Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #19

Sidang Keempat

DUA kali hadir dan menyimak secara saksama, aku sampai pada satu kesimpulan: persidangan adalah panggung yang sangat kompleks. Di sana banyak rona kehidupan bisa dijumpai, mulai dari yang bersifat kebendaan sampai pada urusan nurani yang hanya bisa dirasakan tapi tak ada bentuk nan maujud. Hakim, jaksa, terdakwa, fakta, saksi, dan burung garuda berbahan tembaga, adalah unsur kebendaan yang bisa dengan mudah ditangkap indera penglihatan. Namun tingkah sengak jaksa dan perbedaan perlakuan terhadap Jimi dibanding terdakwa lain, hanya bisa dirasakan oleh mata batin.

Pengalaman mengikuti dua kali persidangan juga membawa aku pada satu kesadaran, bahwa persiapan matang dan strategi jitu saja tidak cukup. Dua bekal itu paling banter hanya bisa jadi kunci merebut separuh kemenangan. Setengah lainnya ditentukan jam terbang dan faktor yang bisa dirasakan tapi tak ada bentuk maujudnya itu.

Dewo mengakui bahwa mendampingi Jimi adalah kali ketiga jadi penasehat hukum utama. Sebelumnya dia lebih sering berada di barisan belakang jadi anggota tim atau pendamping penasehat hukum utama, seperti status Sally sekarang. Di dua persidangan terdahulu di mana dia menjadi penasehat hukum utama, keduanya mendampingi terdakwa kasus pembunuhan, hasil akhirnya jauh dari menggembirakan. Kedua terdakwa yang dibelanya mendapat vonis maksimal sesuai tuntutan jaksa. Itu artinya, pembelaan yang dilakukannya tidak berdampak signifikan. Jam terbang yang masih sangat rendah.

Sedangkan dari kubu seberang, jajaran penuntut umum diisi jaksa senior yang entah sudah berapa puluh atau ratus kali bertempur di medan kompleks bernama peradilan. Fakta jaksa sudah kenyang asam garam persidangan, aku lihat jelas dengan mata kepala sendiri pada dua sidang sebelumnya. Dia begitu ligat dalam menyusun dakwaan, liat mempertahankan alasan, dan lihai berkelit dari serangan. Bahkan dia serupa ahli nujum yang sudah bisa menebak hasil akhir persidangan sebelum hakim mengetuk palu.

Sayang aku tak bisa hadir pada sidang ketiga karena pada waktu bersamaan ada jadwal jadi pembicara seminar. Jadi aku hanya bisa memperoleh gambaran jalannya sidang dari laporan Dewo dan membaca buah liputan reporter yang ngepos di pengadilan.

Ihwal ditolaknya nota keberatan pada sidang kedua tempo hari, Dewo mengaku sudah memperhitungkan sebelumnya. Ini argumen Dewo soal hasil sidang eksepsi, yang mudah-mudahan bukan alibi untuk berkelit dari kesalahan.

“Sangat sulit, jika tidak boleh mengatakan mustahil, mementahkan isi dakwaan pada kesempatan pertama. Apalagi menghadapi jaksa sarat pengalaman. Karena itulah saya sengaja menyusun nota keberatan yang isinya mempersoalkan materi dakwaan, sebuah langkah yang pasti dianggap melanggar Berita Acara Persidangan. Sebuah eksepsi hanya boleh menyasar legal formal dakwaan dan bukan materi dakwaan. Mahasiswa hukum semester satu pun tahu itu. Saya memang ingin eksepsi ditolak, agar persidangan selanjutnya langsung menginjak pada pemeriksaan bukti dan saksi. Sebab kekuatan kita ada di saksi-saksi, yakni anak-anak Viking yang tempo hari berhasil Akang bujuk dan terutama kuncinya ada pada Baron. Jika kemarin eksepsi dikabulkan, maka proses persidangan akan berjalan lebih rumit lagi. Lebih panjang. Bakal ada sanggahan dari jaksa dan putusan sela dari hakim. Eksepsi kemarin hanya sekadar trigger buat jaksa apa yang akan kita lakukan pada pledoi mendatang.”

Aku sempat berpikir keras untuk mencerna penjelasan Dewo tentang istilah materi dakwaan, legal formal dakwaan, dan putusan sela. Untungnya Dewo memiliki kecakapan verbal yang luar biasa. Dia bisa memberikan keterangan yang terang benderang dalam kalimat sederhana. Dalam situasi seperti ini, aku merasa bersyukur bisa terlibat dalam kasus Jimi. Darinya aku mendapat banyak pengetahuan baru tentang ilmu hukum melalui pembelajaran teoritis dan praktikal sekaligus.

Dan inilah penjabaran Dewo tentang jalannya sidang ketiga:

Pada sidang ketiga, menurut Dewo, saksi yang dihadirkan seluruhnya menyudutkan Jimi. Di sepanjang persidangan, Jimi berada dalam tekanan jaksa dan pengacara korban. Dewo mengaku kewalahan karena jaksa mendapat suntikan amunisi dengan kehadiran pengacara korban. Jumlah mereka ada empat orang. Jadi jika ditotal, pada sidang keempat itu Jimi, Dewo, dan Sally dikeroyok enam belas orang. Tujuh saksi memberatkan, dua saksi korban, empat pengacara korban, ditambah tiga jaksa.

Tujuh saksi yang dihadirkan semuanya memberatkan. Mereka adalah tersangka lain dari kasus ini. Majelis hakim menghadirkan mereka sebagai media konfrontir antara keterangan Terdakwa 1, Terdakwa 2, dan terdakwa-terdakwa lainnya. Hasilnya, jawaban-jawaban dan pernyataan-pernyataan ketujuh terdakwa lain sepenuhnya senada-sebirama dengan isi Berita Acara Pemeriksaan. Dewo menyebut seperti ada konduktor yang mengatur nada bicara mereka. Ditambah kesaksian dua rekan korban, Jimi benar-benar jadi bulan-bulanan dan hanya mendapatkan pembelaan minor.

Satu-satunya poin yang sedikit memberi angin segar adalah kesaksian rekan korban yang tidak bisa memastikan dengan penuh keyakinan, bahwa pelaku penusukan memiliki postur tubuh tinggi. Ketika Dewo menyuruh Jimi berdiri dan meminta saksi korban menilik dengan saksama postur Jimi, baik Roni Paskah maupun Yudhi Febrian mengaku tidak yakin. “Saya tidak sempat memperhatikan itu, sebab kejadiannya berlangsung sangat cepat,” kilah Roni.

Keterangan saksi korban jadi celah bagi Dewo untuk menekan jaksa bahwa Jimi memang bukan eksekutor sebagaimana disebut dalam dakwaan. Dewo kembali mengungkit hasil otopsi yang menunjukkan korban mengalami luka di bagian kanan. Fakta itu mengindikasikan pelaku memiliki kecenderungan bertangan kidal. Sementara Jimi tidak kidal. Sayangnya upaya Dewo meyakinkan hakim keburu ditindas dengan interupsi jaksa yang merasa keberatan karena poin itu mengingkari Berita Acara Pemeriksaan.

Dewo juga mengaku berupaya kembali mengulang pertanyaan mengenai awal mula masuknya nama Jimi ke dalam daftar tersangka di kepolisian, seperti yang diutarakan dalam penutupan sidang eksepsi tempo hari. Apakah itu berasal dari penyelidikan polisi, pengakuan saksi korban, atau pengakuan tersangka lain? Bila berdasarkan dari pengakuan tersangka lain, Dewo menganggapnya lemah karena selama penyidikan Jimi tidak diberi kesempatan memadai untuk dikonfrontir secara langsung dengan ketujuh tersangka lain. Jika berasal dari pengakuan saksi korban, ini juga tidak punya landasan kuat. Dalam pemeriksaan di persidangan, jelas-jelas saksi korban tidak bisa memberikan penegasan bahwa eksekutor pembunuhan I Ketut Giko memiliki postur tubuh tinggi.

Sementara kalau dijadikannya nama Jimi sebagai tersangka utama berdasarkan penyelidikan kepolisian, harus didasari bukti kuat dari mana sumbernya. Bukan sekadar politik grasak-grusuk hanya lantaran adanya amaran dari Kapolri dan Kapolda Jawa Barat agar kasus ini dituntaskan secepat mungkin.

Tapi lagi-lagi majelis hakim tidak menggubrisnya. Hakim mutlak terjebak dalam alur yang dibangun jaksa dan pengacara terdakwa lain. Padahal hakim telah berjanji akan membahas pertanyaan itu pada sidang ketiga.

Yang membuat Dewo makin dongkol, barang bukti yang dihadirkan semuanya barang bukti sekunder alias yang dipakai terdakwa lain dalam peristiwa. Landasan tim penyidik menetapkan seluruh tersangka lantaran terpenuhinya minimal dua alat bukti, hanya berlaku buat tersangka lain. Tapi tidak buat Jimi. Aspek minimal dua alat bukti yang menjadi alasan menjadikan Jimi tersangka gagal dihadirkan dalam persidangan. Contohnya saja, barang bukti primer berupa pisau yang dipakai terdakwa utama menghabisi korban, tidak bisa ditunjukkan sampai persidangan ketiga selesai. Padahal itu adalah barang bukti kunci yang bisa membuktikan Jimi sebagai eksekutor atau bukan. Sebab, di situ pasti ada sidik jari.

Saking dongkolnya, Dewo sampai pada asumsi bahwa ada yang tidak beres dengan peradilan Jimi. Asumsi ini makin kuat setelah persidangan tiba-tiba mengubah rencana penghadiran saksi. Semula hakim mengagendakan persidangan ketiga akan diisi dengan pemeriksaan saksi dari kubu Jimi, yakni anak-anak anggota Viking Distrik Riung. Tapi lima hari sebelum sidang, tiba-tiba majelis hakim mengabulkan begitu saja permohonan jaksa untuk terlebih dahulu menghadirkan saksi dari pihak seberang. Dari sinilah Dewo melihat dan merasakan Jimi memang sedang diplot jadi penanggung jawab utama kasus ini. Kejanggalan bukan dipicu ulah hakim atau jaksa, melainkan seperti ada campur tangan pihak lain di belakangnya. Ada tangan-tangan tak kasat mata yang mengatur skenario. Kasus ini seakan-akan dipaksakan untuk segera beres dalam waktu selekas-lekasnya. Tanpa mempedulikan sejumlah fakta.

Jujur saja, aku pun merasa demikian. Sejak awal, alur peristiwa kasus ini memang janggal. Banyak isi Berita Acara Pemeriksaan yang banal. Susunan mozaik satu dengan mozaik lain saling berlompatan. Salah satunya menyangkut kronologi pertemuan Jimi dengan terdakwa lain sebelum pengeroyokan. Tidak didapat keterangan jelas bagaimana cara mereka janjian. Dalam gelaran rekonstruksi, kronologi peristiwa tiba-tiba langsung melompat ke peristiwa minum-minum dan konvoi. Dewo beberapa kali harus dibuat jengkel karena majelis hakim mengabaikan upaya sanggahan dan keberatan atas hal tersebut. Karena itulah aku merasa makin yakin Jimi bukan pelaku penusukan.

Keanehan semakin terlihat pada saat sesi rekonstruksi yang berlangsung dalam penjagaan ekstraketat dari aparat. Adegan rekonstruksi sebanyak dua puluh empat adegan, seluruhnya bersandar pada Berita Acara Pemeriksaan. Penyidik berdegil pada versi mereka. Padahal jelas-jelas Jimi tidak mengakui seluruh materi hasil proses verbal versi kepolisian tersebut.

Kejanggalan lain yang jelas kentara, terlihat saat sidang memasuki sesi konfrontir pernyataan Jimi dengan terdakwa-terdakwa lain. Hakim gagal menyediakan porsi yang memadai buat Dewo untuk melakukan kroscek data yang dimilikinya dengan keterangan dari terdakwa lain. Sesi konfrontir hanya berlangsung sekadarnya karena hakim ketua terlanjur masuk dalam perangkap jaksa.

Namun, aku tidak mau memerangkap diri pada prejudisme seperti itu. Pekerjaan yang berangkat dengan magnitudo jelek, maka nantinya malah akan bertemu dengan ion negatif pula. Sebaliknya, aku menganggap kejanggalan itu sebagai sebuah tantangan yang harus dibuktikan ketidakbenarannya. Karena itulah, aku berusaha selalu menyisihkan waktu dan energi untuk ikut mengurusi kasus ini.

Lihat selengkapnya