DELAPAN bulan jadi orang Betawi, segalanya bergulir lancar. Adaptasi dengan lingkungan baru berjalan tanpa kendala. Dalam waktu lekas, aku sudah terbiasa dengan ritme kerja ala Jakarta yang sedikit beda dibanding di Bandung.
Yang terasa sedikit menyulitkan adalah ketika harus mengubah pola interaksi dengan istri. Atas beberapa pertimbangan, untuk sementawa waktu aku memang tidak memboyong istri ke Jakarta. Sebagai kompensasinya, aku yang kudu mengeluarkan effort lebih, pulang-pergi Bandung-Jakarta saban akhir pekan. Biasanya pada Sabtu malam pulang ke Bandung dan Senin pagi kembali ke ibukota.
Pola rutinitas hidup seperti itu ternyata sama sekali tidak membikin repot, mengingat sekarang banyak travel ulang-alik. Bahkan aku merasa aktivitas Jakarta-Bandung menggunakan travel ulang-alik lebih efisien ketimbang memakai kendaraan sendiri. Selain di jalan bisa sambil mengaso, letak pul travel langgananku hanya perlu jalan kaki lima menit dari apartemen. Demikian pula jika sampai atau berangkat dari Bandung. Ketika pulang, aku tinggal turun selepas gerbang tol Pasteur. Seterusnya naik ojek ke rumah di Sarijadi dengan ongkos lima belas ribu rupiah. Pola yang sama persis ketika berangkat ke Jakarta. Dari rumah naik ojek atau diantar istri sampai pul di Pasteur, kemudian setelah sampai pul di Jakarta tinggal jalan kaki ke apartemen
Karena pertimbangan efisiensi pula aku memilih tinggal di apartemen ketimbang menempati ‘rumah dinas’ yang disediakan khusus oleh parusahaan untuk Kepala Biro Jakarta. Selain hanya untuk ditinggali sendiri, apartemen ini cuma lima belas menit jaraknya dari Kantor Biro Jakarta di Jalan Palmerah. Sedangkan dari ‘rumah dinas’ butuh sekitar tiga perempat jam perjalanan untuk menjangkau kantor. Di samping itu, ‘rumah dinas’ terlalu besar untuk ditinggali sendiri.
Dua-tiga bulan pertama terasa agak berat, karena kami hanya bisa bertemu seminggu sekali. Betul, kita masih bebas bertelepon. Tapi cara itu hanya untuk mengobati satu sisi kerinduan saja. Sementara sisi kerinduan yang lain sama sekali tidak bisa ditanggulangi hanya dengan bertelepon. Kerinduan itu adalah kerinduan khas suami-istri yang baru menjalankan kapal rumah tangga kurang dari lima tahun. Apalagi, sebelum hijrah ke Jakarta, aku dan istri tengah getol-getolnya melakoni program hamil, setelah perut istriku tak kunjung isi menginjak tahun ketiga pernikahan kami.
Seiring berjalannya waktu, semuanya berjalan normal. Kehidupan di ibukota ternyata tidak semenyeramkan yang aku bayangkan selama ini. Akan tetapi, agaknya benar kata pemeo, bahwa setan-setan yang beroperasi di Jakarta adalah kelas ifrit yang kemampuannya dalam menggoda manusia berada di level eksper. Setan-ifrit itu menyelusup ke berbagai sendi kehidupan. Di balik ingar-bingar kota, di sela-sela kekumuhan, di bawah meja-meja kantor, juga di antara relasi antarmanusia itu sendiri. Jangankan insan yang imannya kedodoran, bahkan manusia kamil-mukamil pun bisa dibuat terkelempai menanggung dosa.
Menginjak bulan ke delapan bekerja di ibukota, aku mengalami sendiri kebenaran pemeo itu. Hanya sekali tekuk, ifrit Jakarta telah berhasil meruntuhkan keistikamahanku dalam menghindari kabair. Kenapa aku berani menyalahkan ifrit Jakarta sebagai biang keladi semua ini? Sebab, selama hampir tiga puluh tahun hidup di Bandung, imanku aman-aman saja. Setan-setan di Bandung sama sekali tidak mampu menjeremuskan aku ke tahang kemaksiatan akbar. Misalnya saja, seumur-umur ususku tidak pernah tertetesi minuman keras secuil pun. Aku sangat antialkohol, apalagi narkoba. Berjudi, bersenang-senang di klab malam, atau sekadar hiburan ke rumah karaoke pun sama sekali tak pernah. Bahkan merokok pun tidak.
Satu-satunya godaan yang kerap hampir menjerumuskanku ke tahang kabair adalah soal perempuan. Bila alkohol, narkoba, dan kehidupan malam, dapat dengan enteng aku hindari. Tidak demikian dengan jerat keindahan makhluk bernama perempuan.
Aku tak pernah sedikit pun terbersit untuk mencoba alkohol atau narkoba, tapi niat untuk bermain perempuan berulang merisak kelelakianku. Jika mau, sebenarnya mudah saja bagiku untuk melakukannya. Aku punya uang. Gajiku dan penghasilan dari rumah kos yang sekarang jumlahnya telah mencapai dua puluh empat kamar, lebih dari cukup untuk dijadikan modal gaya hidup hedon. Syukurnya, aku selalu mampu menepis godaan-godaan itu. Itulah sebabnya aku bisa menikah dalam keadaan perjaka tulen.
Cerita keberhasilan terbesarku dalam berkelit menghindari godaan perempuan adalah ketika berpacaran dengan Vera. Seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya, beberapa kali aku hampir melakukan perbuatan yang tidak semestinya dilakukan pasangan yang belum menikah dengan Vera. Ajaibnya, berkali pula aku dapat menghindarinya.
Namun, demikianlah hidup. Tak pernah lepas dari godaan, ujian, dan masalah. Di balik iming-iming masa depan karir yang cemerlang, kepindahanku ke Jakarta justru malah menjadi jalan terjadinya sebuah peristiwa buruk yang menimpaku, tepatnya menimpa rumah tanggaku dengan Syifa.
Pada jam-jam seperti ini biasanya aku sedang berada di kantor. Sibuk menyelia materi-materi yang hendak dikirim ke Bandung untuk koran edisi esok. Tapi hari ini aku mendapat kelonggaran tidak masuk, karena siang tadi didaulat jadi pembicara pada sebuah diskusi yang diselenggarakan Fakultas Komunikasi Universitas Trisakti.
Aku sungguh merasa terhormat mendapat kesempatan jadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan di Universitas Trisaksi. Sekaligus kaget sebab buku Jurnalisme Sunyi vs Jurnalisme Hiruk-pikuk ternyata juga dijadikan buku teks alternatif oleh Fakultas Komunikasi beberapa kampus di Jakarta.
Yang tidak kalah mengagetkan, Vera ternyata hadir pula dalam diskusi tersebut. Lebih tepatnya, menyengajakan hadir. Hal itu baru aku ketahui saat diskusi usai. Vera mendatangiku.
Sungguh, aku kaget ketika menyadari perempuan yang mencolek pingganggu adalah dia. Tapi kekagetan segera saja menguap, berganti dengan rasa girang. Senang saat Vera mencium tanganku, senang saat dia memeluk sejenak, dan girang kembali melihatnya memakai blazer coklat berbahan korduroi yang aku belikan dulu. Rupanya dia sudah hapal betul, blazer itu menjadikannya lebih mudah untuk menghipnosis diriku.
“Lah, kok bisa?” aku membuka obrolan setelah berhasil menormalisasi kekagetan dan rasa kegirangan.