Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #17

Dakwaan

Pelataran Parkir Gedung Pengadilan Negeri, Jalan LLRE Martadinata Nomor 74-80, Bandung, Selasa pagi.


BUNYI sirine menyalak-nyalak dari kejauhan, tak kalah nyarik dari deru mesin dan raung knalpot kendaraan yang bakusalip di sepanjang Jalan Martadinata. Makin lama suaranya kian mendekat. Sampai kemudian sirine itu berhenti meraung ketika sebuah mobil elf masuk gapura Gedung Pengadilan. MOBIL TAHANAN KEJAKSAAN TINGGI BANDUNG, rangkaian huruf kapital Arial Bold warna kuning busuk tertakik di bagian samping kanan, kontras dengan badan elf yang bercat hijau gelap. Karoserinya sama sekali tertutup, sepintas mirip mobil boks pengantar barang tapi dengan aura benguk. Hanya ada jendela kecil di samping kanan sebelah atas yang ditutup kaca berlapis ram besi. Sementara pintu penumpangnya ada di bagian pantat.

Tepat di muka lobi, elf berhenti. Seorang petugas dengan senjata laras panjang tersampir di punggung, melompat keluar dari kabin sebelah kiri, meninggalkan seorang rekannya yang masih berada di belakang kemudi. Petugas itu bersicepat memburu belakang truk. Tangannya sigap merogoh saku paha celana PDL, segerombolan anak kunci yang dipersatukan dengan cincin berbahan stainless menyembul diiringi suara nyarik patinggerincing. Seperti mafhum benar peruntukannya masing-masing, petugas itu dengan jitu memilih sebuah anak kunci untuk membuka pintu belakang elf. Padahal jumlah anak kunci itu mungkin lebih dari selusin. Bentuknya pun seragam. Tapi petugas itu dapat memilih satu yang pas dalam kesempatan pertama. Sebuah akrobat kelihaian profesi nan ciamik. Tangkas, ligat, tak ada waktu terbuang.

Setelah pintu belakang elf terbuka, petugas itu lantas memberi aba-aba dengan tangannya seperti gerakan polisi lalu lintas sedang menyuruh kendaraan terus melaju. Sejurus kemudian enam lelaki berhamburan turun setengah loncat dari pantat truk. Semuanya berkemeja putih dan bercelana panjang hitam. Salah seorang di antaranya berperawakan tinggi, ganteng, mengenakan songkok hitam yang terlihat masih baru. Sosoknya sangat aku kenal, Jimi.

Selayaknya sedang menghalau ternak keluar kandang, petugas itu menggiring keenam orang yang baru turun dari elf untuk berjalan memasuki sebuah koridor di samping kiri ruang lobi dengan langkah bangat. Perilaku yang agak berlebihan dalam memperlakukan manusia. Padahal dengan jalan perlahan pun rasanya tak jadi soal.

Rupanya itu bukan elf satu-satunya yang mendatangi Gedung Pengadilan. Kembali ditandai lengkingan sirine yang nyarik membelah kebisingan Jalan Martadinata, tak lama berselang sebuah mobil dengan bentuk serta tulisan serupa datang, lalu berhenti tepat di sebelah kiri mobil sebelumnya. Adegan petugas berbekal bedil tersampir di punggung yang melompat dari ruang kemudi dan atraksi anak kunci berulang sekali lagi. Susunan adegannya sama persis. Bedanya hanya ada di jumlah manusia yang mbrojol dari pantat elf. Kali ini tiga orang lelaki dan seorang perempuan.

Aku menunggu siapa tahu ada bunyi sirine berikutnya. Rasanya ingin sekali lagi menonton atraksi anak kunci dari petugas yang gerakannya tetap lincah meski ada bedil tersampir di punggung. Dan benar saja, lamat-lamat terdengar kembali raungan sirine di kejauhan. Makin dekat suaranya makin nyarik. Aku bersiap kembali menyaksikan atraksi anak kunci petugas. Penasaran, apakah petugas yang berikutnya juga punya kelihaian serupa. Namun lengkingan sirine itu ternyata bukan berasal dari elf ketiga, melainkan dari ambulans yang sekadar lewat di jalan raya depan Gedung Pengadilan. Pantas saja ritme lengkingan sirinenya beda. Alamak, pagi-pagi begni aku sudah dikadalin ambulans.

Enam tambah empat. Sepuluh orang. Banyak juga. Tadinya aku pikir, persidangan hanya akan diikuti satu atau dua orang. Atau kalaupun agendanya menyidangkan kasus Jimi, jumlah terdakwanya hanya delapan orang. Masih kacek dua orang dari jumlah manusia yang keluar dari pantat mobil tahanan.

Aku melangkahkan kaki memasuki ruang lobi. Tempat duduknya yang tak seberapa banyak, semua telah terisi. Lainnya memilih berdiri. Seluruh manusia yang ada di ruang lobi memajang wajah serius. Tidak terlihat muka-muka ramah khas Sunda yang gemar menebar senyum. Tak ada satu pun yang menunjukkan mimik riang gembira atau cengangas-cengenges. Yang ada adalah resam benguk di sana-sini.

Seperti mengunjungi Rutan Kebonwaru, ini adalah pertama kali aku menginjakkan kaki di Gedung Pengadilan. Semasa jadi reporter lapangan, tak sekali pun pernah mendapat tugas meliput ke sini.

Dari rusuk kanan ruang lobi, seorang perempuan melambaikan tangannya ke arahku. Perlu beberapa detik untuk mengenalinya. Setelah kuamati sejenak, ternyata Bu Sardinah, ibunya Jimi. Kepalanya ditutup kerudung hitam yang ujungnya dibiarkan jatuh sampai sealis, sehingga aku tak langsung bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia tetap ingat wajahku, meski baru sekali bertemu. Bu Sardinah ditemani dua perempuan muda yang parasnya persis Jimi dan satu laki-laki yang tidak punya kemiripan sedikit pun.

Aku menghampiri mereka. Dua perempuan muda yang wajahnya mirip Jimi ternyata masih anak Bu Sardinah, keduanya kakak Jimi. Namanya Johanna dan Julia --- aku simpulkan jika ada anak lain di keluarga itu pasti namanya juga dimulai huruf j. Pantas keduanya cantik. Aku jadi penasaran seganteng apa Pak Johanes Joharuddin, ayah Jimi, sehingga bisa menularkan gen elok ke wajah anak-anaknya. Sayang Pak Johanes tidak boleh ikut ke pengadilan, khawatir asmanya kumat, katanya. Sementara seorang laki-laki yang wajahnya tidak mirip adalah suami Johanna, kakak ipar Jimi.

Setelah saling menyapa secukupnya, aku kemudian diajak menuju bagian lain Gedung Pengadilan. Tempatnya sedikit ke belakang. Untuk menjangkaunya harus menyusuri sebuah lorong di sayap kiri bangunan. Johanna mengaku tadi memperhatikan dengan saksama saat Jimi digiring petugas ke arah situ. Kakiku latah mengikuti langkah keluarga Jimi.

Benar saja, Jimi ada di sebuah ruangan ujung lorong. Ruangannya mirip sel tahanan di Poksek Regol. Tiga dinding lain berupa tembok, satunya yang ada di bagian depan berupa jerjak besi. Jimi diistirahatkan di sana sambil menunggu giliran sidang. Boleh ditemui, tapi sangat dibatasi.

Di ruang yang dimaksud, Jimi sedang duduk sendiri di kursi plastik. Peci hitamnya dibuka. Rambutnya rapi telah bercukur, tidak seperti ketika aku temui di Polsek Regol dan Rutan Kebonwaru tempo hari. Di sudut lain, seorang pemuda dengan setelan baju persis Jimi, berhem putih dan bercelana hitam, jongkok sambil bersandar di dinding. Juga sendirian. Sementara seorang perempuan yang tadi turun dari elf kedua, sedang berbincang-bincang dengan dua lelaki. Tak kulihat tujuh orang lainnya yang tadi turun dari mobil tahanan.

Aku menemani Bu Sardinah masuk, keluarga Jimi yang lain menyaksikan dari luar. Sebelum dipersilakan masuk, badan dan barang bawaan kami digeledah sekadarnya.

Bu Sardinah menghampiri Jimi. Mereka berpelukan. Bu Sardinah tak kuasa mengendalikan emosi. Dia terlihat sangat sentimental. Matanya rebas. Sambil terisak-isak, memeluk dan mencium kepala anaknya berulang-ulang. Yang diciumi, lama-lama tak mampu menahan haru. Mata Jimi ikut-ikutan berair, meski tak sampai terisak-isak. Itulah persuaan pertama mereka semenjak Jimi ditahan. Mungkin juga jauh sebelum itu mereka belum bertemu, sebab Bu Sardinah sendiri mengaku anaknya itu sangat jarang pulang. Bahkan menurut pengakuan Jimi, sudah sekitar setahun dia tidak menemui keluarganya.

Lihat selengkapnya