‘Ah, aku memikirkan apa sih?’ gumam Agra dalam hati, mulai menyadari ia tidak seharusnya memikirkan itu dalam kondisi seperti ini.
“Cie… Diam-diam berpikir nih?” celetuk Redi.
“Aku sedang tidak mood bercanda sekarang ini.”
“Hmm.” Redi menghela napas. “Ya maaf. Aku hanya berusaha menghibur saja.”
Agra mengabaikan perkataan Redi tadi dan justru bertanya, “Menurutmu ada sesuatu di rumahnya?”
>
<
Keesokan harinya.
Agra dan Redi sudah ada di depan rumah Paman Momon.
Tadi, mereka sudah memastikan bahwa Paman Momon sedang sibuk mempersiapkan warungnya.
Agra dan Redi tampak sudah memperhatikan sekitar.
“Kau tunggu di sini,” kata Agra sambil sudah mau berjalan meninggalkan Redi.
"Tunggu-tunggu. Biar aku alihkan dulu perhatian tukang tambal bannya,” cegah Redi. “Oh iya, kalau aku berteriak, berarti kau harus keluar dari dalam rumah itu.”
Agra pun mempersilahkan. Sahabat karibnya itu berjalan dengan santai mendekati tukang tambal ban di depan rumah Paman Momon.
“Permisi, Pak?” tanya Redi sok akrab. “Mau tanya, kalau rumahnya Pak Sabar di mana ya?”
“Pak Sabar siapa? Setahuku tidak ada namanya Pak Sabar dekat sini,” jawab tukang tambal ban itu.
“Lho, ini bukannya RT. 02 RW. 01 ya, Pak?”
“Bukan. Salah alamat kamu.”
“Waduh.” Redi pura-pura sudah kebingungan. Sambil melihat ke kanan kiri, ia mengeluarkan kotak rokok di dalam saku celananya.
Ekspresinya tampak berpikir. Lantas, seolah teringat dengan tukang tambal ban di depannya, ia pun menawarinya rokok, “Eh, rokok, Pak?”
Tukang tambal ban pun menyambut hangat rokok yang diberikan oleh Redi itu.
Redi bahkan sampai menyulutkan api untuk membakar rokoknya.
Mendapat perlakuan seperti itu, tukang tambal ban pun menyodorkan kursi kecil ke arah Redi. “Duduk.”
“Oh, terima kasih, Pak.” Redi sengaja sekali menempatkan kursi itu di sebelah kanan tukang tambal ban.
Mengingat itu posisi strategis untuk menghalangi pandangan tukang tambal ban ke arah jalan menuju rumah Paman Momon.
Melihat Redi sudah asik bicara dengan tukang tambal ban itu, Agra pun mulai beraksi.
Laki-laki itu sudah mengenakan topi hitam, berjalan santai menuju ke jalan menuju rumah Paman Momon.
Redi yang melihat Agra sudah mendekat dari kaca spion motor tukang tambal ban pun berusaha mengalihkan pandangan tukang tambal ban dengan pura-pura menunjuk ke arah yang berlawanan.
“Kalau sebelah sana itu RT berapa, Pak?” tanya Redi sambil menunjuk.
Tukang tambal ban pun menoleh ke arah yang Redi tunjuk. “Oh… itu RT. 16.”
Agra pun tidak menyia-nyiakan waktunya. Ia segera bergerak melewati tukang tambal ban tanpa ada yang melihat.
Tidak berselang lama, ia sudah ada di depan pintu rumah Paman Momon.
Pintunya sendiri ada di samping, jadi pandangan tukang tambal ban tidak akan sampai sana.