Momoko duduk di sudut kafe yang sudah menjadi tempat favoritnya bekerja setiap hari. Laptop berwarna perak itu terbuka di hadapannya, memancarkan sinar yang lembut, memantulkan bayangan wajahnya yang serius. Jari-jarinya menari di atas keyboard, seolah dunia di sekitarnya menghilang ketika ia larut dalam pekerjaannya sebagai penulis lepas.
Kafe kecil itu selalu ramai dengan suara mesin kopi yang berdengung dan obrolan lembut para pengunjung. Di sinilah Momoko menemukan kenyamanan bekerja—di tempat yang ramai tapi sunyi di dalam pikirannya. Setiap hari ia duduk di meja yang sama, menyelesaikan tugas demi tugas, ditemani oleh secangkir kopi hitam yang mulai dingin.
Namun, ada satu hal yang sering menarik perhatiannya, meskipun ia berusaha tak memedulikannya—Kiciwa. Pria itu juga sering datang ke kafe yang sama, selalu membawa laptopnya dan duduk di meja tak jauh dari Momoko. Kiciwa terlihat serius bekerja, tapi setiap kali pandangan mereka bertemu, ia selalu memberikan senyum kecil yang membuat jantung Momoko berdebar sedikit lebih cepat.
Hari ini, sesuatu yang berbeda terjadi. Momoko sedang asyik menulis ketika bayangan seseorang berhenti di depan mejanya. Ia mengangkat kepalanya, dan di sana, berdiri Kiciwa dengan senyum ramah.
"Boleh duduk di sini?" tanyanya lembut sambil menunjukkan kursi di seberang Momoko.
Momoko sedikit terkejut, namun berusaha tetap tenang. "Tentu, silakan," jawabnya, sambil tersenyum kecil.