Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat

Dhea FB
Chapter #2

BAB I Bagian 1: Di Kota Kelahiran Kama

Saat Ini

Hujan turun sangat deras di kota kelahiran seorang pria bernama Kama. Aku baru saja tiba sore tadi menggunakan kereta setelah 7 jam perjalanan dari kota asalku. Tentu bukan tanpa alasan aku datang kemari. Lara, seorang sahabat yang kukenal sejak kecil telah menitipkan kisahnya untuk aku sampaikan kepada Kama. Lara bilang, sebagai satu-satunya sahabat yang ia punya, harus aku sendiri yang mengantarkan cerita ini. Harus aku yang bertemu langsung dengan Kama dan mendengar semua alasan Lara pergi kembali ke kota kelahirannya, meninggalkan Kama begitu saja. Jika Lara yang menjelaskannya langsung kepada Kama, ia takut pria itu bahkan tidak akan membukakan pintu rumahnya untuk Lara, karena berdasarkan cerita yang kudapat dari Lara, kesalah pahaman yang terjadi di antara mereka sudah sangat menyakiti hati seorang pria yang lebih sering disebutnya Tuan itu.

Berbekal alamat rumah yang diberikan Lara kepadaku sehari sebelumnya, aku tiba di depan rumah tua sederhana dengan halaman luas yang ditumbuhi rumput gajah kecil. Inilah rumah Kama. Melihat bangunannya seketika mengingatkanku kepada Lara, betapa dia sangat menyukai bangunan-bangunan model tua, bahkan ingin merasakan bagaimana kesunyian tinggal di dalamnya.

Aku membunyikan bel di samping pagar yang tampaknya merupakan aksesoris tambahan karena terlihat seperti baru beberapa bulan dipasang. Hujan sudah mulai reda, menyisakan gerimis kecil yang bila terlalu lama berdiri di bawahnya juga tetap bisa membuat bajuku basah. Beruntungnya ini hari Sabtu. Seperti yang kutahu dari cerita Lara, Kama sedang libur dari pekerjaannya sebagai perancang model sepatu – meski masih pegawai kontrak di sebuah perusahaan lokal. Dan benar saja, tak butuh waktu lama, daun pintu terbuka dari dalam rumah yang kemudian menampakkan sosok pria bertubuh jangkung dengan kulitnya yang kecoklatan. Ia berjalan ke arahku dengan raut wajah bingung yang sangat jelas terlihat. Matanya sayu, tapi terasa teduh. Aku tersenyum. Tidak salah lagi, sebuah gelang Baduy yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kanannya menyakinkanku bahwa inilah Kama. Seorang pria yang diceritakan Lara selama berbulan-bulan kepadaku.

“Maaf, cari siapa?” pria itu bertanya dengan pagar geser setinggi bahu berwarna putih yang masih menjadi pembatas antara kami.

“Aku Sarah, temannya Lara. Apa ini benar rumah Kama?” aku menjawab dengan lancar.

“Oh. Ya, saya Kama.”

“Boleh aku masuk? Ada yang ingin kusampaikan padamu.” Aku langsung menembaknya dengan permintaan tanpa malu. Tapi ia terlihat tidak terkejut padahal privasinya sudah aku ganggu. Saat mengingat kejadian ini, aku merasa malu sekali. Tapi biarlah, toh ini semua terjadi karena rasa gerogi yang berusaha kututupi. Lagi pula, ini masih lebih baik dari pada rasa canggung.

“Sebentar.” Ia kembali masuk ke dalam rumah dengan cepat, berkejar-kerjaran dengan hujan yang mulai kembali datang. Tanpa lama, pria yang sejak awal kulihat memakai celana olahraga hitam dan kaus hitam polos itu kembali datang ke arahku untuk membuka gembok pagar yang sepertinya tidak ia buka sejak pulang kerja kemarin malam.

“Ayo, kita bicara di dalam sebelum hujannya kembali deras.” Pintu gerbang pun terbuka.

Aku terkagum heran pada pria satu ini, bahkan saat baru selangkah menginjakkan kaki di dalam rumahnya. Bukan karena desain rumahnya yang indah – karena dari luar ini lebih nampak seperti rumah tua tak berpenghuni – tapi karena kebanyakan dari isi rumah ini sangat mengingatkanku pada Lara. Seperti langsung bisa kubaca betapa Kama memiliki perasaan yang sangat dalam pada Lara, karena ada banyak hal yang disukai oleh Lara yang menyatu dengan rumah ini. Atau hanya perasaanku saja? Atau pada dasarnya selera mereka memang sama?

Saat memasuki pagar, ada halaman kecil yang dipenuhi rumput dengan batu-batu sebagai jalan setapak menuju satu-satunya bangunan yang dikelilingi pagar setinggi bahu orang dewasa ini. Di ujung jalan setapak ada dua buah anak tangga yang membawa kita menuju teras depan sebagai ruang terima tamu. Dua kursi kayu menghiasi sudut teras ini, dipisahkan oleh sebuah meja kayu kecil yang cukup untuk menyajikan kudapan dan dua cangkir kopi hangat. Muka rumah yang sederhana sekali, sesederhana riasan wajah Lara yang kukenal.

Memasuki rumah, aku semakin yakin bahwa pemilik bangunan bertembok serba putih ini adalah Kama yang Lara ceritakan. Ia menghiasi dinding utama di ruang tamu kecil dengan sebuah gitar usang yang berdasarkan cerita Lara, aku tahu gitar itu adalah gitar pertama yang dibeli Kama untuk belajar meluluhkan hati seorang Lara. Siapa kira pria super dingin itu berubah romantis di tahun kedua setelah mereka berjumpa? Tiba-tiba sudah mahir saja memetikkan lagu Awake milik Secondhand Serenade, yang hanya Lara ceritakan pada Kama betapa ia sangat menyukai penyanyi asal California tersebut.

Tak jauh di bawah gitar yang menggantung, di pojok dinding ada sebuah meja rias tua dengan cermin berbentuk oval yang berdiri menyatu pada meja dan menghadap langsung kearah pintu masuk. Warna meja rias ini cokelat, mirip dengan sepatu yang bersandar pada tembok putih di sampingnya. Satu lagi kenangan tentang Kama yang selalu disebut oleh Lara adalah sepatu itu. Sepatu cokelat yang terlihat usang hingga tampak serasi bersanding dengan meja rias itu. Lara selalu suka saat Kama memakai sepatu cokelat yang umurnya genap 8 tahun dari awal kepemilikan oleh Kama. Rentang waktu yang lama membuat Kama banyak menapaki kenangan bersama sepatu itu, yang jelas salah satunya adalah bersama Lara. Maka Lara katakan bahwa ia sangat menyukai Kama dengan sepatu itu, karena sebagian besar kenangan mereka disaksikan oleh sang sepatu cokelat.

Lihat selengkapnya