LARA 1998

WiRahayuSsi
Chapter #2

Sebuah Temuan

“Entahlah,” kata Agra bingung juga, kemudian bergumam dalam hati, ‘Tapi firasatku tidak enak sekali.’

“Lantas kau mau ke mana lagi sekarang?” tanya Mila.

“Mau periksa ke tempat tongkrongan biasanya. Kau masuklah, jangan keluar malam,” jawab Agra, kakinya sudah akan beranjak.

“Eh, kutemani,” cegah Mila sambil tangannya memegang lengan Agra.

“Tidak, masuklah. Ini sudah malam.”

“Makanya sudah malam. Kenapa juga kau jalan sendirian?!”

“Kau -” ucapan Agra itu tercekat seketika mendengar suara motor mendekat, diiringi oleh panggilan seseorang kepadanya, “GRA? AGRA?!”

Ternyata, seorang teman Paman Wicak yang memanggilnya, namanya Momon. Melihat motor Paman Wicak justru dibawa temannya begitu, Agra menjadi curiga.

Begitu motor butut itu berhenti di dekatnya, Agra bertanya, “Paman Wicak ke mana, Paman?”

“Lho, aku justru mau tanya, Pamanmu ke mana? Kok motor ditinggal-tinggal di warung begini?” Paman Momon turun dari motor dan justru bertanya balik.

“Di warung dekat terminal itu, Paman?”

“Iya, di warungku itu. Tadi sore, pamitnya mau ke toko buku seberang jalan. Tapi, sampai malam begini, warungku bahkan sampai tutup motornya tidak diambil-ambil. Ya kuantarkan saja motornya.”

Mendengar penjelasan Paman Momon itu, Mila menatap Agra. Laki-laki yang ditatapnya justru tampak berubah ekspresinya, seolah sedang memikirkan banyak hal.

“Jadi dia belum pulang ke rumah juga?” tanya Paman Momon lagi.

“Belum, Paman. Ini aku mau mencari ke warung Paman tadi,” jawab Agra dengan nada suara yang terdengar khawatir.

“Aduh. Ada-ada saja dia. Ke mana lagi tidak bilang-bilang begini. Ya sudah, motornya kuberikan kepadamu ya, Gra? Tunggu saja di rumah, mungkin nanti malam atau besok pagi baru pulang dia. Jangan-jangan main perempuan.”

Agra pun mengangguk. Ia tidak banyak berkomentar, karena tidak tahu juga Paman Wicak ke mana.

“Ya sudah, aku pamit pergi dulu. Besok, kalau Pamanmu belum juga kembali, kau ke warungku. Nanti, coba kutanyakan kepada orang-orang terminal, siapa tahu ada yang lihat,” usul Paman Momon.

“Baiklah. Oh iya, ayo kuantar pulang, Paman!” tawar Agra.

“Tidak perlu, sudah malam. Lagipula rumahku tidak jauh dari sini. Kau pulanglah, jangan berkeliaran malam-malam.”

“Hmm. Baiklah kalau begitu, Paman. Terima kasih.”

“Ehm, aku pergi,” ucap Paman Momon lagi sambil menepuk pundak Agra dan beranjak pergi ke arah datang tadi.

Seketika Paman Momon sudah agak jauh, Mila pun berkata kepada Agra, “Benar katanya, kau pulang saja sekarang. Nanti atau besok pagi mungkin Paman Wicak sudah kembali ke rumah.”

Arga terdiam menatap motor di depannya. “Gra?” panggil Mila sambil tangannya melambai-lambai ke depan wajah Agra.

“Masuklah ke dalam rumah!” tandas Agra sambil mulai menaiki motor Paman Wicak.

Mila merasa aneh, karena ekspresi Agra tampak lain saat itu. “Hei, kau pulang, ‘kan?” tanya Mila untuk memastikan laki-laki itu tidak nekat mencari Pamannya lagi.

Sayangnya, Agra tidak menjawab dan justru sudah mulai menyalakan mesin motornya.

“Hei, aku bertanya kepadamu!” Mila jadi kesal sendiri karena didiamkan bicara sendiri tanpa direspon begitu. “Kau pulang, ‘kan?”

“Bukan urusanmu!” tandas Agra sambil mulai mengemudikan motornya, beranjak pergi meninggalkan Mila begitu saja.

“HEI!” Mila sampai berteriak.

Saat itulah, suara Ayah Mila terdengar memanggilnya, “Mila?!”

“Ya?!” Mila bergegas masuk ke dalam toko Ayahnya, sambil sesekali menoleh, mengintip ke arah Agra pergi tadi.

Sayangnya, motor Agra tidak terlihat lagi. Di dalam toko, Ayahnya bertanya, “Kenapa keluar?”

“Oh, itu, tadi Agra lewat, aku cuma menyapa saja,” jawab Mila sambil menutup pintu toko.

“Agra? Kenapa malam-malam begini masih keluar dia?”

“Paman Wicak belum pulang juga. Agra mencari-carinya sejak tadi, tapi justru hanya menemukan motornya.”

“Kok begitu?”

“Entahlah. Makanya Agra cemas. Mila mau temani, dia justru menolak. Semoga saja dia sungguhan pulang ke rumah.”

“Sementara jangan keluar malam dulu. Kau tahu sendiri situasinya sedang memanas begini.”

“Iya, Ayah.”

“Ya sudah, ayo masuk. Agra pasti baik-baik saja, jangan terlalu dipikirkan,” kata Ayah Mila sambil menggerakkan tangannya, menyuruh putrinya masuk ke dalam rumah.

Bukannya apa-apa, saat itu situasi memang sedang tidak kondusif. Lebih-lebih bagi Mila dan Ayahnya yang merupakan keturunan etnis Tionghoa.

Krisis ekonomi yang sedang terjadi justru semakin memperburuk diskriminasi terhadap mereka. Mulai dari aturan pemerintah hingga cara pandang kalangan masyarakat tertentu terhadap mereka, semuanya seperti ujung benda tajam yang mengancam.

Lihat selengkapnya