“Coba lihat dan bandingkan,” kata Agra sambil duduk, menunjukkan dua kertas berbeda di atas meja.
Mata Mila mulai memperhatikan, lembar kertas pertama, yaitu kertas berisi surat perpisahan dari Paman Wicak.
Lalu, pandangan matanya mulai melihat ke arah kertas yang satu lagi, yang ternyata adalah pesan untuk Agra ketika Paman Wicak lembur kerja.
< Isi pesannya >
Aku lembur, pulang jam satu malam. Jangan ditunggu, habiskan makan malamnya.
TTD
Wic4k
---
Mila yang masih belum paham pun menatap Agra, dengan tatapan mata seolah bertanya-tanya. “Tulisannya sama, Gra. Cuma penulisan Wic4k saja yang beda.”
“Hmm.” Agra menghela napas. Lantas, ia mulai menjelaskan temuannya kepada Mila.
“Lihat, ini. Penulisan Wic4k ini bukan kebetulan, ini memang kebiasaan Paman. Tanda tangannya memang seperti ini dari dulu. Coba lihat ini dan ini,” ucap Agra sambil menunjukkan kertas-kertas berisi pesan Paman Wicak yang lain.
Setelah melihat satu per satu kertas itu, Mila berkata, “Oh, iya betul. Sepertinya memang kebiasaannya begitu. Lantas?”
“Nah, coba perhatikan huruf besar yang tidak di awal kalimat,” pinta Agra sambil menunjuk ke arah surat perpisahan yang terselip di buku pertanian.
“H-E-L dan P.” Mila mengeja satu per satu hingga paham gabungan huruf besar yang tidak di awal kalimat. “HELP?”
“Betul. Paman Wicak sengaja menyelipkan pesan tersembunyi yang berarti dia sedang butuh pertolongan sekarang. Entah apapun yang terjadi kepadanya.”
“Astaga, tapi tunggu-tunggu. Apa itu berarti, Paman Momon terlibat dalam hilangnya Paman Wicak?”
“Bisa jadi. Lihat, sampai diberi uang begini. Benar-benar licik,” tandas Agra sambil memperlihatkan uang di dalam amplop yang ia ambil dari jok motor tadi.
“Ah, pantas saja kau tadi berakting marah, seolah benar percaya kalau Paman Wicak meninggalkanmu begitu?”
“Ehm.”
“Lantas, bagaimana? Lapor polisi?”
“Kalau orang dewasa pergi dengan meninggalkan surat begini, itu kebanyakan akan dianggap sebagai kepergian yang disengaja dan dilakukan secara sadar. Kecil kemungkinan akan ditindaklanjuti sebagai kasus kejahatan atau penculikan begitu.”
“Hmm, iya sih. Lebih-lebih sekarang kondisinya juga seperti ini. Katanya, aparat keamanan juga sedang disiapkan untuk melakukan pengamanan jelang aksi damai Mahasiswa. Lalu bagaimana?”
“Pertama, kuantar kau pulang dulu. Setelah itu, baru aku akan mencari cara,” jawab Agra sambil beranjak berdiri.
Namun, Mila tidak beranjak, tetap duduk di sofa. “Kenapa tidak berdiri? Ayo, aku buru-buru,” kata Agra.
“Aku mau ikut denganmu.”
“Aku sedang tidak main-main.”
“Ya makanya. Aku tahu seberapa serius dan berbahaya ini. Aku tidak mau kau pergi sendiri.”
“Astaga, justru karena berbahaya kau jangan ikut. Sudah ayo cepat berdiri, kuantar pulang!”
“Tidak. Pokoknya tidak, ya tidak.”
“Dasar keras kepala. Ya sudah, kau di situ saja. Tunggu rumahku.”
“Tidak mau. Aku akan tetap mengikutimu ke warung itu lagi. Biar ada yang memergokiku, biar dalam bahaya sekalian.”
Agra menatap gadis itu dengan ekspresi kesal. “Aku hanya ingin membantumu, menemanimu. Aku janji tidak akan jadi beban atau mengganggu. Asal aku ikut denganmu, aku akan menurut perkataanmu.”