Saat Lalu
Mendengar Lara bercerita adalah hal yang aku suka. Mata cokelat itu selalu terlihat berkilau di setiap cerita yang ia bawa. Padahal Lara adalah seorang yang pendiam, tapi saat bercerita, mulutnya tidak pernah kehabisan kata-kata. Seperti tidak ada lelah atau kehabisan nafas, Lara selalu terlihat hidup dan menyala saat sedang bercerita.
Namun hari ini, Lara sedikit berbeda. Cerita yang ia bawa tentang Tuan, memberikan sedikit kehidupan tapi juga kematian – rasanya yang mati. Sumringahnya nyata, tapi juga beda. Seperti ada yang ditutupinya, tapi aku tidak tahu apa. Aku tidak berhasil menemukan Lara yang ‘hidup’ saat bercerita tentang Kama. Matanya sayu, seperti cerita itu sudah sangat layu. Ada apa, Lara? Ada apa dengan si Tuan? Sebenarnya ini cerita yang masih hidup, atau yang sudah mati?
“Si Tuan ini nyata bukan?” aku memotong cerita Lara saking penasarannya.
“Tentu dia nyata. Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Apa dia sudah menikah? Atau dia pergi jauh?”
“Sa, aku belum selesai cerita. Tunggulah. Dengarkan dengan seksama.”
Aku menyenderkan punggungku. “Baiklah. Lanjutkan.” Saat itu juga aku tahu, ada akhir yang tidak bahagia dari cerita Lara ini.
“Saat tiba di bioskop, aku lapar sekali. Si Tuan yang memesan tiket, sementara aku menunggu di kursi dekat pintu masuk. Saat kembali, dia bilang filmnya masih akan tayang satu jam lagi. Oh betapa leganya aku! Aku mengajaknya makan sembari menunggu filmnya diputar.”
“Kamu yang mengajaknya?!” aku terkejut!
“Iya! Betapa agresifnya aku! Tapi aku lapar sekali karena hujan sore sebelumnya menghalangi jalanku untuk membeli makan.”
“Apa di kantormu tidak ada makanan sama sekali?”