Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #15

Vini Vidi Viking!

KHUSUS di Bandung, kata Viking tidak lagi identik dengan nama suku bangsa perompak yang berasal dari kawasan Skadinavia. Di kota ini lema Viking telah terasosiasi begitu lekat dengan kelompok suporter kesebelasan Persib Bandung. Nama yang melegenda dan ikonik di kalangan penggemar bal-balan tanah air.

Viking bukan kumpulan sembarangan. Selain dianggap rolemodel kelompok suporter sepakbola modern di Indonesia, Viking telah lama jadi merek dagang dalam arti sesungguhnya. Memiliki lini bisnis berjualan merchandise lewat toko resmi mereka yang dinamakan The Original Viking Fanshop, dengan perputaran uang luar biasa besar.

Didirikan pada 17 Juli 1993, Viking punya anggota lebih dari empat puluh ribu orang. Jumlah ini baru yang tercatat di keanggotaan resmi. Di luar itu, diyakini masih banyak lagi yang sekadar jadi partisan, emoh mendaftarkan diri secara resmi agar memperoleh Kartu Tanda Anggota (KTA). Bahkan model yang beginian bilangannya dianggap lebih banyak dibanding anggota resmi yang memiliki KTA.

Sebagai kelompok beranggotakan puluhan ribu kepala, Viking memiliki sistem keorganisasian yang unik. Pemimpin tertinggi mereka berada di tangan dua figur yang disebut sebagai Ketua Umum dan Panglima. Di tangan dua orang inilah segala kebijakan tentang keorganisasian diputuskan. AD/ART organisasi hanya formalitas yang berkasnya tersisip nyaris terlupakan di dalam diska komputer.

Berbeda dengan perkumpulan suporter kesebelasan lain di Indonesia, sebut saja The Jakmania di Jakarta atau Aremania di Malang atau Bonek di Surabaya yang jabatan ketuanya mengenal regenerasi, posisi Ketua Umum dan Panglima Viking berlaku sepanjang masa seperti halnya tahta raja dalam sistem kekuasaan monarki. Hanya maut yang bisa mengakhiri jabatan itu. Tak berlebihan bila kedua figur itu amat diperhitungkan, dihormati, dan disegani, bukan hanya oleh para Viker --- sebutan untuk anggota Viking --- tapi juga oleh kalangan lain seperti politisi, walikota, sampai pejabat kepolisian.

Demi mengkoordinasi anggota yang demikian banyak, Ketua Umum Viking dan Panglima Viking mengorganisasi perkumpulannya dengan mendirikan perwakilan-perwakilan wilayah yang dinamakan distrik. Jumlahnya tidak kurang dari lima puluh distrik. Jumlah ini pun diyakini baru yang terdaftar secara resmi, sebab masih banyak kelompok yang telah mengorganisasi diri dan mengklaim sebagai distrik, tapi Ketua Umum dan Panglima menganggapnya belum memenuhi kriteria menjadi sebuah distrik baru.

Distrik-distrik itu tersebar tidak hanya di pelosok Bandung atau Jawa Barat, melainkan di seluruh nusantara bahkan mancanegara. Penamaan distrik disesuaikan dengan daerah asal. Misalnya, dinamakan Distrik Riung karena merupakan perwakilan wilayah Riung Bandung, sebuah area di Bandung bagian timur. Di luar negeri tercatat ada Viking Taiwan, Viking Malaysia, Viking Brunei, dan Viking Nippon di Jepang. Payung besar mereka diberi nama Viking Persib Fans Club.

Tapi untuk saat ini aku hanya punya kepentingan dengan salah satu distrik saja, yang memiliki kaitan langsung dengan kasus Jimi, yaitu Viking Distrik Riung. Dan sekarang aku sedang berkumpul bersama mereka dalam pertemuan yang riuh.

Sekretariat Viking Distrik Riung menempati sebuah bangunan di sudut Komplek Perumahan Riung Permai. Bangunannya berdiri sendiri tanpa tetangga kanan-kini-depan-belakang, luasnya sekitar lima kali delapan meter. Bangunan yang mereka jadikan markas agaknya bekas pos kamling. Kesimpulan ini muncul secara gampang dengan melihat adanya kentungan kayu tergantung di depan bangunan. Jika bukan menempati bangunan bekas pos kamling rasanya kecil kemungkinan anak-anak Viking terpikir menggantungkan kentungan kayu sebesar guling itu depan markas mereka.

Seluruh bagian bangunan itu didominasi warna biru, sesuai warna kebesaran kesebelasan Persib Bandung. Pagar, daun pintu, kusen, dinding luar-dalam, seluruhnya biru. Hanya genting yang tidak dicat biru. Pada dinding luar sebelah kanan yang seluruhnya berupa tembok tanpa jendela atau ornamen lain, ada lukisan besar gambar tengkorak memakai helm dengan tanduk panjang seperti kekhasan visual suku bangsa Viking yang biasa kita tonton di film-film. Itulah logo kelompok mereka. Di bawahnya terdapat semboyan dalam kalimat Vini Vidi Viking yang merupakan plesetan dari ujaran terkenal Julius Caesar Veni Vidi Vici.

Aku sudah berada di dalam ruang markas Viking Distrik Riung sekitar sepuluh menit. Ruangan yang tak seberapa luas penuh sesak oleh puluhan anak muda berkaus biru. Mereka yang bisa masuk ke dalam, duduk lesehan berdempetan di lantai. Sebagian lainnya, yang tak kebagian tempat, bergerombol di luar dengan tingkah macam-macam. Aku duduk di depan menempati dipan bambu, berdampingan dengan seorang pemuda yang sudah tiga tahun terakhir ini didaulat jadi ketua distrik. Namanya Mumu Muslimin. Pemuda berwajah bageur dengan rambut sebahu dan dagu ditumbuhi duapuluh lima lembar janggut.

Bau asap rokok mengepung ruangan. Bergumul dengan riuh rendah obrolan yang tumpang-tindih antara umpatan, saling ledek, gelak tawa, dan udara gerah akibat ruangan tak memiliki sistem ventilasi memadai. Aku berharap Mumu segera mengakhiri pertemuan agar penderitaan berada dalam teror asap rokok dan udara gerah segera berlalu. Tapi, jangankan mengakhiri, untuk memulainya saja dia tidak bisa melakukannya sebab pertemuan ini hanya bisa berlangsung jika Ketua Umum dan Panglima Viking telah hadir.

Dari sekian agenda dalam rangka membantu Jimi lepas dari jeratan hukum, seperti biasa, aku menggolongkannya dalam kategori teknis dan nonteknis. Mendatangi keluarga Jimi jelas tergolong urusan nonteknis. Sifatnya tidak berpengaruh terhadap strategi di persidangan. Tidak dilakukan pun sebenarnya tidak apa-apa. Terlebih lagi Jimi sudah lama keluar dari rumah, sehingga kecil kemungkinan bisa minta kesaksian dari keluarganya demi kepentingan alibi. Jimi sendiri memang mengakui sudah tidak pulang dan tak bertemu kerabat dalam setahun terakhir.

Dalam kalimat lain, semenggembirakan atau semengecawakan apa pun pertemuan dengan anggota keluarga Jimi, hasilnya tidak bisa dibawa ke hadapan hakim. Kalaupun aku tetap melakukannya, semata-mata demi etika. Kulonuwun kepada keluarga Jimi agar tidak dicap sebagai manusia paul. Syukur-syukur jika kemudian keluarga Jimi mau memberikan dukungan, setidaknya dukungan moril. Tentu saja buat Jimi, bukan buat aku. Dukungan dalam bentuk moril lebih dari cukup sebab untuk hal-hal lain seperti ongkos ini-itu sudah ada anggarannya, yakni dari dompet pribadi.

Jadi, ketika mendapati sikap Pak Dudi yang keukeuh tak mau peduli dengan nasib Jimi, sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap persiapan menghadapi persidangan. Cuma berpengaruh sedikit saja pada sisi psikologis aku, itu pun tak berkepanjangan.

Lain halnya dengan agenda-agenda pertemuan bersama Dewo Sumarsono dan Sally Sidabutar. Seluruhnya murni masuk kategori teknis. Hasilnya berbanding lurus dengan strategi menghadapi peradilan. Bobotnya wajib ditempuh karena berkait erat dengan apa yang harus dilakukan dan yang kudu dihindari di meja hijau.

Demikian pula dengan agenda menemui anak-anak Viking Distrik Riung. Bahkan boleh dibilang ini adalah agenda teknis paling krusial. Bobotnya jauh lebih penting dari agenda-agenda teknis mana pun, karena berkaitan dengan saksi. Tepatnya saksi meringankan, a decharge.

Poin itu berulang kali diutarakan Dewo dalam sejumlah pertemuan. Saksi dan bukti jadi amunisi yang menentukan Jimi lolos dari dakwaan atau sebaliknya. Saksi dan bukti yang jitu bisa serta merta mementahkan segala dakwaan. Sebaliknya jika sampai kawan-kawan Jimi di Viking Distrik Riung tidak ada yang bersedia jadi saksi, potol sudah seluruh upaya yang aku lakukan selama ini. Tidak akan berdampak signifikan untuk mementahkan dakwaan. Apalagi Jimi tidak punya sumber lain yang bisa dijadikan saksi. Tidak keluarganya, tidak pula kawan-kawan segengnya.

Lihat selengkapnya