“Isi kardusnya cuma minyak goreng dan keperluan warung,” jawab Redi.
“Serius?” Mila tampak mempertanyakan lagi, soalnya ia sudah curiga.
“Iya. Tapi, aneh sih. Kenapa dia punya stok minyak goreng sebanyak itu? Sedangkan, di area sini ‘kan bisa dibilang hampir langka itu minyak goreng.” Redi mengungkapkan kecurigaannya.
“Coba kalian pikir. Bahkan, ada yang belinya sampai dijatah, ‘kan?” imbuh Redi membuat Agra dan Mila tampak berpikir.
“Apa mungkin Paman Momon punya kenalan orang pemasok minyak goreng ya?” Mila mulai menebak-nebak.
“Kenalan pun pasti juga butuh dibayar bukan? Banyak uang sepertinya hanya dari berjualan warung. Eh tapi, tadi dia ke warung lagi atau ke mana?” tanya Redi.
“Dia kembali ke warungnya dan tidak keluar lagi,” jawab Agra.
“Hmm. Kalian yakin mencurigai orang itu terlibat dengan menghilangnya Paman Wicak?” Redi mulai meragukan kecurigaan awal dari analisis Agra.
“Masalahnya, semua informasi terakhir tentang Paman Wicak dari dia,” kata Mila membuat Redi berpikir juga.
Akhirnya, hari itu mereka tidak dapat petunjuk apa-apa. Bahkan, sampai malam, mereka mengikuti Paman Momon pulang ke rumahnya.
Malam harinya, mereka masih mengintai di dekat rumah Paman Momon, bersembunyi di samping dinding bangunan seberang jalan, karena mungkin Paman Momon akan keluar.
“Paman Wicak tidak mungkin disekap di rumahnya, ‘kan?” Mila curiga. Mengingat, Paman Momon tidak keluar dari rumahnya sejak pulang tadi.
“Sepertinya sih tidak. Coba pikir, lingkungan seramai ini, bagaimana cara membawa orang diam-diam ke dalam rumah tanpa ketahuan?” Redi melempar pertanyaan, membuat Agra dan Mila menyisir sekitar menggunakan pandangan mata.
Lingkungan tinggal Paman Momon itu memang bisa dikatakan ramai. Lebih-lebih ada tukang tambal ban yang mangkal di bagian depannya.
“Hmm.” Mila menghela napas.
“Eh-eh, sudah jam delapan ini. Kau tidak dicari Ayahmu?” tanya Redi kepada Mila setelah menyadari waktu bergulir begitu cepat hari itu.
Agra pun melihat jam tangannya sendiri. Benar, sudah malam.
“Ayo pulang,” ajak Agra tanpa pikir panjang.
“Ha? Serius pulang?” Mila bertanya karena mereka belum dapat petunjuk apa-apa.
“Iya, kau keluar dari pagi. Ayahmu pasti khawatir. Ayo pulang!”
“Hmm. Kau tidak akan kembali ke sini setelah mengantarku, ‘kan?”
“Tidak. Aku juga mau pulang, istirahat.”
Mila menatap curiga, tidak percaya sekali dengan perkataan Agra.
Redi yang paham situasi mereka berdua pun berkata, “Tenang. Aku akan ikut dia pulang ke rumah. Kau tidak perlu khawatir.”
“Siapa yang mengizinkanmu tinggal di rumahku?” protes Agra.
“Ya tidak perlu izinlah. Kau itu harus dijaga biar tidak nekad bergerak sendirian,” jawab Redi sambil pandangan matanya mengarah ke Mila, seolah meminta dukungan.