Lanun

Jatnika Wibiksana
Chapter #27

Demi 50 Juta

KARENA ada keputusan mendadak harus ikut bos ke Jakarta, aku tak bisa menghadiri sidang pemeriksaan bukti dan saksi baru. Demikian pula untuk sidang vonis dan urusan soal Jimi selanjutnya, aku hanya bisa menyimaknya dari jauh. Seperti blitzkrieg tentara Jerman, hanya empat hari setelah diberi kabar pengangkatan jadi Kepala Biro Jakarta, aku sudah boyongan ke ibukota. Segalanya serba mendadak. Bahkan untuk sementara waktu istriku tidak dibawa serta.

Sebelum memutuskan bersedia, sebenarnya aku sempat ragu. Sampai harus berembuk beberapa kali dengan istri. Dia tahu benar selama ini aku tidak mau kerja di Jakarta. Beberapa tawaran aku tolak. Salah satunya yang paling aku ingat adalah pinangan dari majalah berita termasyhur di Indonesia. Iming-iming gaji lebih besar sama sekali tidak membuat aku tertarik.

Saking tak mau kerja di ibukota, aku malah sempat berpikir lebih baik mengundurkan diri daripada menerima keputusan diangkat jadi Kepala Biro Jakarta. Toh, di sini aku tetap bisa berkarir. Uwak masih membuka pintu lebar-lebar bila aku mau jadi dosen. Malah rasanya aku bisa meretas karir lebih luas. Sambil jadi dosen, sekalian mengambil beasiswa S2. Bisa di sini atau ke luar negeri sekalian.

Keinginan Uwak agar aku jadi diplomat sesuai gelar kesarjanaan yang aku sandang, rasanya tak kalah menarik dibanding kerja jadi wartawan. “Otak dan penampilan kamu cocok jadi diplomat,” kata-kata Uwak yang satu itu kembali terngiang.

Tapi, istriku justru tidak berhasil menghadirkan keyakinan buatku. “Kan Aa sendiri yang sering bilang do what you love and love what you do. Ya sudah, tinggal ikuti kata hati saja. Pilih yang sekiranya lebih sreg. Neng mah enggak masalah Aa kerja apa pun dan di mana pun, yang penting halal dan berkah. Ada waktu beberapa hari ini buat salat istikharah,” tuturan perempuan berparas permai itu membuat aku tetap berada di persimpangan.

Sempat kepikiran mengadu kepada Uwak atau menelepon Vera. Sekadar mencari second opinion. Tapi tidak aku lakukan. Aku lebih setuju dengan usulan istriku, salat istikharah.

Namun, itu pun akhirnya tidak aku lakukan. Telepon dari Mas Dali, Si Bung Redaktur Pelaksana yang sekarang menjabat Wakil Pemimpin Redaksi, seketika sanggup mengusir keraguan. Dia menelepon lama sekali. Inilah inti kata-katanya:

“Bung, saya sudah dua puluh satu tahun kerja di sini. Jadi tahu benar tradisi koran ini. Sekadar jadi bahan perbandingan, saya butuh waktu tiga belas tahun untuk jadi koordinator liputan. Sementara sampeyan hanya perlu enam tahun. Itu artinya sampeyan ini luar biasa. Sepengetahuan saya berdasar pengalaman yang sudah-sudah, jabatan ini adalah ujian penting buat calon pemimpin di koran kita. Konduitenya ditentukan oleh prestasi saat jadi Kepala Biro Jakarta. Sampeyan tahu sendiri toh, saya diangkat jadi Redpel selepas dari Jakarta. Ayolah, saya tahu sampeyan ragu-ragu. Tapi jujur saja koran ini butuh orang seperti sampeyan. Generasi lampau macam saya ini wis ndak klop meneh karo kareping jaman56,” sakit gigi rupanya membuat intonasi suara Mas Dali terdengar lambat. “Apa sampeyan ndak mau punya gaji seket yuto57 macem Pak Adnan. Saya pikir paling lama dua atau tiga tahun sampeyan sudah sampai ke sana.”

Lihat selengkapnya