“Pokoknya Akang wajib hadir!”
DEMIKIAN isi BBM dari Dewo tadi malam. Tanpa diwanti-wanti seperti itu pun sebisa mungkin aku pasti menyempatkan hadir dalam sidang eksepsi ini. Aku sangat penasaran segera ingin tahu seperti apa hasil jerih-payah yang telah aku lakukan dalam upaya membantu Jimi lepas dari tuduhan. Apakah cukup bisa membantu Dewo dan Sally dalam meramu siasat di persidangan? Atau justru hanya berdampak minor. Atau bahkan tidak memberi efek apa-apa.
Kondisi psikologis yang aku rasakan saat ini jauh berbeda dibanding ketika menghadiri sidang pertama. Aku merasa lebih antusias, semangat, bahkan sedikit tegang. Karena itu aku tidak lagi hirau dengan urusan mobil elf berisi terdakwa, akrobat anak kunci petugas dengan bedil tersampir di punggung, pengunjung sidang yang makin membeludak, dan lain sebagainya. Selesai memarkir motor, aku langsung mamburu ruang sidang agar leluasa memilih tempat duduk. Siang ini aku ingin fokus menyaksikan jalannya sidang, detik demi detik, menit demi menit. Ingin jadi saksi bagaimana peragaan jurus Dewo dan Sally dalam mementahkan dakwaan jaksa.
Sebagai sebuah agenda formal negara, persidangan rupanya sudah punya template baku yang komposisinya tinggal disalin-dan-ditempel dari satu sidang ke sidang berikutnya. Beberapa komposisi yang tersaji dalam ruang sidang kali ini merupakan pengkopian dari persidangan sebelumnya, dengan hanya sedikit pembaruan di beberapa aspek.
Di deretan parket depan, komposisi majelis hakim dan mejelis jaksa seratus persen tidak mengalami perubahan. Segala sesuatunya --- seperti tampilan atau gerak-gerik majelis hakim dan majelis jaksa --- adalah duplikasi sidang yang lalu. Bedanya tipis saja, salah seorang hakim anggota tak lagi kelihatan batuk dan bersin sama sekali. Rupanya beliau sudah sembuh total dari influensanya. Demikian halnya burung garuda berbahan tembaga di dinding belakang majelis hakim, masih tampil dalam template serupa dua pekan silam. Bertengger sendirian tanpa didampingi kawan sejatinya, presiden dan wakil presiden versi dua dimensi. Ritual adegan semua orang berdiri ketika rombongan majelis hakim memasuki ruangan, kali ini aku ikuti dengan penuh khidmat.
Sementara komposisi penasehat hukum dan terdakwa mengalami perubahan. Hanya ada duet Dewo dan Sally di sana. Di kursi terdakwa, Jimi duduk sendiri. Kubu penasehat hukum dan terdakwa yang lain memutuskan untuk tidak mengajukan nota keberatan. Sedangkan pengacara korban belum jelas juntrungannya. Mereka mungkin masih tiarap, menunggu momen yang tepat untuk tampil membantu jaksa berperang melawan kami.
Perubahan berlaku pula pada komposisi pendukung persidangan. Tiga petugas yang berdiri di belakang penasehat hukum diganti, meski wajahnya tetap saja kaku seperti rekannya terdahulu. Dari pihak keluarga Jimi, hanya Johanna dan suaminya yang hadir. Bu Sardinah tak lagi diperkenankan datang ke pengadilan. Yang melarang bukan sembarang orang, melainkan hakim ketua langsung. Beliau rupanya tersinggung karena diumpat dengan sebutan kemaluan pria oleh Bu Sardinah dua minggu lalu.
Menurut Johanna, ada kabar Pak Dudi Balton akan hadir di persidangan kali ini. Tapi kepastiannya masih sumir. Aku justru berharap dia tidak hadir. Kasihan Dewo jika sampai harus terus-menerus diinterupsi untuk mengulang isi eksepsi hanya karena Pak Dudi kurang mendengar. Aku juga khawatir amukan Pak Dudi lebih dahsyat ketimbang histeria adiknya tempo hari, jika akhir sidang tidak sesuai keinginannya.
Perubahan paling mencolok ada di jumlah pengunjung. Kali ini lebih banyak. Didominasi anak muda. Kelihatannya kebanyakan dari mereka adalah kawan-kawan terdakwa yang lain, bukan teman-teman geng Jimi. Beberapa di antara mereka bersikap tidak tertib sejak dari tadi. Gaduh. Sedikit norak. Hanya beberapa saja pemuda yang mengenakan kaus biru seperti yang aku lihat di markas Viking Distrik Riung.
Menghadapi situasi ruang sidang yang gaduh, sesaat setelah mengetukkan palu ke tatakan kayu tanda sidang dimulai, ketua majelis hakim mengeluarkan afirmasi dengan nada keras. “Saya ingatkan dari awal, jika tidak bisa bersikap tenang, silakan keluar dari ruangan ini atau saya yang akan paksa keluar!”
Di luar peringatan, tak banyak kalimat pembuka yang keluar dari mulut hakim ketua. “Seperti yang sudah kita sepakati bersama dua pekan lalu, persidangan kali ini akan diisi dengan pembacaan nota keberatan dari pihak terdakwa. Sudah siap?” hakim menoleh ke arah Dewo yang dijawab dengan anggukan oleh Dewo. “Untuk mempersingkat waktu, kami persilakan kepada pihak terdakwa atau penasehat hukum,” hakim ketua menyerahkan kendali persidangan kepada Dewo.
Dewo berdiri. Mengenakan kemeja marun dibungkus jaket kulit hitam, dia terlihat gagah. Aura percaya diri terpancar dari wajahnya. Dia berdeham dua kali, sebelum mengucap tabik baku persidangan. Rupanya dia berdiri hanya untuk bertabik. Selanjutnya dia memilih membacakan nota keberatan sambil duduk.
Berkas eksepsi yang dibacakan Dewo tidak terlalu tebal. Hanya sekitar lima sentimeter. Bentuknya tidak semenyeramkan berkas dakwaan jaksa yang tebalnya tiga kali tebal batako. Tampilan berkas nota keberatan yang tidak terlalu meyakinkan itu sempat membuatku sedikit jiper. Apakah isinya sudah layak dijadikan bahan menangkis dakwaan atau justru sebaliknya? Sepadankah isi nota keberatan yang tebalnya hanya lima sentimeter dibanding surat dakwaan jaksa yang berkali-kali lipat lebih tebal?
Tak buar waktu, mulut Dewo kemudian langsung disibukkan dengan kalimat-kalimat sanggahan atas dakwaan jaksa dua pekan lalu. Intonasinya meletup-letup bagaikan hendak melelehkan nyali jaksa. Sebagian besar kalimat yang keluar dari mulut Dewo merupakan transkripsi pengakuan Jimi yang aku rekam tempo hari. Disusun dalam kalimat-kalimat yang lebih baku menyesuaikan diri dengan konteks peradilan.
Ketika Dewo mulai mengutarakan sanggahan bahwa Jimi bukan pelaku penusukan korban, dari arah hadirin sekonyong-konyong muncul teriakan, “huuuuuuu!”. Dewo terpaksa menghentikan kalimatnya.
Hakim ketua kontan bereaksi keras. Agaknya dia tidak main-main dengan afirmasi sebelum sidang. Dengan nada tinggi, dia memerintahkan tiga orang petugas yang sedari tadi hanya berdiri mematung di belakang parket penasehat hukum, untuk mengeluarkan sumber kegaduhan. Sidang dihentikan beberapa saat ketika petugas memaksa sejumlah pemuda meninggalkan ruangan.
Baru lima belas menit berjalan, sidang eksepsi telah memakan korban. Majelis hakim rupanya enggan main-main dengan kasus yang memang tidak main-main ini. Prolog yang sangat memukau untuk sebuah fragmen pembuka sidang eksepsi kasus kriminal yang sempat menggegerkan penduduk satu negeri. Aku berharap, nanti giliran jaksa yang jadi korban di pengujung sidang. Jika tidak dikeluarkan paksa oleh hakim, dia yang keluar sendiri sambil mengibarkan bendera putih tanda menyerah kalah.
Dewo kembali melanjutkan perannya jadi penguasa sidang. Suasana makin menegangkan. Tiga hakim duduk khidmat, tiga jaksa terlihat gelisah mulai menyadari dakwaannya sedang diacak-acak.
Pada satu bab, eksepsi Dewo sungguh bernas. Dia menyoal dengan sangat detail hasil otopsi korban I Ketut Giko. "Berdasar hasil otopsi yang kami peroleh dari pihak kepolisian, diperoleh keterangan terdapat dua luka mayor dan satu luka minor pada jasad korban. Dua luka mayor yang dimaksud adalah bekas luka tusukan pisau di bagian uluhati dan rusuk kanan korban. Sedangkan satu luka minor yang dimaksud adalah bekas luka sabetan pisau di lengan kanan korban. Dari data tersebut, kami menyimpulkan pelaku yang melakukan penusukan terhadap korban merupakan seseorang yang bertangan kidal. Sebab, dua dari tiga jejak luka itu berada di sebelah kanan tubuh korban. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang bertangan kidal. Sementara klien kami tidak memiliki kecenderungan kidal."
Jujur aku terkinjat dengan poin eksepsi yang satu ini. Dewo luar biasa, bisa menelisik hasil otopsi dengan sangat cerdas. Jaksa penuntut umum pasti lebih terkinjat dari aku.
"Dari hasil otopsi, untuk mencari siapa sesungguhnya pelaku penusukan terhadap korban I Ketut Giko sebenarnya sangat mudah. Tinggal periksa saja, siapa di antara kedelapan terdakwa yang bertangan kidal. Yang pasti, dia bukan klien kami. Sebab klien kami memiliki kecenderungan tangan kanan," Dewo memungkas bab itu dengan pukulan telak.
Masih dengan kalimat-kalimat yang meletup-letup, Dewo terus berupaya mengobrak-abrik isi BAP dan dakwaan jaksa. Hingga kemudian sampailah dia pada bagian akhir eksepsi.
“… Dengan ini, kami menolak seluruh dakwaan Jaksa Penuntut yang menyebutkan klien kami telah melakukan tindak penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal. Penting untuk digarisbawahi, pada saat peristiwa berlangsung, klien kami tidak berada di tempat kejadian. Bahwa pada saat kejadian, klien kami sedang berada di Sleman dalam rangka menonton pertandingan Persib Bandung melawan tim tuan rumah PSS Sleman.