Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #22

Menyerah

Fa’inna ma’al ‘usri yusra. Inna ma’al ‘usri yusra.


DI ANTARA tiga puluh tujuh surah pengisi Juz 30, aku sangat menyukai surah Al-Insyirah. Menurutku, diksi yang membangun seluruh ayat di surah ini membentuk rima yang mudah dihafal dan enteng dilafal. Jumlah ayatnya pun pas. Tidak terlalu pendek, pula tidak terlalu panjang. Ibarat sebuah lagu, lirik dan komposisinya easy listening dan mind catching. Tak heran bila banyak yang menjadikannya andalan manakala didaulat jadi imam salat yang mengharuskan surah pendeknya dibacakan dengan cara jahar.

Dan dua larik ayat itulah yang jadi musabab aku begitu menyukai surah Al-Insyirah. Saking sukanya, aku sampai menjadikannya lukisan dalam dua versi. Satu dalam versi kaligrafi, satunya lagi poster lettering bertulisan latin. Versi kaligrafi berukuran sangat besar dipajang di ruang tamu. Menurut pengakuan pembuatnya, kaligrafi itu dibingkai dengan figura berukuran satu kali dua setengah meter. Benar atau tidak dimensinya persis seperti itu, entahlah. Aku tak pernah menyengajakan diri mengukurnya. Yang jelas ukurannya memang sangat besar. Lukisan terbesar yang ada di rumahku.

Sementara versi lettering ukurannya hanya A2. Meski begitu, versi ini justru yang lebih sering terlihat sebab sengaja aku pajang di dinding kamar tidur bagian tunjang ranjang. Jadi, secara sengaja atau tidak, setidaknya aku bisa melihatnya dua kali dalam sehari. Yakni ketika hendak dan bangun tidur. Sedangkan yang versi kaligrafi, walaupun ukurannya jauh lebih besar, tidak setiap hari hinggap di indra penglihatan. Maklum, tidak saban hari aku dan istriku menyempatkan diri bercengkrama di ruang tamu.

Sebenarnya pernah ada pula versi cutting sticker yang ditempel di kaca belakang mobilku. Tapi terpaksa aku cabut, karena ternyata mengganggu kinerja wiper.

Fa’inna ma’al ‘usri yusra. Inna ma’al ‘usri yusra. Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.

Selain indah, kalimat itu memiliki makna yang begitu istimewa. Nubuat khusus yang dibekalkan Gusti Allah agar umatnya senantiasa tangguh melakoni hidup. Dengan dua ayat yang diulang secara muradif seolah-olah Yang Maha Agung hendak menegaskan dengan setegas-tegasnya bahwa kurva kehidupan niscaya berjalan seperti ayat itu.

Dini hari ini, ketika membuka mata dari tidur yang tidak terlalu lelap, kalamullah di poster A2 itu kembali terbaca. Bahkan sekali ini sengaja aku pandang berulang-ulang. Tapi sama sekali tidak menularkan apa-apa. Datar. Hampa. Kosong. Seakan-akan kalam yang tertera di poster itu bukan nukilan nubuat istimewa bikinan Tuhan.

Nubuat seistimewa apa pun memang tiada bakal berguna untuk sebuah jiwa yang tidak siap menerima pencerahan karena terlanjur didaulat kemasygulan luar biasa. Kalimat sebernas emas hanya akan berarti nihil bagi nyali yang remuk-redam dilindas kenyataan yang tak sejalan dengan keinginan. Kemarin siang, di gedung pengadilan, jiwa dan nyaliku memang telah berantakan dilindas kabar memilukan dari fly over Kiaracondong.

Bahkan kemudian, untuk pertama kalinya hatiku menyangkal kebenaran kalam fa’inna ma’al ‘usri yusran. Tidak, kurva kehidupan tidak selalu berjalan seperti dalam nubuat itu. Jika Gusti Allah menjanjikan kemudahan di balik kesusahan, lalu kemudahan seperti apa yang akan muncul di persidangan setelah kesulitan besar yang menimpa kami seiring tak kunjung sadarnya Baron? Setidaknya, hitung-hitungan akal-pikiranku sejauh ini tidak mampu menerka bentuk yusran seperti apa yang mungkin hadir bila Baron tetap terlelap dalam ketidaksadaran. Maka bukankah tidak berlebihan bila aku sampai pada pemikiran, bawah kemudahan menjalani persidangan selanjutnya hanyalah sebuah lengkara.

Rasanya berat sekali untuk sekadar mengangkat pinggang dari tempat tidur. Sampai-sampai istriku telah tiga kali mengirim peringatan untuk segera ambil air wudu. Peringatan yang terakhir bahkan diimbuhi pijitan kencang di hidung. Tapi punggungku tetap terpaku di pembaringan. Padahal biasanya dini hari selepas salat subuh seperti ini adalah masa paling sentosa untuk berkutat dengan buku catatan. Mengeksekrikan sampah metabolisme pikiran bekas pergumulan hidup pada hari sebelumnya. Mengabadikan partikel-partikel yang muncul di persidangan, mengejawantahkan kegelisahan, kesenangan, kekecewaan, dan lain sebagainya.

Lihat selengkapnya