PENGALAMANKU sebagai jurnalis di lapangan bisa dikatakan tanggung. Dibilang mentah tidak, sampai titik matang pun masih jauh. Karena itu, ketika meruyak selentingan di kantor yang menyebut karirku dikarbit karena faktor-faktor tertentu, aku tak sakit hati atau marah. Lebih tepatnya, aku tak terlalu ambil pusing. Lagipula seletingan itu tidak sepenuhnya salah. Bahkan aku sendiri merasakannya seperti demikian. Percepatan karirku sejak pertama kali masuk ke koran ini memang seperti buah yang diperam memakai karbit dengan tujuan agar lebih cepat matang.
Aku meyakini akselerasi karirku di kantor erat kaitannya dengan buku Jurnalisme Sunyi vs Jurnalisme Hiruk Pikuk yang aku tulis setahun ke belakang saat masih jadi reporter bidang hiburan. Buku yang isinya mengulas fenomena infotainment dan makin maraknya media hiburan yang lebih mengedepankan sensasi ketimbang etika jurnalistik itu, menurut info dari penerbit, sudah lima kali cetak ulang dan sekarang konon menjadi buku teks alternatif di kalangan Fakultas Komunikasi. Si Bung Redaktur Pelaksana sendiri menyebut buku itu sebagai konduite yang sangat bagus untukku. Bagaimana tidak bagus, isi buku tak lain merupakan saduran dari skripsi yang mengantarkan aku meraih predikat summa cum laude saat wisuda.
Hanya dua puluh dua bulan --- tidak kurang tidak lebih --- jadi reporter jelas bukan waktu yang cukup untuk mematangkan diri. Dalam rentang waktu kurang dari dua tahun itu, aku hanya mencecap empat bidang liputan, yakni pendidikan, hiburan, berita kota, dan terakhir olahraga. Semuanya kolam liputan yang terbilang cetek. Hampir tak pernah mendapat proyeksi liputan atau investigasi yang menantang.
Memasuki bulan kedua puluh tiga, fase karir sebagai pengais warta di lapangan praktis berakhir seiring turunnya mandat jadi asisten redaktur olahraga. Hanya berselang tiga bulan dari situ, aku telah dipromosikan jadi redaktur olahraga. Aku menganggap pengangkatanku sebagai redaktur olahraga kala itu dibumbui sedikit keberuntungan, karena alasannya untuk menggantikan redaktur olahraga lama yang ujug-ujug hijrah ke koran baru terbitan Jakarta.
Bila dihitung-hitungan aku hanya menempuh waktu setahun lebih satu bulan sejak pertama kali masuk hingga diangkat jadi redaktur. Kemudian secara berkala setiap empat bulan --- selalu per empat bulan --- aku dirotasi ke desk lain. Setelah itu aku hampir tak pernah lagi mendapat tugas liputan ke lapangan. Kalaupun ada pekerjaan lapangan yang berkenaan dengan tugas jurnalistik, sifanya lebih banyak sebagai perwakilan kantor untuk menghadiri undangan tertentu. Kantor rupanya lebih membutuhkan tenagaku untuk pekerjaan-pekerjaan di atas meja ketimbang mengais bahan berita di lapangan.
Tak hanya ditunjuk jadi redaktur, aku juga makin sering dilibatkan dalam rembukan-rembukan jajaran dewan redaksi mengenai program pengembangan, brain storming soal ide-ide baru, bahkan rapat soal sirkulasi pun sesekali diajak. Padahal aku merasa itu semua tidak ada kaitannya dengan job desk sebagai redaktur. Akan tetapi, di sisi lain, tak aku pungkiri, terselip rasa bangga dengan semua pencapaian dan pengakuan-pengakuan itu.
Lonjakan jenjang karirku, atau katakanlah pengkarbitan, tak berhenti sampai di situ. Setelah tiga kali mendapat rotasi jabatan redaktur rubrik, aku tiba-tiba dipromosikan jadi koordinator liputan. Sungguh aku sendiri tidak menyangka ketika suatu pagi Mas Dali alias Si Bung Redaktur Pelaksana memberi amaran agar aku siap-siap kembali pindah meja. Aku kira seperti biasa, hanya dirotasi menjadi redaktur di desk lain. Tidak dinyana, aku dpromosikan loncat langsung jadi koordinator liputan, sonder proses penjajakan jadi wakilnya terlebih dahulu.
Beruntung aku memiliki mentor seperti Si Bung Redaktur Pelaksana yang sekarang telah mendapat promosi jadi Wakil Pemimpin Redaksi. Dialah yang selalu jadi peneguh keyakinan tiap kali aku dilanda rasa tidak percaya diri, seperti ketika aku tiba-tiba dipromosikan jadi koordinator liputan. Aku sampai menyempatkan diri berdiskusi secara intens dengan Mas Dali beberapa kali, lantaran merasa belum waktunya diberi tanggung jawab demikian besar. Beda dengan ketika kali pertama disodori mandat jadi redaktur. Saat itu aku menerimanya dengan mantap, tanpa diiringi kekhawatiran tidak mampu melaksanakannya dengan baik. Pikirku, kalau hanya jadi tukang sunting atau menanggungjawabi isi satu rubrik tiap hari sebagaimana laiknya tugas utama seorang redaktur, masih bisa aku jabanin. Tapi menanggungjawabi seluruh rubrik, memikirkan proyeksi, dan mengkoordinasi hasil-hasil liputan para reporter, jelas bukan pekerjaan enteng. Rasanya kemampuan dan pengalamanku belum memadai. Di samping itu, aku melihat ada satu-dua seniorku yang lebih pantas menduduki jabatan kordinator liputan.
"Wis, rausah berpikiran macam-macam. Kantor butuh komandan batalion yang berpikiran progresif, sebab pertempuran masa kini bukan pertempuran konvensional seperti zaman dulu. Proxy war bukan hanya berlaku di kancah geopolitik, tapi berlangsung pula di dunia media. Terima dan kerjakan saja. Kerjaanya ndak sesulit yang Bung bayangkan. Cuma butuh mikir rada kencang saja. Bung pasti bisa!” ujar Si Bung Redaktur Pelaksana saat aku mengaku tidak enak sama beberapa senior yang lebih dahulu bergabung ke koran ini tapi jabatannya sekarang baru redaktur rubrik. Namun, bila Si Bung Redaktur Pelaksana telah turun titah, tidak bisa tidak, mau tidak mau, aku pun harus menerima mandat itu, disertai tempik-sorak kolega yang hatinya lapang dan kasak-kusuk dari segelintir rekan yang sirik akibat karirnya tersalip.
Kembali ke soal pengalaman di lapangan. Dulu selama dua puluh dua bulan jadi reporter, aku sama sekali belum pernah mendapat kesempatan ngepos di kepolisian, pengadilan, atau kejaksaan yang kata orang adalah medan kompleks. Pernah suatu malam saat piket redaksi mendadak disuruh liputan ke markas Polda Jabar, menggantikan reporter yang kadung pulang. Tapi itu pun hanya meliput konferensi yang sebagian besar materi beritanya sudah disediakan dalam siaran pers. Karena itulah, buat aku, mengunjungi Rutan Kebonwaru ini merupakan sebuah pengalaman baru. Aku seperti melancong ke sebuah tempat yang lokasinya bukan di tengah Bandung. Padahal aku sangat sering lalu-lalang di sekitarnya.
Tak terbayangkan sebelumnya, di tengah hiruk-pikuk kota ada sebuah kawasan yang di dalamnya bermukim orang-orang yang dilabeli penjahat atau yang baru diduga melakukan kejahatan. Mereka tinggal di dalamnya dengan pola hidup yang serba dibatasi, tapi hanya sepelemparan batu dari sana ada simbol kebebasan berupa rumah karaoke dan arena biliar. Bahkan hanya disapih jalan raya, sebuah sentra belanja berdiri megah bersanding pom bensin dan pemukiman penduduk.