SIKAP berdegil yang ditunjukkan Pak Dudi tempo hari membuat aku sempat diliputi perasaan enggan untuk menemui keluarga Jimi yang lain. Padahal, di samping Pak Dudi, setidaknya ada tiga orang lagi keluarga Jimi yang ingin aku temui. Ibunya, bapaknya, dan lelaki bernama Fahru yang disebut Vera sebagai induk semang Jimi selama menjauh dari keluarga.
Tidak hanya aku, rupanya Vera dihinggapi perasaan serupa, terlebih keputusan mengunjungi Pak Dudi murni atas idenya. Ide yang bersandar pada pemikiran bahwa dulu Pak Dudi adalah sosok patriark, paling disegani di keluarga besar Jimi. Jika berhasil mendapatkan dukungan --- setidaknya dalam bentuk moril --- dari Pak Dudi, siapa tahu keluarga dan kerabat Jimi yang lain akan mengikuti.
Sayang kenyataan tak sesuai harapan. Bahkan selepas bersua Pak Dudi, Vera memintaku untuk berhenti ikut mengurusi kasus Jimi. Agaknya dia telah menarik sebuah kesimpulan secara mentah, bahwa rute yang aku tempuh selama perjalanan membantu Jimi menghadapi kasusnya terdiri dari medan kerakal belaka seperti jalannya pertemuan dengan Pak Dudi. "Kalau sekiranya menyusahkan, tidak usah dilanjutkan saja. Lagipula benar kata Wak Dudi, Aa bukan siapa-siapa Jimi. Ve tak tega lihat diperlakukan seperti itu sama orang," ucap Vera di mobil sewaktu aku antar pulang setelah dari rumah Pak Dudi.
Akan tetapi aku memutuskan tidak menggubris rasa enggan dan keberatan Vera. Sekarang bukan waktu yang tayib untuk berhenti. Segalanya kepalang basah. Aku telah menyelam lumayan dalam ke palung bernama “Pembunuhan Pegawai Bea Cukai asal Denpasar oleh Gsng Motor di Bandung”. Tanggung rasanya jika harus kembali berenang ke permukaan untuk naik ke daratan lalu mengeringkan badan sebelum benar-benar mencapai dasar palung. Apalagi melihat tanda ceklis pada urutan rencana yang aku susun dalam rangka membantu Jimi, lebih dari separuh agenda telah tertunaikan. Agenda tersisa tinggal membujuk beberapa anak Viking agar mau jadi saksi, terutama Baron, maka tugas lapangan boleh dibilang kemput sudah. Fase selanjutnya membuat laporan untuk diserahkan kepada duet pengacara Dewo Sumarsono dan Sally Sidabutar, yang akan jadi komandan perang sekaligus prajurit kala bertempur di meja hijau.
Semakin aku pelajari, semakin ancrub ke dalamnya, kasus ini berkembang kian menarik. Makin banyak hal aku ketahui, makin memancing rasa penasaran. Ilmu hukumku bertambah, pengalaman berkembang, pula kesibukan. Jelas ini bukan kasus lanun jalanan biasa. Ada problem lain yang menjadikannya kompleks. Soal geng motor yang telah merongrong citra kota selama puluhan tahun, tentang dugaan polisi salah tangkap, perihal pelanggaran prosedur penyidikan Berita Acara Pemeriksaan, perihal janggalnya dasar penangkapan Jimi, dan ihwal bahan reportase yang mesti tuntas. Jika aku berhenti di sini, semua akan menggantung seperti serial sinetron yang terpaksa berhenti tayang di tengah jalan karena rating jeblok. Terlebih bila aku hendak menjadikan kasus Jimi sebagai bahan menulis novel, plotnya pasti menggantung laiknya bunyi ayat ‘ibarat sanggama yang tak selesai’ dalam surah Hai, Ma!39 yang disabdakan Resi WS Rendra enam belas tahun silam.
Dilecut alasan-alasan itu, selepas rapat redaksi aku besut sepeda motor menuju daerah Dayeuhkolot. Bagiku, waktu kadang sangat berharga. Ada kalanya, mencari waktu kosong sejam-dua di sela pekerjaan, sulitnya minta ampun. Mumpung sekarang ada celah, berbekal alamat dan petunjuk jalan dari Vera, aku paksakan berangkat.
Mencari alamat ke daerah yang relatif asing, menunggangi sepeda motor adalah pilihan paling realistis. Bisa bermobilitas lebih taktis. Karena itulah gerimis tipis aku tepis. Ancaman diadang banjir bila hujan turun deras, tak aku gubris. Teror kemacetan sama sekali tidak membuat miris. Satu agenda di daftar rencana, yakni menemui keluarga Jimi, ibu atau bapak atau saudara yang lain, hari ini harus bisa terceklis.
Dayeuhkolot adalah sebuah wilayah suburban di bagian selatan Kota Bandung. Dalam Bahasa Sunda, dayeuh artinya kota dan kolot bermakna tua. Kota tua yang sekarang bersulih rupa jadi daerah industri. Jaraknya memang hanya sekira sepuluh kilometer dari pusat kota, tapi bila sedang sial durasi perjalanan ke sana lamanya bisa setara pergi ke Garut.
Ada dua ancaman besar jika beraktivitas ke sana di tengah musim hujan seperti sekarang: banjir dan macet. Macet jadi keniscayaan yang selalu terjadi saban pagi dan petang ketika masanya orang berduyun-duyun pergi dan pulang kerja. Banjir muncul demikian mudah. Tak perlu hujan berhari-hari untuk melihat kawasan itu disergap air. Hujan deras tiga-empat jam tanpa henti lebih dari cukup buat mendatangkan banjir setengah betis ke jalan utama. Tak heran bila Dayeuhkolot jadi wilayah di Bandung yang paling sering sering masuk tivi ketika musim hujan datang.
Dalam perhitunganku, pada waktu tanggung seperti ini kemacetan tak akan seberapa. Mobilitas orang-orang sedang dalam taraf rendah. Para pekerja sudah berada di tempatnya. Sementara untuk urusan banjir, aku sama sekali tak berani membuat kalkulasi macam-macam. Kuserahkan seluruhnya pada kuasa Tuhan. Seperti halnya keberuntungan dan kesialan yang tak pernah bisa diharap-harap atau ditampik-tampik, di tempat itu banjir bisa datang dan hilang kapan saja seperti kehendak Sang Khalik membalikkan langit cerah ke mendung atau mendung ke terang.
Aku baca lagi dengan saksama petunjuk jalan dari Vera yang dikirim via BBM dua hari lalu. “Patokan utamanya adalah jembatan besar yang membelah Sungai Citarum. Sekitar lima menit dari sana ada sebuah masjid dengan kubah warna biru di sebelah kanan jalan. Setelah itu, akan ada beberapa gapura kecil sejajar masjid. Perhatikan satu per satu. Salah satu di antaranya gapura bertuliskan Jalan Sariasih. Bila sudah ketemu, masuk ke sana. Lurus terus, nanti ada Taman Kanah-Kanak. Jika sudah ketemu Taman Kanak-Kanak, tanyakan kepada orang: di mana rumah Pak Johanes atau Bu Sardinah. Rumah keluarga Jimi tak jauh dari situ. Niscaya banyak yang tahu karena mereka telah lama bermukim di sana.”
Petunjuk jalan yang sungguh membantu. Seribu persen tepat. Seperti tepatnya perkiraanku dengan kondisi lalu lintas. Sama sekali tidak macet. Hanya satu kali bertanya pada sembarang orang, lokasi rumah keluarga Jimi sudah didapat. Tengaranya pun jelas: rumah bercat kuning yang di depannya ada pohon melinjo besar.
Aku berhenti di depan sebuah rumah bercat kuning tanpa pagar. Pembatas pekarangan dengan tepi jalan hanyalah beberapa pot kembang, kebanyakan dari bekas wadah cat galonan. Dua pohon melinjo besar jadi peneduh pekarangan rumah. Di sudut teras sebelah kiri, sebuah motor tua merek Ariel 450 CC dengan kondisi mesin berantakan menyita perhatian dibanding benda apa pun yang ada di situ. (Setelah ini aku baru tahu kenapa Jimi dipanggil dengan Enjo. Ternyata bukan karena nama belakangnya yang mengandung suku kata jo. Bukan pula diambil dari suku kata pertama nama ayahnya, Johanes. Melainkan gegara pohon besar yang berada di pekarangan rumahnya. Menurut penuturan sang ibu, dalam perbincangan yang sebentar lagi akan terjadi, waktu masih kecil Jimi tidak lancar bicara. Sampai memasuki taman kanak-kanak, bicaranya belum jelas. Dia sering menyebut pohon melinjo besar di depan rumahnya dengan kata-kata enjo... enjo... oon enjo. Maksudnya pohon melinjo).
Seorang ibu sedang membetulkan letak rangka jemuran berbentuk segitiga yang salah satu kaki penyangganya telah melintut. Dua ember cucian menumpuk di sebelahnya. Hari mulai dibelai matahari, setelah sejak subuh tadi terus didaulat mendung. Dia langsung menoleh ketika aku memasuki pekarangan rumahnya.