Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #25

Foto

BARU menginjakkan kaki di teras lobi Gedung Pengadilan, tetiba seutas BBM masuk. Ndilalah, ternyata dari Jaksa Agung Republik Indonesia. Isinya singkat saja: Tempat sidang vonis Jimi dipindah ke Jakarta.

Aku tercengung setengah mati mendapat BBM langsung dari Jaksa Agung. Padahal tidak menyimpan nomornya, tidak kenal, dan tidak pernah bertemu. Tapi jelas sekali BBM itu datang dari kontak dengan nama JAKSA AGUNG RI, diketik memakai hurup kapital semua. Yang tak kalah mengagetkan adalah informasi yang terkandung di dalamnya. Kenapa konfirmasi pemindahan tempat sidang vonis Jimi disampaikan begitu mendadak ketika aku sudah sampai ke gedung ini. Pantas saja gedung ini sepi. Tidak seperti biasanya ketika ada jadwal persidangan Jimi.

Masih dalam kondisi kaget dan bingung mesti berbuat apa, aku coba kontak Dewo. Ditelepon, dikontak via BBM, lewat SMS, semua tak bisa. Blackberry Dewo sepertinya mati. Aku cari nomor Sally. Alamak, ternyata selama ini aku tidak pernah berkomunikasi dengan Sally lewat gawai, alpa menyimpan nomornya.

Sekonyong-konyong tubuhku dilanda keletihan yang luar biasa. Pasti karena aku belum sarapan. Letih, letih sekali sampai nyaris terkelempai di lantai. Sekadar melangkah kaki pun terasa sangat berat. Meski begitu aku tetap paksakan melangkah ke ruang sidang. Jarak dari lobi ke ruang sidang hanya perlu beberapa langkah, namun dalam keadaan badan letih tiada kepalang rasanya sangat jauh.

Ruang sidang kosong. Tak ada manusia barang sepotong. Kursi-kursi yang biasa dipakai duduk para pengunjung pun raib entah ke mana. Hanya ada burung garuda berbadan tembaga yang menclok sendirian di dinding belakang meja majelis hakim, tanpa didampingi presiden dan wakil presiden versi dua dimensi. Utas BBM dari Jaksa Agung itu rupanya bukan kabar bohong. Agaknya benar tempat sidang vonis Jimi dipindah ke Jakarta.

Aku coba kembali mengontak Dewo. Aduh Gusti, musibah apa lagi ini, hapeku kosong. Seluruh isinya hilang. Kontak-kontak musnah, juga yang lain-lain. Padahal aku yakin betul tidak melakukan apa-apa terhadap hapeku selepas tadi terakhir kali coba mengontak Dewo. Tapi kenapa bisa isinya hilang semua. Benar-benar apes.

Dalam keadaan bingung, tiba-tiba seorang perempuan datang menghampiri. Dia tak lain anggota majelis hakim persidangan Jimi. “Kalau mau ke Jakarta, ikut kami saja. Naik helikopter,” ibu hakim berwajah galak itu memberikan tawaran.

Pantas saja tadi aku lihat ada helikopter hinggap di atas gedung pengadilan. Tidak punya pilihan lain, aku memutuskan ikut ajakan ibu hakim. Walaupun letih sangat, aku mengikuti langkahnya menuju lantai teratas gedung tempat di mana sebuah helikopter siap siaga. Ketika aku masuk helikopter, ternyata di sana telah ada hakim ketua, hakim anggota yang satunya lagi, dan manusia yang paling aku benci sekolong langit: jaksa.

Tempat duduk penumpang helikopter terdiri dari dua jok yang saling berhadapan. Masing-masing jok memuat tiga orang. Jadi kalau penuh, tempat duduknya bisa memuat enam orang. Tapi sekarang hanya lima yang terisi. Aku, hakim ketua, hakim anggota yang laki-laki, hakim anggota yang perempuan, dan jaksa. Untungnya aku kebagian tempat duduk yang berseberangan dengan jaksa, membelakangi pilot. Tak sudi rasanya kalau harus duduk berdampingan. Karena sudah terlanjur duduk, aku putuskan tetap ikut ke Jakarta. Rasa penasaran pada hasil sidang vonis Jimi jauh lebih besar daripada kebencianku kepada jaksa.

Ketika helikopter mengudara, aku cuma diam. Semua orang yang ada di helikopter juga diam. Hanya jaksa yang sesekali nyerocos. Rupanya ketengilan telah menjadi watak dasar ‘manusia berbini selusin’ itu. Tidak di ruang sidang, tidak di dalam helikopter, sekali tengil tetap tengil, degil tetaplah degil. Hobinya memprovokasi orang.

Dengan nada tengil pula jaksa gendeng itu mengeluarkan kalimat yang menyulut emosiku. “Hari ini Terdakwa 1 akan mendapat vonis mati sesuai perintah Jaksa Agung. Itulah alasan kenapa sidang ini mendadak dipindah ke Jakarta. Jaksa Agung ingin menyaksikan langsung. Sekadar info, korban I Ketut Giko adalah keponakan Jaksa Agung. Bukan begitu Pak Hakim?” ujar jaksa sambil melirik ke arah hakim ketua.

Yang dilirik manggut-manggut. Aku sungguh tak bisa menahan emosi dengan kelakuan jaksa. Seperti api disodori spiritus, aku spontan bereaksi. Sudah lama aku ingin memukulnya. Sekarang kesempatan itu terhampar di depan mata. Dengan dorongan sekuat tenaga, tanpa pikir panjang aku layangkan kepalan ke arah muka jaksa. Namun hanya menerpa angin karena jaraknya memang agak jauh, dan aku memukul tanpa perhitungan apa-apa lantaran tak punya pengalaman berkelahi sama sekali. Aku terpelanting. Helikopter terasa oleng.

Hakim ketua dan dua hakim anggota tidak diam. Keduanya kompak menahan tubuhku. Hakim anggota yang perempuan, yang tadi mengajakku naik helikopter, berlaku lebih arif. Dia hanya memegangi pangkal lenganku. Mungkin maksudnya sama, agar aku tidak memukul lagi.

Aku meronta ingin memukul jaksa sekali lagi. Tapi tak bisa. Tanganku masih dipegangi hakim anggota yang perempuan. Meronta lagi, tetap tak bisa. Akhirnya aku diam sejenak. Pura-pura mengendurkan amarah. Menanti orang-orang yang sedang memegangi tubuhku lengah. Begitu pegangan mereka kendur, niscaya aku bakal melayangkan kepalan sekali lagi untuk menghantam bacot jaksa itu sekeras mungkin.

Strategiku berhasil. Melihat aku diam, dua hakim yang laki-laki melepaskan pegangannya. Tinggal hakim yang perempuan masih memegangi lenganku. Bukannya melepaskan, ibu hakim malah menggoyang-goyangkan tanganku seraya berkata, “Hey, hey, sadar!”

Aku tetap diam. Ibu hakim menggoyang-goyangkan tanganku makin kencang. “Aa, bangun! Bangun ih!” kali ini suara ibu hakim terdengar lebih lembut. Rasanya aku kenal suara itu. Aku menggeragap ketika ibu hakim tiba-tiba memencet hidungku.

Ya Allah, ternyata aku bermimpi. Ketika membuka mata, aku mendapati seorang perempuan berparas permai sedang duduk di tepi ranjang sambil terus memegangi hidungku.

“Mimpi apa sih? Sampai mengigau gitu. Makanya habis salat subuh jangan tidur lagi,” ujar perempuan berparas permai itu.

Sambil menghela napas dalam, aku mengangguk. “Astaghfirullah, barusan aku mimpi Jimi divonis mati.”

Mendengar itu, istriku tertawa sambil berlalu. “Segitu perhatiannya sama Jimi, sampai kebawa mimpi segala. Hayu kita sarapan ah.”

“Sebentar!” aku mencegah istri berlalu.

“Kenapa? Ada apa?”

“VCD rekaman pertandingan yang dulu disimpan di mana?”

“Kan Aa yang nyimpan di laci meja komputer. Kalau tidak ada yang mindahin pasti masih di situ.”

“Sebelum pergi ke rumah ibu, kita nonton lagi rekaman itu yuk!”

“Dulu ‘kan sudah ratusan kali ditonton. Masih ngarep?”

“Sekarang kita tonton pakai proyektor biar gede. Aku sudah pinjam in focus kantor. Ada di mobil.”

Lihat selengkapnya