. Dan aku yakin dia melakukan itu bukan untuk uwak, Rektor, apalagi buat hadirin lain yang memenuhi aula ini. Melainkan buat aku seorang.
Dengan riasan all out begitu rupa memerankan tugas sebagai pembawa acara seminar, tiba-tiba aku melihat dia telah bersulih rupa menjelma sosok Nazwa Shihab muda, bukan lagi Salma Hayek dari Bandung. Nazwa Shihab on the making. Bahkan yang ini lebih cantik dengan resam wajah hispanik. Jika mau bekerja keras menggenjot pengetahuan, mengasah public speaking, dan menempa diri dengan pengalaman, rasanya sang pembawa acara masyhur nan jelita itu harus siap merelakan tahtanya diambil Vera beberapa tahun ke depan.
Mataku, mata uwak, mata Rektor, dan ratusan pasang mata lain di aula ini pasti sedang tertuju padanya. Aku berani memastikan, semua pemilik kepala di mana dria penglihat itu bercokol, punya satu kesan yang sama: terpesona dengan kecantikan Vera.
Dalam hati, aku sempatkan minta maaf kepada istriku. “Jika tempo hari aku pernah berjanji akan merundukkan kepala ketika melihat perempuan lain, maka untuk sekali ini izinkan aku memperoleh pengecualian. Tidak, tidak dalam rangka mengaguminya secara berlebihan. Tidak pula disertai macam-macam harapan dan khayalan. Sungguh, aku melihat dia dalam batas kewajaran. Sebagaimana kita takjub melihat pantai indah, terpesona dengan mobil mewah, atau kagum atas Mahameru nan megah. Tidak lebih!”
Setelah diselingi sambutan dari Rektor dan Dekan FIKOM, juga persembahan akustik biduan kampus yang membawakan tembang lawas Melati dari Jaya Giri dengan dasar lebih rendah dari aslinya, giliran Vera mengantar hadirin menuju pokok acara: seminar bertajuk Posisi Kampus Menyongsong Era Baru Media Massa. Satu per satu pengisi acara dipanggil, disertai prolog berupa profil singkat. Dimulai dengan moderator, yakni Dekan FIKOM yang tadi sempat tampil memberi sambutan, lalu Kepala Dinas Kominfo Bandung. Dan ketika giliran menyebut namaku, Vera berlagak sedikit berlebihan.
“Selanjutnya, dipersilakan naik ke atas panggung, pembicara utama kita. Seorang jurnalis yang namanya tengah naik daun, berkat bukunya yang berjudul Jurnalisme Sunyi vs Jurnalisme Hiruk Pikuk, sukses jadi best seller di pasaran dan jadi buku wajib fakultas komunikasi, dan dicetak berulang kali, juga alumnus terbaik kampus kita, tepatnya dari Jurusan Hubungan Internasional, mari kita beri tepuk tangan yang meriah… Bapak Benjamin Omar Sumadiredja SIP.”
Walah, ternyata Vera menyebut namaku dengan lengkap. Padahal aku sudah mewanti-wanti panitia agar menulis atau menyebut namaku cukup dengan Benjamin Omar saja. Sejak masih kuliah dulu, suka muncul perasaan tidak enak hati tiap kali mengetahui ada penghuni civitas kampus yang sadar bahwa nama belakangku sama dengan nama belakang uwak dan juga nama aula utama universitas ini, yang sekarang jadi tempat seminar berlangsung. Aku tidak mau kesamaan nama itu memancing kesimpulan-kesimpulan aneh dari orang lain. Tapi tepuk tangan hadirin dan keharusan segera naik ke atas panggung langsung menetralisir perasaan itu.
Tepuk tangan hadirin berhenti begitu aku duduk di kursi panggung. Selanjutnya Vera mempersilakan moderator mengambil alih kendali. Aku menghirup nafas dalam berulang-ulang untuk meredam degup jantung yang tiba-tiba mengencang.
Sesuai susunan acara, aku kebagian jadi pembicara pamungkas. Seusai Kepala Dinas Kominfo menuntaskan materinya, kini tiba giliranku tampil.
Layar besar di belakang panggung dalam kondisi siaga menampilkan slide. Halaman muka memuat titel Ketika Pola Sajian Berita Berubah dari Konvensional ke Digital, Berada di Manakah Kita?. Semua substansi di balik titel itu, baik berupa teori, gagasan, referensi, sampai simpulan, harus tersampaikan dalam durasi enam puluh menit. Untuk kemudian berlanjut dengan sesi tanya jawab selama enam puluh menit juga. Maka agar sangkil, aku tak menyodorkan prolog bertele-tele:
“Dunia media sedang menyambut sebuah perubahan pola sajian dari konvensional ke digital. Perubahan itu disinyalir bakal bergulir lebih cepat bila ponsel berbasis Android mulai beroperasi massal di seluruh dunia tiga-empat tahun ke depan. Pada saat itu, perubahan tidak hanya terjadi dalam taraf sajian, melainkan pula dalam tataran konsumsi.
Saat ini ponsel berbasis Android sendiri baru beroperasi terbatas di Amerika dan Eropa. Persebaran secara global bisa terjadi lebih cepat atau justru lebih lama, tergantung hasil ujicoba di kedua wilayah tersebut.
Jika perubahan telah mencapai taraf konsumsi, maka yang terjadi adalah rapid information. Informasi bergulir sangat cepat…”
Di sela bicara, sesekali aku melirik uwak, manggut-manggut seperti mahasiswa menyimak dosen. Berulang kali melirik Vera. Berulang kali pula aku menyaksikan matanya sedang lekat tak berkedip ke arahku, seolah tak mau mengalihkan pandang ke sudut lain.
Sesungguhnya aku tak gentar dengan tatapan uwak. Juga dengan mata-mata lain di ruangan ini. Aku lebih khawatir Vera tidak terpukau dengan penampilanku.
**