Malam ini, karena sudah sangat jengah sekali dengan rengekan Agra, Paman Wicak yang sudah duduk di depan meja makan tampak meledak amarahnya.
“Pergi sana!” usir Paman Wicak, sambil tangannya menjulur, menunjuk ke arah pintu. “Cari perempuan yang sudah jelas-jelas membuangmu itu. Cari!”
Agra, anak laki-laki berusia sebelas tahun itu tampak menangis, berdiri di dekat meja makan.
Ia berdiri dengan mengepalkan tangan, menatap kesal ke arah Paman Wicak, satu-satunya keluarga yang dimilikinya.
“Kenapa hanya berdiri saja? Katanya tadi mau pergi mencari perempuan itu. Pergi sana, cari dia sampai kau puas!” cecar Paman Wicak lagi.
Mendengar Paman Wicak bicara begitu, Agra kecil pun menghapus air matanya sendiri. Seolah sudah membulatkan tekat, ia dengan lantang berkata, “Baik, Paman. Aku juga tidak mau tinggal di sini. Aku pergi, jangan mencariku!”
Paman Wicak yang masih terlihat emosi pun menggerakkan tangannya seolah mempersilahkan. “Lakukan sesukamu. Pergi sana!”
Anak laki-laki dengan garis wajah tegas yang ia suruh pergi juga sudah berlari, meninggalkan rumahnya begitu saja.
BRAK!
Suara meja digebrak terdengar, seketika Paman Wicak yang emosinya semakin membuncah menjatuhkan tangan kasar ke permukaannya. Laki-laki berusia 25 tahun itu tampak menyugar rambutnya sendiri, begitu frustasi.
Ia menoleh ke arah pintu, ternyata Agra sungguhan pergi. Raut penyesalan tergambar jelas di wajahnya.
“Sial!” Paman Wicak beranjak dari duduknya, berjalan ke arah pintu sambil memanggil-manggil nama Agra. “Gra?! Agra?!”
Nahas, Agra yang biasanya kalau marah hanya duduk jongkok di teras rumah tidak terlihat di mana-mana.
Ekspresi Paman Wicak mulai panik. Ia berlari keluar mencari Agra sambil memanggil-manggil namanya, “Gra?! Agra?!”
Sampai di depan gang, laki-laki itu menyugar rambut kepalanya lagi, melihat ke kanan dan kiri jalan, tampak sekali kebingungan. “Sial, pergi ke mana dia?”
>
Sementara Paman Wicak bingung mencarinya, Agra sendiri sudah berlari di jalanan dekat pasar.
Malam ini cukup sepi karena hujan juga baru saja reda. Tetesan air gerimis sesekali masih membasahi tubuh anak laki-laki itu.
‘Ibuku tidak akan membuangku. Paman bohong!’ gumam Agra dalam hati, sambil terus berlari.
Lima hari lalu, ia ditinggalkan oleh ibunya sendiri di depan rumah Paman Wicak. Tapi, karena tidak percaya ibunya meninggalkannya, Agra beberapa kali minta diantar ke tempat ibunya.
Namun, Paman Wicak menolak permintaannya mentah-mentah. Agra marah, memberontak setiap hari, sampai puncaknya malam ini.
Anak laki-laki itu terus saja berlari mencari kendaraan umum. Sayangnya, ia justru tanpa sengaja bertabrakan dengan satu orang preman yang tengah mabuk.
“Aarrgghh!” keluh Agra yang tubuhnya sudah terjatuh begitu saja ke jalan.
Dengan pandangan mata yang agak tidak fokus, preman itu akhirnya melihat Agra di depannya. Ia menarik kaos Agra, mencengkramnya erat sambil berkata kasar, “Setan kecil berani sekali menabrakku. Cari mati, hah?”
“Lepas! Lepas!” ronta Agra sambil tangannya berusaha melepas cengkraman di kaosnya.
Preman itu justru lebih erat lagi mencengkram kaos anak laki-laki itu. Kemudian, satu tangannya tampak mulai merogoh saku. “Beri aku uang, baru kulepaskan!”
“Aku tidak punya uang. Lepaskan!”
Semakin Agra meronta, semakin preman itu emosi. “DIAM!” bentak preman itu.
“Lepaskan, lepas!”
Lantas, karena habis kesabarannya, tangan preman yang tadinya bergerak merogoh saku pun sudah akan melayang, hendak memukul. Agra sampai sudah menutup matanya, takut terkena pukulan.
Namun, teriakan laki-laki terdengar begitu lantang, menghentikan gerakan tangan sang preman. “HEI!”
Mendengar teriakan begitu, preman itu pun menoleh ke arah sumber suara. Agra sendiri sudah membuka matanya juga.
Ternyata, di ujung jalan sebelah kanan, ada seorang laki-laki dan anak kecil perempuan berlari ke arah mereka.
Tidak mau mencari masalah, preman itu lantas segera melepaskan Agra dan mendorongnya hingga jatuh.
BRUK!
Agra terjatuh, preman pun lari tunggang langgang begitu saja meninggalkannya. “Au...!” keluh Agra sambil melihat sikunya yang berdarah terkena batu kerikil.