LARA 1998

WiRahayuSsi
Chapter #13

Akhir Cerita LaRa

“Coba kamu cari, Gra. Daerah jalanan menuju rumah sakit ini kerusuhannya parah,” kata Paman Wicak menganjurkan.

“Iya, Paman. Aku pergi dulu.” Agra yang sudah sangat khawatir pun segera beranjak.

Namun, di depan pintu, Redi membuatnya menghentikan langkah. “Gra, tunggu!”

“Apa?” tanya Agra dengan ekspresi kesal. “Aku sedang buru-buru ini, Red.”

“Iya, tahu. Ini, bawa ini. Nanti kalau Mila sudah sampai di sini, aku akan menghubungimu,” jawab Redi sambil mengulurkan telepon genggam miliknya.

Agra meraih telepon genggam itu, menatap Redi. Sambil tersenyum tipis, ia menepuk pundak sahabatnya itu dan berkata, “Thanks, Red.”

Laki-laki yang menggunakan kemeja warna biru itu pun segera berlari meninggalkan Redi.

Melihat Agra tersenyum begitu, Redi jadi merinding sendiri, memegang tengkuk lehernya sendiri. “Astaga, bisa tersenyum juga itu manusia?”

“Ck. Ck. Ck.” Redi berdedak, kemudian berjalan kembali ke ruang Paman Wicak sambil masih terheran juga.

>

Sementara itu, Agra sudah berlari menuju ke tempat parkiran motor, bergegas karena firasatnya buruk sekali saat itu.

“Kamu di mana, Mil?” gumam Agra sambil memacu motornya meninggalkan rumah sakit.

>

Di sebuah jalanan terlihat kendaraan umum sudah terbakar, mengeluarkan asap hitam diiringi oleh sorak-sorai orang-orang yang menjadi pelaku pembakarannya.

Seorang lagi tampak menangis, duduk di atas aspal meratapi kendaraan yang sudah menjadi saksi bisu perjalanannya mencari nafkah selama ini.

Di pinggiran dinding salah satu bangunan pinggir jalan, seorang gadis terlihat takut-takut mengintip pemandangan mencekam tadi.

Ya, Mila ternyata benar-benar terjebak di kerusuhan di area itu saat akan menuju rumah sakit.

Gadis yang memakai kemeja warna kuning itu harus turun dari kendaraan karena tetap memaksakan diri melanjutkan langkahnya menuju rumah sakit.

Padahal, orang-orang sudah menyarankannya untuk tidak memasuki area kerusuhan itu dulu.

“Ayo, Mil. Jangan takut,” gumam Mila sambil menepuk kedua pipinya sendiri, menguatkan diri.

‘Demi Agra, kau harus berani!’ imbuh Mila dalam hati.

Mengingat, jika tidak sekarang, ia tidak tahu kapan lagi bisa bertemu Agra.

Bagi Mila, kerusuhan itu tidak lebih menakutkan daripada rasa menyesal yang akan ia tanggung seumur hidup jika tidak bicara dengan Agra sebelum pergi. 

Setelah meyakinkan diri, Mila pun segera berjalan melewati gang-gang pertokoan dan menghindari jalan besar.

Pikirnya dengan begitu mungkin ia akan sedikit aman.

Tapi nahas, yang terjadi justru sebaliknya. “A-apa yang terjadi?” Mila tidak habis pikir dengan apa yang ia lihat.

Banyak toko yang sedang ia lewati sedang mengalami penjarahan dan pembakaran.

Hari itu, ia tahu kalau masyarakat tengah melakukan protes untuk menuntut keadilan penembakan mahasiswa yang tewas kemarin.

Tapi, ia tidak tahu, kalau isu lain telah berkembang. Sebuah isu sentimen etnis Tionghoa yang sengaja dipantik oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.

Ya, saat itu, Mila melihat banyak sekali toko milik orang etnis Tionghoa dijarah.

“A-apa yang -” Gadis itu tidak sampai hati melanjutkan perkataannya.

Ia sampai menutup mulut dengan tangan bergetar seketika matanya menatap pemandangan yang mengerikan.

Bukan hanya barang-barang dan harta benda yang dijarah, melainkan ada juga beberapa oknum yang menyeret perempuan keturunan etnis Tionghoa secara paksa.

Saat masih tertegun dengan apa yang terjadi di depan matanya, tiba-tiba saja seorang laki-laki kerusuhan melihat dan berteriak, “Woi, China!”

Dengan raut wajah begitu terkejut, Mila seketika berlari karena orang yang berteriak tadi sudah beranjak mengejarnya.

“Woi, itu kejar!” seorang laki-laki lagi terdengar berteriak di belakangnya.

Sambil berlari, Mila menoleh ke belakang. Ternyata, ada beberapa orang laki-laki mengejarnya.

Gadis itu semakin panik, mengencangkan larinya, melewati gang-gang secepat kilat sambil air matanya sudah menetes.

“Kejar-kejar!” orang-orang itu terus saja mengejarnya.

Di perempatan gang, Mila berbelok ke gang lain, mencoba menghilangkan jejak.

Para pengejar, setidaknya ada tiga orang laki-laki itu akhirnya sampai juga di perempatan gang itu.

Mereka melihat ke semua sisi jalan, mencari Mila. Sayangnya, tidak terlihat sama sekali sosok gadis itu.

“Sial, di mana perginya?” ucap seorang laki-laki kesal.

Mila ternyata ada di balik tempat sampah, yang ada di gang sebelah kanan perempatan gang itu.

Gadis itu menutup mulut sambil berderai air mata karena takut.

Saat langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya, tangannya bergetar.

Dalam hati, ia memanggil-manggil Agra terus menerus, ‘Gra, tolong!’

Setelahnya, suara laki-laki lain terdengar, “Hei, ayo ke sana!”

Suara langkah yang tadinya mendekat pun berhenti dan menjauh, membuat gadis itu melemas, sisa-sisa kegugupannya masih tersisa, seolah nyawanya sudah hilang separuh.

Tidak mendengar suara lagi, Mila pun memberanikan diri mengintip ke arah perempatan gang.

Namun, saat itulah, suara langkah kaki terdengar dari arah belakangnya.

Pundak Mila terjingkat, begitu terkejut. Badannya bahkan sudah gemetaran, takut sekali kalau langkah kaki di belakangnya itu milik orang yang mengejarnya tadi.

Sebelum kemudian, suara tidak asing terdengar, “Mil…!? Mila…?!”

Gadis itu segera menoleh ke belakang, menatap laki-laki yang berlari ke arahnya.

“Gra…?!” ucap Mila lirih sambil berderai air mata, begitu lega.

“Kau tidak apa-apa? Kenapa di sini?” tanya Agra sambil duduk jongkok, memegang kepala Mila.

Gadis itu tidak bisa berkata-kata, tangisnya justru pecah, reflek memeluk Agra sambil terisak.

Tangan Agra awalnya ragu memeluk balik. Tapi, karena tangis Mila begitu terdengar menyakitkan, ia pun memeluknya balik sambil berkata, “Hei, kau kenapa? Ada yang berbuat jahat kepadamu?”

Mila menggelengkan kepalanya, terasa oleh Agra gerakannya.

“Lantas kenapa menangis begini?” tanya Agra lagi, tapi Mila tetap tidak menjawab apa-apa.

Lihat selengkapnya