Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #24

Pledoi

HARI ini persidangan memasuki tahap pledoi. Secara hitung-hitungan, tak ada lagi yang bisa diharapkan dari persidangan ini. Seperti apa nasib yang bakal menimpa Jimi, penjual kupat tahu di pelataran parkir gedung pengadilan -- yang tiap sidang tak pernah alpa menonton dari bangku deretan belakang --- pun pasti dapat dengan mudah menebaknya. Kalaupun Dewo dan Sally tetap menempuh tahapan ini dengan sungguh-sungguh, lebih dari sekadar memenuhi keharusan formal peradilan. Itulah bukti integritas mereka pada profesi.

Sebenarnya aku sudah sangat malas harus kembali mengunjungi tempat ini. Tempat di mana aku gagal jadi pemenang. Tidak seperti di sekolah, kampus, atau kantor, tempat-tempat yang dengan mudah aku taklukkan; di tempat ini, di ruang sidang Pengadilan Negeri Bandung, aku merasa tak mampu jadi pribadi unggul. Hanya jadi penonton. Itu pun penonton nan candala, bukan penonton yang bahagia dengan sajian pentas.

Begitu duduk di kursi pengunjung, aku merasa ruang sidang diliputi aura benguk persis seperti pada sidang tuntutan pekan kemarin. Bak ada gumpalan awan kelabu pekat menyaput langit-langit ruang pengadilan. Aura murung ini jelas terbangun secara personal setelah melewati serangkaian kekecewaan.

Sepanjang hidup, aku memang tidak terlalu akrab dengan kekecewaan. Berstatus anak tunggal dengan kondisi ekonomi keluarga berkecukupan, ditambah bimbingan subtil almarhum ibu yang selalu mengupayakan hal-hal terbaik buat aku, membuat hidup ini cenderung selamanya berjalan di atas rel kenyamanan dan kemudahan. Nyaris tak ada kelokan tajam atau tanjakan curam sepanjang melakoni fase demi fase kehidupan. Cenderung lempeng-lempeng saja. Segala yang aku butuhkan, orang tua menyediakan. Semua yang aku inginkan, mereka mampu memenuhinya.

Semua kenyamanan dan kemudahan itu rupanya telah terkondisikan sedemikian rupa sejak aku belia. Aku masih ingat betul cerita ibu tentang kebiasaanku bermain video game sewaktu kecil. Kebetulan di antara teman main, aku satu-satunya anak yang punya video game SEGA. Menjadi barang aneh dan langka, video game itu jadi magnet buat kawan-kawan. Hampir saban hari mereka berkumpul di rumahku untuk bermain game. Kala itu, game yang sangat aku gemari adalah Street Fighter dan balap mobil. Mau tak mau semua teman harus mengikuti kesenanganku pada game tersebut. Masalahnya, aku tidak boleh menderita kekalahan. Tiap kali kalah pasti menangis. Maka agar aku tidak menangis, ibu kemudian menyogok teman-temanku dengan makanan atau uang jajan supaya mau mengalah. Pada akhirnya ibu terpaksa menyembunyikan konsol video game pemberian kakek sebagai hadiah khitanan itu. Bukan karena khawatir anaknya kecanduan. Tapi karena aku selalu nangis tiap kali kalah, baik ketika bermain sendirian terlebih lagi saat bertanding dengan teman.

Tak berlebihan bila kegagalan mengantarkan Jimi pada kemenangan sangat mempengaruhi mentalku. Di titik inilah pada akhirnya aku sampai pada satu kesadaran, bahwa betapa pentingnya pengalaman hidup yang berwarna. Satu corak pengalaman hidup di masa lalu akan menjadi bekal buat menghadapi pengalaman dengan warna yang sama di masa mendatang. Kegagalan di masa silam adalah antibodi yang memungkinkan tubuh imun terhadap serangan virus kegagalan di masa setelahnya. Bila satu individu terus-terusan hidup dalam kondisi nyaman, maka dapat dipastikan individu itu tidak memiliki antibodi memadai yang membuatnya kebal tatkala suatu saat dihadapkan pada situasi tidak nyaman. Dan contoh individu itu tak lain adalah aku seorang. Aku tak siap, aku tak akrab, sekalinya mesti bertemu kegagalan.

Dalam kondisi mental seperti ini, beruntung aku mengenal Dewo. Dari dia, aku mendapatkan tutorial bersifat praktikal tentang bagaimana mengelola kegembiraan, kekecewaan, marah, sedih, dan aspek-aspek kejiwaan lain. Dalam umur sebaya denganku, dia telah mencapai kematangan psikologis layaknya mereka yang berumur empat atau lima puluh tahun ke atas. Itu dibuktikan dengan perangainya yang seperti tidak pernah mengalami fluktuasi. Baik dalam keseharian maupun selama persidangan, perbawa Dewo senantiasa kalem. Kekecewaan atas hasil sidang dihadapinya dengan biasa-biasa saja. Kalaupun tingkat kekecewaan sudah sedemikian dahsyat, seperti ketika gagal menghadirkan Baron sebagai saksi kunci, paling berpengaruh sebentar saja. Untuk selanjutnya dengan segera dia dapat mengatasinya. Pernah dia diserang bertubi-tubi oleh jaksa, disasar habis-habisan sampai dihina dengan sebutan pengacara kemarin sore, dia sama sekali tak terpancing.

Demikian halnya untuk urusan komitmennya dalam menangani kasus Jimi. Tak ada yang berubah. Sejak masa-masa persiapan menghadapi sidang hingga detik ini, dia tetap menunjukkan kegigihan yang sama. Salut untuk Dewo yang senantiasa gentur dengan spirit tempur yang meletup-letup. Nada bicaranya konstan terdengar antusias tiap kali menelepon guna membahas segala hal yang berkait dengan persidangan. Termasuk kemarin ketika untuk kesekian kalinya dia meminta aku hadir di persidangan.

Setelah meninggalnya Mang Darun, kami praktis hanya berkomunikasi lewat BBM. Jika bahan yang hendak dibahas memerlukan penjelasan lebih panjang, baru lewat telepon. Beberapa kali Dewo memintaku datang ke Jalan Reog, tapi aku selalu menolak. Rasa bersalah telah menjadi penyebab meninggalnya Mang Darun, bergaung lebih kencang ketimbang keberanian menemui keluarga besar LBH Bandung. Aku tahu benar bagaimana pentingnya keberadaan Mang Darun untuk Kang Andri dan untuk LBH Bandung secara keseluruhan. Lantas aku sekonyong-konyong datang ke sana hanya untuk jadi penyebab terenggutnya orang penting di lingkungan mereka. Berkali-kali Dewo, bahkan kemudian Kang Andri, memberi penghiburan dengan mengatakan bahwa meninggalnya Mang Darun sama sekali tidak ada kaitannya dengan kehadiran aku di antara keluarga besar LBH Bandung. Tapi tetap saja tidak bisa menetralisir rasa bersalah.

Jika bukan karena permintaan Dewo sekali lagi, rasanya tak sudi kembali satu ruangan dengan manusia degil-tengil bernama jaksa. Ah, andai saja ibu masih ada, manusia degil-tengil berjubah hitam itu pasti sudah diberesi. Disogok dengan makanan atau uang jajan supaya mau mengalah, seperti teman-teman bermain video game dulu.

Sidang kali ini akan diisi pembacaan pledoi atas tuntutan jaksa pekan kemarin. Sudah barang tentu Dewo bakal kembali jadi protagonis dalam sekuel sidang ini. Untuk itu dia telah menyiapkan berkas pledoi yang sedikit lebih tebal dibanding berkas eksepsi. Walaupun sadar posisinya berada di bawah angin, Dewo tak gentar. Respek tinggi tetap dia tunjukkan kepada majelis hakim dan jaksa penuntut.

Lihat selengkapnya