Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #26

Blitzkrieg

KEAJAIBAN datang tanpa harus disertai alasan logis. Demikian halnya dengan foto itu. Ia tiba-tiba muncul secara ajaib tanpa disertai hitung-hitungan yang masuk rasio otak manusia. Setidaknya otak manusia yang satu ini, aku, yang beberapa hari ke belakang sempat mengingkari nubuat Tuhan yang berbunyi "maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan". Betapa pun aku berpikir keras memakai landasan silogisme53 untuk mengaitkan latar belakang kemunculan foto itu dengan kasus Jimi, tetap tidak ketemu. Adanya keterkaitan logis antarkeduanya, baru aku temukan setelah foto itu terbit di surat kabar.

Aku menyebutnya keajaiban, bukan sekadar kebetulan. Rasanya semua juga sepakat dengan anggapan ini. Kecuali jaksa, mungkin menilainya sebagai kesialan. Kesialan yang akan mencoreng reputasinya selaku anggota senior korps adhyaksa yang dakwaannya jarang meleset.

Bagaimana tidak layak disebut keajaiban, sebuah foto ujug-ujug muncul di harian Tribur Jaban hanya lima hari menjelang sidang vonis. Kemunculannya seratus persen secara tiba-tiba. Sama sekali jauh di luar perkiraan. Foto itu memuat Jimi dan Baron, serta satu orang lagi kawannya sesama anggota Viking Distrik Riung bernama Firman, sedang berdiri sambil mengangkat syal bertuliskan PERSIB NU AING di Tribun Selatan Stadion Maguwoharjo, Sleman. Kemunculan foto seolah hendak mengentuti logikaku, logika istriku, logika Vera, Dewo, Sally, Mumu, dan lain-lain, yang selama ini berusaha mengharapkan keajaiban bisa dikais lewat video rekaman pertandingan.

Memang hanya keajaiban yang bisa menggerakan intuisi seorang fotografer untuk memilih satu di antara ribuan foto. Coba, apa alasan logisnya sehingga dia akhirnya memilih foto dengan nama file DCIM-20071225? Jika alasannya karena bagus dari segi komposisi, maka aku --- yang juga telah belajar banyak tentang ilmu fotografi --- berani memastikan foto lain dengan nama file nyaris muradif semisal DCIM-20071229 atau DCIM-20071347 atau DCIM-20071348, memiliki komposisi tidak kalah bagus dan tetap cocok dijadikan ilustrasi artikel tersebut.

Lalu, apa pula alasan logisnya yang membuat seorang redaktur memutuskan untuk memuat artikel dengan ilustrasi foto itu lima hari menjelang sidang vonis? Bukankah tetap sama logisnya jika artikel dan foto itu dimuat pada hari Jumat, Sabtu, atau hari-hari lain setelah sidang vonis digelar? Sebab pertandingan sepakbolanya sendiri baru akan dilangsungkan dua pekan mendatang. Masih kontekstual kalaupun artikel itu dimuat pada beberapa hari ke depan.

Aku tegaskan sekali, itulah keajaiban. Muncul di saat yang tepat tanpa memerlukan alasan logis.

Bukan pekerjaan susah melacak foto tersebut. Di kanan bawah foto jelas tertera nama orang yang memotretnya: Gani Kurniawan. Seorang jurnalis foto senior yang memiliki berkas-berkas liputan Persib sangat lengkap. Intens dan konsisten mengabadikan perjalanan Persib lewat kameranya mulai akhir delapan puluhan. Sejak memakai kamera analog hingga sekarang menginjak era digital. Kebetulan sangat aku kenal. Pernah sama-sama satu liputan saat aku ditugaskan jadi reporter olahraga. Bahkan nomor teleponnya pun masih aku simpan.

Ketika di telepon aku menjelaskan hajat yang melatarbelakangi kenapa mengontaknya, Kang Gani --- demikian aku biasa memanggilnya --- dengan sukarela bersedia memberikan softcopy dan bahkan tanpa diminta beberapa foto dicetaknya dalam ukuran besar, 10R54. Kerelaannya dibuktikan juga dengan penolakan saat aku berniat mengganti ongkos cetak foto-foto itu.

Sebagai salah satu surat kabar besar, harian Tribur Jaban memiliki sistem pengarsipan yang rapi. Jadi ketika butuh sesuatu menyangkut berkas di masa lalu, mudah sekali melacaknya. Saat aku mengontaknya dengan maksud hendak minta file foto yang dimuat di korannya, Kang Gani bisa dengan cepat menyediakan.

Ternyata foto hasil jepretan Kang Gani yang memuat wajah Jimi lumayan banyak. Ada sembilan foto. Empat di antara dicetak berwarna dalam ukuran 10R, salah satunya seperti yang termuat di koran. Walaupun ada beberapa foto yang memiliki perbedaan komposisi sedikit saja, tidak apa-apa. Yang penting keberadaan sosok Jimi pada foto-foto tersebut bukan hasil rekayasa digital. Lagipula, menurut Dewo, jumlah itu lebih dari cukup dijadikan novum55. Tak cuma itu, apabila dirasa perlu, Kang Gani bersedia pula bersaksi di pengadilan.

Bisa mendapatkan foto-foto itu seketika menularkan perasaan yang sama seperti ketika berhasil memboyong Baron dari Garut tempo hari. Perasaan penuh keyakinan. Maka tak berlebihan bila dua hari lalu Dewo mengaku tak sabar ingin segera menginjak hari Kamis.

“Foto-foto itu sangat meyakinkan. Dilengkapi keterangan teknis dari Kang Gani dan kesediaannya menjadi saksi, membuat bukti yang satu ini tak memiliki keraguan sedikit pun. Bukan bermaksud mendahului Tuhan, tapi saya yakin-seyakinnya kali ini kita pasti berhasil,” ketik Dewo di BBM dua hari lalu. Dengan bersayap-sayap, Dewo kemudian mengamsalkan apa yang akan kami lakukan pada sidang selanjutnya adalah sebuah blitzkrieg56 terhadap kejemawaan jaksa.

Akan tetapi, sekali ini aku justru menolak jemawa. Pengalaman ke belakang lebih dari cukup memberi pengajaran bahwa jemawa telah menjadikan aku gegabah. Aku tidak ingin peristiwa yang dialami Baron terulang kembali. Kemenangan yang sudah ada di depan mata, rontok begitu saja akibat kegegabahan kami. Karena itulah berkas-berkas foto dari Kang Gani yang dikopikan ke CD dan flashdisk sengaja aku ambil langsung ke kantor koran Tribur Jaban.

Aku sendiri yang mengambilnya. Tanpa meminjam tangan orang lain. Bukan apa-apa, sekadar memenuhi aspek kehati-hatian. Aku sebisa mungkin menghindarkan Kang Gani dari mobilitas di luar kantornya untuk urusan yang berkaitan dengan kasus Jimi. Sekalinya ada keperluan, maka aku yang bergerak menyambanginya. Sebagai cadangan sekaligus jaga-jaga, Kang Gani mengirim juga berkas itu via surel, yang kemudian aku forward kepada Dewo dan Sally.

Beres urusan foto, selanjutnya Dewo yang ambil peran. Masalah teknis peradilan adalah murni urusannya. Termasuk memastikan barang bukti baru benar-benar layak diajukan ke muka persidangan dari segi legal-formal.

“Saya sudah periksa berulang-ulang, barang bukti baru telah memenuhi semua syarat untuk diajukan ke persidangan. Proses pengajuannya pun tidak ada masalah. Sudah mendapat acc dari panitera,” tutur Dewo, masih dari BBM yang dikirimnya dua hari lalu. Kami memang masih berkomunikasi lebih banyak via BBM, hanya sesekali bertelepon. Aku belum berani datang ke Kantor LBH Bandung. Rasa bersalah belum sepenuhnya menguap dari hatiku. Kalaupun hajat kami berdua mengharuskan untuk bertemu, seperti ketika aku menyerahkan kopian CD dan flashdisk berisi berkas foto dari Kang Gani, maka pertemuan dilangsungkan di tempat lain.

“Terus soal Kang Gani bagaimana? Apa dia bersedia hadir ke persidangan. Soalnya saya sudah ajukan juga nama Kang Gani sebagai saksi tambahan,” ujar Dewo lagi via BBM dua hari lalu.

“Beres. Lapan anam. Habis ini saya langsung konfirmasi ke Kang Gani. Kemarin sih dia menyatakan siap bila harus hadir ke persidangan,” aku membalas.

Sehabis membacai lagi BBM yang dikirim Dewo dua hari lalu, aku langsung menuju ke depan garasi. Melakukan rutinitas pagi yang sangat aku senangi, yaitu mengambil setumpuk koran yang masih terasa hangat karena baru saja diangkat oven percetakan. Selain isinya, yang aku sukai dari koran-koran hangat adalah aromanya. Perpaduan antara bau kertas dan wangi tinta yang sublim akibat kena panas mesin rol. Aroma khas itu tidak akan didapat dari koran-koran yang dibaca pada siang atau sore, terlebih malam hari. Sebab aroma itu pelahan-lahan akan pudar dengan sendirinya jika sudah terlalu lama bergesekan dengan udara bebas. Setelah itu bau koran adalah bau kertas pada umumnya. Bau tintanya tak lagi tersisa.

Yang pertama aku buka adalah Pikirat Rakyan, koranku. Langsung menuju rubrik Hukum & Kriminal. Kasus Pembunuhan Pegawai Bea Cukai Memasuki Babak Baru, sebuah judul tampil paling menonjol di halaman sebelas.

Lihat selengkapnya