Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #20

Menjemput Baron

EMPAT kali sidang, angin belum juga berpihak sepenuhnya pada kami. Kesaksian delapan anggota Viking ternyata tidak mampu membalikkan arah angin persidangan yang selama ini mutlak berada dalam kendali jaksa. Memang ada beberapa keterangan di antara mereka yang menyiratkan Jimi tidak berada di tempat kejadian saat pembunuhan berlangsung, namun kadarnya tidak begitu tegas dan meyakinkan. Gara-garanya jaksa berhasil mengorek fakta, tujuh dari delapan saksi meringankan berada dalam pengaruh minuman keras selama perjalanan menaiki kereta api menuju Sleman. Dan teori hukum jelas-jelas menegaskan kesaksian orang dalam kondisi mabuk bobotnya lemah. Oleh karena itu bisa dikatakan jalannya sidang masih berada dalam kendali jaksa.

Dengan kondisi seperti itu, kami sama sekali tidak boleh lengah, apalagi berpuas diri. Sekonyong-konyong jaksa bisa kembali mengendalikan arah persidangan sepenuhnya jika sekali lagi kami melakukan kesalahan. Persidangan selanjutnya adalah titik penentuan, apakah perjuangan kami selama ini mampu mengelakkan Jimi dari tuntutan atau sebaliknya.

Tapi aku yakin seyakin-yakinnya, angin akan langsung berbalik arah begitu kami mengeluarkan senjata pamungkas, yaitu Baron. Delapan saksi sebelumnya --- yang aku klaim bakal berbobot serupa mortir --- boleh gagal, tidak untuk yang satu ini. Sebab ini adalah saksi kunci, saksi emas, atau apa pun istilahnya. Saksi yang dijamin bisa menguatkan alibi keberadaan Jimi saat peristiwa pengeroyokan terjadi. Saksi yang akan mengantarkan kami memenangi persidangan. Saksi yang daya ledaknya sedahsyat rudal, mampu meluluhlantakkan musuh hingga berkeping-keping mirip bubuk emping.

Sebelumnya, dalam sejumlah pertemuan, sambil bergurau kami sempat mereka-reka imajinasi mengenai kemungkinan yang akan terjadi setelah Baron diajukan ke muka hakim. Gurauan itu berisi simulasi bersulang merayakan kemenangan. Sulang pertama tentu saja wajib dilayangkan kepada duet Dewo dan juga Sally. Ini akan jadi kasus perdana yang dimenangi Dewo sebagai penasehat hukum utama. Kebetulan kasus besar yang gaungnya tembus level nasional. Sedikit-banyak reputasi kepengacaraannya otomatis bakal terkerek. Satu konduite amat berharga buat Dewo. Otomatis Sally juga pasti kena cipratan. Bahkan Sally, masih dengan nada setengah bercanda, menyodorkan ide untuk menggelar tumpengan segala, tentu saja dengan mengundang keluarga besar Jimi.

Sedangkan buat aku, ikut andil memenangkan persidangan adalah cara terbaik untuk menebus rasa bersalah kepada Jimi lantaran pernah memacari istrinya --- sekali lagi aku menganggap mereka masih suami istri karena Jimi tak pernah berucap kata cerai meski kini hidup terpisah dengan Vera. Di samping itu, memenangkan persidangan berkenaan pula dengan bahan reportase undercover yang telah aku susun. Sejak awal tebersit rencana merekonstruksi kasus ini menjadi sebuah novel, aku menghendaki ceritanya dipungkas secara reflection ending47. Buat aku, sebaik-baiknya novel adalah yang di dalamnya menyajikan cerita dengan kemput. Untuk apa novel dibangun atas beratus-ratus halaman sampai tebalnya mengungguli Kamus Inggris-Indonesia yang disusun John M Echols dan Hassan Shadily, jika di dalamnya tak mampu menyajikan cerita yang paripurna. Dengan memenangkan persidangan, aku juga bisa menggarap ceritanya tanpa beban.

Bahkan khusus untuk keluarga Jimi, aku punya ekspektasi sedikit berlebihan bila peradilan tidak dapat membuktikan keterlibatan Jimi pada peristiwa pembunuhan. Aku yakin ini akan jadi titik balik perubahan buat keluarga Jimi secara keseluruhan. Setelah kasus ini selesai, aku akan membujuk Jimi agar kembali ke rumah. Hidup normal selayaknya seorang anak yang masih memiliki orang tua. Bu Sardinah, Pak Johanes, Johanna, dan Julia, pasti mau menerimanya dengan tangan terbuka. Tak terbayang bagaimana bahagianya Bu Sardinah sekeluarga. Nama baik mereka yang selama ini remuk-redam secara otomatis pulih.

Satu lagi manusia yang pasti senang melihat Jimi lolos dari dakwaan tentu saja Vera. Dan jika benar-benar peradilan tidak bisa membuktikan keterlibatan Jimi dalam pembunuhan I Ketut Giko, maka kekaguman Vera atas diriku pasti semakin menjulang saja. Pasti!

Namun di luar semua itu, ada ekses lain yang tak kalah penting. Yakni terkuaknya skandal polisi salah tangkap. Belum lagi bila Jimi hendak mempersoalkan kasus ancaman dan penganiayaan penyidik selama proses verbal Berita Acara Pemeriksaan. Maka ekses dari kasus ini makin sengit saja. Sekaligus membenarkan prasangka buruk kami bahwa kasus ini diatur sedemikian rupa agar cepet selesai dengan tujuan meredam ketakutan masyarakat atas teror geng motor. Dan Jimi jadi korban utama skenario culas itu.

Oleh karena saking pentingnya keberadaan Baron, aku sampai mengajukan cuti agar bisa menjemputnya tempo hari. Kebetulan dua tahun terakhir ini aku tak pernah memanfaatkan jatah cuti. Mendapat libur tiap Sabtu ditambah keistimewaan Ahad boleh masuk lewat tengah hari, lebih dari cukup untuk tidak kemaruk sering-sering memanfaatkan jatah cuti juga.

Untuk pergi di hari Sabtu, aku tak tega sama Syifa. Sejak kejadian aku membatalkan janji gara-gara lebih memilih menemui Jimi di Polsek Regol tempo lalu, aku tak berani lagi semena-mena mengganggu jadwal menengok ibu.

Istriku sangat baik. Selama kami menikah, jarang sekali cemberut atau marah. Bahkan tak pernah sekali pun kami cekcok. Tak pernah. Sesekali merajuk kecil-kecilan bila kehendaknya tidak aku tunaikan, semuanya masih dalam taraf wajar. Namanya juga perempuan. Salah satu cemberut yang terbilang hebat, yaitu tadi ketika rencana menengok ibu urung akibat aku memilih kegiatan lain secara mendadak. Kala itu dua hari penuh dia ngambek. Dengan alasan itulah aku mengajukan cuti agar bisa menjemput Baron pada hari biasa. Apalagi orang-orang kantor sekarang sudah tahu aktivitasku mengurusi masalah kemanusiaan ini. Ya, agar terdengar keren dan menuai kesan baik dari atasan maupun rekan-rekan kerja yang lain, aku menyebut aktivitas membantu Jimi sebagai ‘mengurusi masalah kemanusiaan’.

Menurut informasi dari Vera, setelah menuntaskan masa rehabilitasinya, Baron memilih pulang ke kampungnya di Pameungpeuk, Garut Selatan. Sayangnya Vera tidak bisa memberikan informasi rinci tentang alamat rumah orang tua Baron di kampung. Berbekal nasehat Vera, aku kemudian menemui anak-anak Viking Distrik Riung.

Syukurlah, beberapa anak Viking Distrik Riung mengaku pernah berlibur ke rumah Baron yang letaknya memang tak jauh dari pantai. Maka aku ajak Mumu ikut serta untuk jadi penunjuk jalan.

Lihat selengkapnya