Agra menghentikan langkahnya ketika sudah sampai di pinggiran toko. Ia lantas mengeluarkan sebuah barang dari saku celananya.
“Lihat ini!” kata Agra sambil mengulurkan sebuah jam tangan dengan strap kulit, memperlihatkan kepada Redi.
“Jam tangan siapa?” tanya Redi.
“Punya Paman Wicak. Ini, aku yang menggoresnya.” Agra menunjuk sebuah goresan berbentuk W pada permukaan strap jam tangannya.
“Hmm. Berarti kecurigaanmu benar. Tapi, berarti Paman Wicak tidak ada di dalam rumahnya ya?”
“Tidak ada. Bahkan, jejak pun tidak ada.”
“Ada yang aneh mungkin?”
“Minyak goreng.”
“Ha? Minyak goreng lagi?”
“Ehm. Dia menyimpan beberapa kardus minyak goreng di dalam dapur rumahnya. Aku sempat menggeledahnya tapi tidak ada apa-apa kecuali menemukan jam tangan ini di bawah tumpukan kardusnya.”
“Hmm.” Redi menghela napas. Ia memang sudah curiga, pasti ada sesuatu dengan minyak goreng ini.
“Ya sudah. Berarti kita tinggal fokus saja mengintainya. Siapa tahu dia akan menuju ke tempat lain selain rumah,” imbuh Redi.
Sayangnya, sampai tanggal sembilan mei pun Paman Momon tidak menunjukkan gelagat akan pergi ke tempat lain selain warung dan rumahnya.
>
Pagi itu, tepat tanggal 10 mei 1998, Agra tampak lesu mendatangi toko Ayah Mila.
Melihat ekspresi Agra seperti itu, Mila pun mencoba menghiburnya. “Hei, jangan lemas begitu. Ayo semangat, pasti hari ini kita menemukan sesuatu.”
“Ehm.” Agra hanya menyahut singkat. “Naiklah.”
Pagi itu, Redi memang sedang kedatangan orang tuanya. Jadi, ia tidak bisa menemani Agra.
Akhirnya, Agra pun menepati janji, menjemput Mila untuk menemaninya mengintai Paman Momon lagi.
Di atas motor, Mila berkata, “Redi juga sudah menghubungi polisi kenalan Bapaknya, ‘kan? Tenanglah, aku yakin, sebentar lagi Paman Wicak akan ditemukan.”
“Semoga saja,” jawab Agra masih dengan suara lemah.
Mila jadi ikut sedih melihat Agra begitu. Lantas, ia pun mengeluarkan kotak makanan yang ia bawa di dalam tasnya.
Kotak makan itu dibuka hingga roti dengan selai coklat terlihat.
Gadis itu mengambil satu potong kecil kemudian menyodorkannya ke mulut Agra yang mengemudi motor di depan. “Ini, makanlah.”
Agra terkejut karena Mila tiba-tiba tangan Mila menjulur ke depan begitu. “Apa ini?”
“Sudah makan saja. Aaaa…?!”
Laki-laki itu akhirnya memakan roti itu dan mengunyahnya.
“Eh, benar masuk ke mulut, ‘kan?” tanya Mila ragu-ragu.
Agra tidak menjawab, ia justru tersenyum setelah mengetahui bahwa itu adalah roti isi selai coklat favoritnya.
“Hei, sungguhan masuk atau jatuh tadi itu?” tanya Mila lagi.
“Mana bisa jatuh? Bukannya tanganmu ikut masuk ke mulutku tadi?” Agra bertanya balik dengan nada pura-pura marah.
“Eh? Iya kah?” Mila justru tidak enak sendiri, polos sekali percaya kepada Agra. “Maaf-maaf kalau begitu.”
Agra tersenyum tipis. Lalu, Mila berkata lagi, “Mau berhenti dulu tidak? Biar makannya enak?”