USAI dibimbing ifrit-ifrit Jakarta untuk menjiplak kelakuan ikan Napoleon di film dokumenter, aku dan Vera langsung terkelempai berpuluh menit di atas sofabed. Tidak terlalu banyak bicara sebagaimana biasanya jika kami bersama. Lebih banyak beradu paling banyak melamun ketimbang beradu wicara.
Aneh --- menurutku ini benar-benar aneh, tidak ada rasa sesal yang berlebihan atas peristiwa yang baru saja terjadi. Sekali lagi, ifrit Jakarta menunjukan kehebatannya. Bahkan setelah berhasil menjeremuskan aku ke tahang kabair, dia masih bisa mengipas-ngipas hatiku agar tidak merasa bersalah. “Kau masih mencintainya dan dia juga masih sangat mencintaimu. Salahnya di mana?” bisik ifrit. Bodohnya lagi, masih pula aku sempatkan menjawabnya. “Memang aku tak salah. Vera pun demikian. Yang salah itu kau, Ifrit!”
Vera tidak jadi bermalam di apartemenku. Sekitar satu jam setelah kami menjiplak kelakuan ikan Napoleon di film dokumenter, dia pamitan karena ditelepon saudaranya yang akan menikah besok. Sebelum pergi, dia sempat menangis sesunggukan sambil minta maaf. “Tak perlu minta maaf. Kau tidak bersalah, aku pun. Yang salah adalah ifrit,” demikian aku membalas permintaan maaf Vera, tapi hanya diucapkan dalam hati.
Sepeninggal Vera, aku buru-buru mengirim kabar ke Bandung, bahwa aku jadinya pulang besok subuh. Seperti biasa, istriku percaya saja saat aku berkilah tidak jadi pulang karena mobil travel yang hendak membawaku pulang mengalami masalah pada persenelengnya. Dari mana aku punya alasan soal perseneleng? Tentu saja dibisiki ifrit Jakarta. Sudah aku bilang, ifrit Jakarta memang keparat!
Jam di meja menunjukkan waktu hampir pukul dua. Walaupun sejak tadi terkelempai di atas sofabed, aku tidak bisa memejamkan mata. Tiba-tiba aku ingat kalung warisan ibu. Terngiang kembali wewanti ibu tentang kalung itu. Tentang mukjijatnya yang telah berkali-kali menyelamatkan perkawinan trah Sumadiredja sejak zaman cilawagi hingga ayahku.
“Sepanjang kalung itu masih ada dalam penguasaan istrimu, maka perkawinanmu akan selamat. Tidak jadi soal sehebat apa pun badai yang menghantam,” masih jelas kata-kata ibu yang diucapkannya pada suatu sore di hari Jumat. Kata-kata yang dulu aku anggap sebagai khurafat belaka.
Mengingat hal itu, aku merasa terhibur. Tadinya aku sempat dihampiri ketakutan, peristiwa yang baru saja terjadi di apartemen bakal membawa dampak buruk terhadap pernikahanku. Tapi, untuk sekali ini aku merasa harus percaya khurafat. Ya, kalung itu akan menyelamatkan rumah tanggaku dengan Syifa, sebagaimana menyelematkan perkawinan ibuku dengan ayahku, kakekku dengan nenekku, dan seterusnya.
Saat serbuk kantuk pelahan mulai turun ke mataku tiba-tiba Blackberry berdering. Sekali lagi aku melihat jam di atas meja. Hampir pukul tiga. Aku meyakini telepon itu dari istriku. Pasti hendak membangunkan aku agar tidak kesiangan salat subuh dan terlambat ke pul travel. Dia sudah sangat rindu rupanya. Aku segera menyambarnya. Sebelum menjawab panggilan, aku melihat sekilas nama penelepon.
Ternyata bukan dari istriku, melainkan dari Pak Supri, tetangga sekaligus Ketua RT tempat tinggalku di Bandung.
“Assalamu’alaikum, Pak!” aku mendahului uluk salam.
“Wa’alikumsalam,” balas pria di seberang sana. Aku tahu itu suara Pak Supri. “Ini Pak Supri, Pak.”
“Iya, Pak. Ada apa, Pak?”
“Pak Omar lagi di mana?”
“Saya masih di Jakarta, Pak. Kenapa? Ada apa?”
“Harap segera pulang, Pak! Rumah Bapak kemalingan. Istri Bapak di rumah sakit,” Pak Supri bicara dengan nada panik.
“Istri saya kenapa, Pak?”
“Makanya segera pulang, Pak!”
“Beberapa jam lalu saya masih teleponan sama istri saya.”
“Iya Pak, kejadiannya baru saja. Segera pulang ya, Pak!