<11 Mei 1998>
Pagi harinya, di salah satu kamar rumah sakit, Agra tampak sudah membantu Paman Momon sarapan.
Redi pun terlihat masuk ke ruangan rawat inap itu setelah melakukan panggilan telepon.
“Mila belum datang?” tanya Redi heran. Mengingat, katanya kemarin gadis itu akan datang pukul tujuh, sedangkan ini sudah pukul delapan pagi.
“Belum. Lelah mungkin, biarkan saja. Kau pergilah kalau mau pulang mandi,” jawab Agra.
“Iya, Red. Terima kasih sudah merepotkanmu.” Paman Wicak ikut menimpali.
“Santai saja, Paman. Pamannya Agra ‘kan Pamanku juga. Iya, ‘kan?” Redi menyenggol lengan Agra dengan manja, mencoba bercanda.
“Najis!” ucap Agra ketus sambil menyingkirkan lengannya.
Redi mendengus, membuat Paman Wicak tersenyum lebar. Redi memang selalu seperti itu orangnya, penuh canda, cocok sekali dengan Agra yang datar dan dingin.
Mendengar suara ribut Agra dan Redi, seseorang yang baru datang berceletuk, “Apa ini? Pagi-pagi sudah ribut saja kalian.”
Agra, Paman Wicak dan Redi menoleh. Mila tampak tersenyum membawakan buah untuk menjenguk.
“Nah. Panjang umur. Baru juga dibicarakan.” Redi mulai lagi.
“Pantas saja kelopak mataku berdenyut. Ternyata kalian yang membicarakanku?” ucap Mila sambil berjalan mendekat ke arah ranjang.
“Agra tuh. Dia sudah rindu, dari tadi yang ditanya kapan Mila datang begitu,” jawab Redi asal, membuat Agra menyenggol lengannya sambil protes, “Siapa?”
“Oh… Ingat aku juga ternyata?” Mila berceletuk ikut menggoda Agra juga.
“Oh iya, Paman. Ini, Mila bawakan buah, sudah dikupas, tinggal makan. Semoga Paman cepat sembuh ya?” imbuh Mila sambil menyodorkan rantang empat susun berisi buah.
Agra pun meraih rantang itu menggantikan Paman Wicak.
“Terima kasih, Mila. Maaf sudah merepotkan,” jawab Paman Wicak.
“Tidak ada-apa, Paman. Oh iya, maaf, Ayah belum bisa hadir karena sibuk mengurus sesuatu.”
“Sampaikan terima kasih kepada Ayahmu nanti ya?”
“Pasti, Paman.” Mila tersenyum manis, tapi Agra melihat hal yang tidak biasa di bagian matanya.
Mengetahui bahwa sahabatnya memandang perempuan sampai sebegitunya, Redi pun menyenggol lengan Agra. “Ada yang tidak berkedip nih.”
Agra dan Mila menoleh, menatap Redi yang hanya menutup mulut menahan senyum.
“Jangan aneh-aneh. Pergi mandi sana!” sergah Agra kesal.
“Oh mau pergi?” tanya Mila.
“Iya. Dari tadi aku diusir oleh dia ini.” Redi menjawab sambil melirik Agra.
“Bisa tunggu sebentar? Aku mau bicara dengan Agra dulu, biar Paman Wicak tidak sendirian,” pinta Mila, membuat Agra menoleh, bergumam dalam hati, ‘Mau bicara apa?’
Redi yang suka sekali menjodohkan mereka pun langsung mengiyakan. “Oh… Iya-iya, pasti bisa kalau itu. Silakan kencan, eh, maksudnya bicara berdua.”
Agra menatap kesal sekali lagi sahabatnya itu. Redi hanya cengengesan.