Saat Lalu
Pagi itu kukira adalah pagi yang biasa dengan rutinitasku yang juga biasa. Bangun tidur, merapikan ranjang, pergi ke kamar mandi untuk sikat gigi dan membasuh muka, lanjut menuju dapur untuk membuat saparan porsi satu orang – karena aku tinggal sendiri – dan duduk di ruang makan dengan secangkir teh hangat dan sepiring roti lapis. Biasanya aku akan menikmati aroma teh melati yang kubuat sebelum menyeruputnya. Namun pagi itu, baru saja ku peluk secangkir teh itu dengan kedua telapak tanganku, ada sayup-sayup suara memanggil dari pintu depan. Seorang tamu di pagi hari? Tidak seperti biasanya.
Oleh karena hal tidak biasa itu, aku meletakkan kembali teh melati yang belum sempat kuhirup aromanya itu. Rasa penasaran dan berharap salah dengar membawaku pergi menuju pintu depan untuk memastikan suara seseorang memanggil namaku itu benar adanya atau tidak. Oh, dan kebetulan juga, aku belum mematikan lampu depan. Sungguh kebiasaan yang buruk. Maka tanganku dengan cepat menekan tombol off pada saklar sebelum kemudian membuka pintu.
Aku benar terkejut bukan main! Ternyata pendengaranku masih cukup baik pagi itu. Dialah Lara, seorang yang memanggil namaku dari pintu depan saat sinar matahari bahkan masih di langit dan belum menyentuh tanah. Senyum yang dia berikan spontan membuatku membalasnya dengan peluk. Sudah hampir empat tahun kami tidak bertemu. Selain pesan elektronik yang kudapat tanpa waktu yang pasti, tidak ada lagi cara kami berkomunikasi. Aku juga tidak bisa sengaja mengunjunginya karena dia pergi merantau ke kota yang jauh sekali. Lima jam perjalanan dari kota kecil kami untuk sampai ke kota tempatnya merantau.
Ah, setelah pelukan haru tanpa suara itu, aku mengajaknya masuk langsung ke dapur. Aku hendak membuatkannya sarapan seperti yang kubuat sebelumnya. Lara duduk di bangku makan, memerhatikanku membuat roti lapis dan secangkir teh melati.
“Kamu sudah bisa masak sekarang, huh?” ledeknya padaku.
“Ya aku bisa mengandalkan siapa lagi selain diriku sendiri sejak kamu pergi? Seperti yang kamu tahu orang tuaku harus pindah ke luar kota sejak kita kuliah.” Jawabku mencoba tidak terpancing dengan ledekannya.
Ya, Lara memang pandai memasak. Keahliannya itu ditularkan langsung oleh neneknya, wanita paruh baya yang menjadi tetanggaku sejak keluarga kami pindah ke kota ini. Tempat tinggal Lara dan kedua orang tuanya tidak sama dengan tempat tinggalku dan sang nenek. Jaraknya lumayan jauh, tapi sejak kecil Lara disekolahkan di lingkungan sini.
Lara adalah anak tunggal dari orang tua yang cukup sibuk dengan pekerjaan mereka, tapi tidak lepas tanggung jawab untuk membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu meskipun mampu menyewa seorang pengasuh anak, orang tua Lara lebih mempercayakan sang nenek untuk menjaga Lara. Beruntungnya, sang nenek juga tinggal sendiri dan ... ya, mereka bisa saling melengkapi.
Aku menyusul Lara dengan membawa secangkir teh melati dan sepiring roti lapis.
“Jadi, bagaimana? Mengapa bisa sampai ke sini? Liburan?” tanyaku tanpa basa basi sembari meletakaan piring dan cangkir berisi karyaku ke hadapannya.
“Hmm ... ya, bisa dibilang begitu. Apa ini? Roti lapis? Kamu bisa membuatnya lebih baik dariku? Apa ini juga resepku?” Lara menjawab cepat pertanyaanku dan langsung mengalihkannya ke topik lain. Aku tahu itu. Aku hapal sekali.
“Baiklah, nona. Kamu benar! Hahaha,” aku mencoba membaur.
Kami pun menghabiskan sarapan pagi itu tanpa obrolan. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku pada Lara. Matanya yang kecokelatan, hidungnya yang tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil, bibirnya yang dipoles lipstik warna merah bibir yang lembut, rambut panjangnya yang ditata bergelombang pada ujungnya, adalah benar Lara yang sudah berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru di kota sana tanpa mengubah sifat atau rupa aslinya. Ia terlihat semakin dewasa dengan penampilannya saja.
“Berapa hari kamu di sini?” tanyaku.