Setelah pertemuan pertama itu, Momoko tidak bisa menghilangkan bayangan Kiciwa dari pikirannya. Ada sesuatu dalam percakapan singkat mereka yang meninggalkan kesan mendalam. Namun, Momoko merasa segalanya semakin rumit setelah kehadiran Memekasa, bos Kiciwa yang jelas memiliki hubungan dekat dengannya, meski Momoko tidak yakin apakah itu hanya profesional atau lebih.
Hari-hari berlalu, tapi Kiciwa semakin sering muncul di kafe. Setiap kali, mereka saling bertukar senyum dan kadang-kadang duduk bersama. Percakapan mereka mulai terasa lebih santai dan natural. Kiciwa sering bercerita tentang pekerjaannya sebagai programmer yang penuh dengan tantangan, sementara Momoko berbagi cerita tentang artikel yang sedang ia tulis. Keduanya menemukan bahwa mereka punya banyak kesamaan, terutama dalam hal ketertarikan pada teknologi dan kreativitas.
"Jadi, kamu pernah mencoba menulis program?" tanya Kiciwa suatu sore saat mereka duduk berhadapan di kafe yang sama.
Momoko tersenyum sambil menyeruput kopi. "Tidak, tapi kupikir menulis artikel dan menulis kode itu sama-sama butuh fokus dan ketelitian."
Kiciwa tertawa kecil. "Benar juga. Bedanya, kalau aku salah menulis kode, programnya crash. Kalau kamu salah menulis artikel... ya, mungkin editornya akan protes."
Momoko ikut tertawa. Percakapan mereka semakin mengalir, dan Momoko merasa nyaman berbicara dengan Kiciwa. Setiap kali bersama, ia mulai melupakan rasa canggung yang dulu sering muncul.