HAMPIR dipastikan Jimi tak bisa lagi berharap pada Baron. Sepekan lewat, dia masih terbaring koma di rumah sakit. Dokter pun tidak bisa memberi kepastian. Kondisinya tak kunjung menunjukkan perkembangan ke arah yang menggembirakan. Bahkan dokter menyebut secara teori Baron sudah dapat dikatakan meninggal. Benturan hebat membuat tempurung belakang kepalanya retak yang menyebabkan pendarahan di otak dalam volume besar. Hanya keajaiban yang bisa membalikkan keadaan. Kalaupun sampai kembali siuman, kata dokter, kemungkinan besar memori otaknya akan rusak yang akan berakibat pada lemahnya motorik otot seluruh tubuh. Dengan kata lain, Baron bakal lumpuh. Terlebih lagi Baron bekas pecandu obat-obatan akut. Memori otak dan imunitas tubuhnya sangat lemah.
Masih menurut dokter, benturan keras di kepala pula yang menyebabkan Mang Darun meninggal. Kasihan Mang Darun, turut jadi korban dari kasus yang sama sekali tak ada hubungan dengannnya. Tak pantas rasanya jika Mang Darun ikut jadi korban. Aku terpukul, apalagi Dewo dan Sally, terlebih-lebih Kang Andri. Sangat kentara ketiganya bersedih luar biasa, sehingga akhirnya semakin menularkan rasa bersalah kepadaku. Andai saja tidak terlibat dalam kasus Jimi, pasti aku tidak akan mengenal mereka. Jika tidak mengenal mereka, sudah barang tentu dalam perjalanannya tidak akan pula melibatkan Mang Darun.
Lima bulan lebih bolak-balik mendatangi Kantor LBH Bandung, otomatis aku jadi tahu banyak mengenai Mang Darun. Bagaimana posisi dan peran dia dalam lingkaran keluarga besar LBH Bandung. Status resminya memang sopir. Tapi dalam kenyataannya, Mang Darun tak ubahnya kepala rumah tangga. Segala keperluan dan kepentingan kantor berada dalam pengelolaannya. Kang Andri dan kawan-kawan sangat mempercayai Mang Darun untuk segala hal. Memelihara fasilitas kantor, menyediakan kebutuhan yang berhubungan dengan isi perut, sampai menyusun dan merapikan arsip, semua Mang Darun yang urus. Seorang pemuda --- bernama Junaedi --- yang dipekerjakan jadi tenaga tambahan di sana, sifatnya lebih kepada office boy yang gerak kerjanya tetap berada di bawah pengawasan Mang Darun. Kebetulan Junaedi masih kerabat Mang Darun.
Saat meninggal, umur Mang Darun menginjak enam puluh satu tahun. Tiga minggu sebelumnya kebetulan aku ikut makan nasi kuning yang dibuatkan Sally sebagai peringatan ulang tahun Mang Darun. Dia sudah mengabdi di sana lebih dari dua dekade. Sejak LBH Bandung masih berkantor di Jalan Naripan, kemudian pindah dua kali, sampai sekarang di Jalan Reog. Hitungan yang dipakai sebagai rentang waktu pengabdiannya adalah jabatan walikota Bandung. Dalam sebuah kesempatan saat aku minta diantar dari Kantor LBH ke kantorku, Mang Darun mengaku sudah bekerja di LBH Bandung sejak jaman Walikota Wahyu Hamijaya. Sejak itu, walikota telah berganti dua kali. Masing-masing penggantinya menjabat dua periode. Maka klaim Mang Darun soal masa bakti di LBH Bandung jelas bukan mengada-ada.
Ketua LBH Bandung, wakil ketua, serta aktivis-aktivis hukum lain boleh berganti datang dan pergi, tapi Mang Darun tak pernah beranjak ke mana-mana dalam arti sesungguhnya. Ke mana pun Kantor LBH Bandung pindah, dia pasti turut serta. Sehari-hari dia juga tinggal di sana, menempati ruang khusus di bagian belakang kantor yang dia huni bersama istrinya. Dua anaknya telah hidup mandiri, tinggal di bagian lain wilayah Kota Bandung.
Dalam keseharian Mang Darun adalah pribadi yang sangat apik dan santun. Maka baik Kang Andri, Dewo, maupun Sally, berani memastikan kecelakaan di fly over Kiaracondong itu bukan dipicu perilaku berkendara Mang Darun.
Yang paling berkesan dari Mang Darun adalah pengakuan tentang pengalamannya pernah jadi sopir di Surat Kabar Sunda Giwangkara53 pada akhir tujuh puluhan. Jika diselisik lebih jauh, ada kemungkinan dia kenal dengan kakekku. Sebab almarhum kakek adalah salah satu pendiri koran tersebut yang masih aktif bekerja pada periode Mang Darun jadi sopir di sana. Akan tetapi aku tak sempat menanyakan hal itu lantaran saat itu mobil yang dia sopiri keburu sampai ke kantorku.
Cerita kecelakan yang menimpa Mang Darun dan Baron ternyata tidak berakhir begitu saja. Entah dari mana dan bagaimana asalnya, peristiwa itu sekonyong-konyong ramai jadi bahan berita di seluruh media, termasuk televisi yang punya program khusus berita-berita kriminal, kecelakaan, dan sebangsanya. Dewo dan Sally harus ketempuhan. Mereka diburu reporter untuk dijadikan narasumber berita. Selama beberapa hari, hape keduanya nyaris tak pernah kosong dari permintaan wawancara. Karena Sally selalu menolak otomatis Dewo yang ketiban pulung.
Terlepas dari semua itu, betul kata pepatah, selalu ada hikmah di balik musibah. Musibah kecelakaan yang menimpa Mang Darun dan Baron ternyata mendatangkan sedikit berkah buat Dewo. Dia mendapat panggung kecil di beberapa media. Bahkan wajahnya sempat dua kali nongol di layar kaca saat sebuah stasiun televisi berbasis berita mendaulatnya jadi narasumber telewicara. Buat pengacara muda yang sedang merintis karir, pengalaman ini tentu sangat berharga untuk menaikkan popularitas. Meski ongkos yang mesti ditunaikan untuk menebusnya teramat mahal.
Dalam perkembangannya ada pula media yang sampai melakukan pendalaman sehingga berhasil mengungkap posisi Baron dalam kasus terbunuhnya I Ketut Giko. Dewo mengaku diwawancarai reporter Tribur Jaban dan sebuah televisi nasional via telepon menyangkut keterikatan Baron dengan Jimi.
Yang paling mencengangkan, sebuah feature di majalah berita ternama memuat rumor serampangan dengan menyebut kecelakaan itu merupakan rekayasa satu pihak yang tidak menginginkan Jimi lolos dari hukuman. Tulisan gegabah yang entah kenapa justru aku menyukainya.