Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat

Dhea FB
Chapter #6

BAB I Bagian 5: Tentang Lara yang Berubah

Kota besar adalah tempat yang paling seram bagi seorang Lara. Gedung kaca tinggi yang menutupi pohon dari matahari, adalah salah satu hal yang sebenarnya ia benci. Lara yang sedari kecil akrab dengan tumbuhan merasa pohon harusnya lebih besar dari gedung. Yang membuat teduh dan tempat bergantungnya manusia untuk bernafas itu haruslah diberi ruang yang besar. Pantas saja kota besar berebut oksigen. Dan syukur saja manusianya masih bisa bertahan dengan satu dua pohon di pinggir jalan. Tapi, apa tidak pengap?

Bunga-bunga cantik yang biasa ia lihat setiap bangun tidur, ia cium harumnya, dan ia belai daunnya, hanya bisa ia nikmati lukisannya di kota besar. Mungkin beberapa selang waktu kemudian barulah ia bisa mengisi rumah kos kecilnya dengan beberapa pot bunga yang tahan disimpan dalam ruangan seperti sansevieria dan anggrek bulan. Pojok jendelanya jadi tidak sepi lagi sejak kehadiran dua tanaman yang ia perlakukan dengan baik.

Namun seringnya ia juga merindukan suasana alam yang luas. Seperti misalnya taman luas di pinggir sungai sehingga suara ribut yang ia dengar hanyalah suara air sungai. Sementara bertahun-tahun tinggal di kota besar yang dilihatnya hanyalah taman di tengah kota yang berisik dengan suara kendaraan berlalu-lalang.

Lara berusaha kuat di hari pertamanya tiba di kota besar. Mana bisa ia mengeluh saat kakinya sudah mantap melangkah? Ia tidak boleh cengeng, seperti kata nenek. Tidak perlu ada yang ditangisi saat kakinya sudah mantap melangkah pergi, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Karena jika ia menangis, kakinya malah akan berat melangkah. Jika ia menangis, dan masih dipeluk tempat sebelumnya, bagaimana bisa dia berjalan di tempat yang baru?

Lara jadi ingat mimpi pertamanya yang ia ceritakan pada nenek,

“Lara ingin jadi anak desa saja. Tinggal di desa kecil dekat hutan dan sungai, berkebun sayur sendiri, berternak sapi dan ayam sendiri, lalu memanennya sendiri untuk kemudian diolah menjadi makan pagi, siang, dan malam bersama nenek. Sampai saat itu, nenek harus bersabar tinggal di tengah kota kecil seperti sekarang dan berbesar hati menyaksikan tanaman nenek tumbuh di dalam pot.”

“Haha. Itu mimpi yang merepotkan, Lara.”

“Loh, justru bagus, kan? Lara akan belajar menjadi anak yang mandiri dan tidak lagi merepotkan nenek.”

“Kalau kamu sibuk di kebun dan peternakan, siapa yang akan menemani nenek?”

“Oh, ya, benar juga! Kalau begitu tidak jadi. Lara tidak ingin jadi anak desa dan punya peternakan. Nenek mau Lara jadi apa?”

“Jadilah Lara yang bahagia. Lara yang melakukan suatu pekerjaan karena kamu suka, bukan karena terpaksa. Kalau Lara suka melakukan pekerjaan itu, Lara juga akan merasa bersyukur berapapun imbalan yang didapat, mau hidup sederhana atau kaya raya, Lara akan bahagia karena melakukan pekerjaan tanpa dipaksa.”

“Kalau begitu, mimpi Lara sudah terwujud. Lara sudah bahagia sekarang, bersama nenek!” Lara kecil berseru. Nenek tertawa.

“Yasudah, sekarang Lara bantu lap piringnya dengan kain bersih. Sebentar lagi makan siangnya jadi. Kita tata dengan rapi di meja makan, ya.”

“Siap, Nek!”

Waktu itu Lara tidak tahu benar maksud nenek. Hidup bahagia baginya saat itu benar-benar sederhana; tinggal bersama nenek saja. Lara kecil tidak pernah berfikir akan bertemu seorang pria, menjalin hubungan, menikah, apalagi pindah ke kota besar. Lara kecil tidak pernah punya mimpi yang besar, tidak pernah punya tujuan yang jauh.

Sampai suatu hari, saat angin yang bertiup membuat bunga anggrek di halaman rumah nenek melambai-lambai – seolah menyapa seseorang – Ibu Lara datang membawa buah tangan. Dilihatnya Ibu berjalan dari gerbang melewati beberapa pot tanaman kuping gajah dan suplir, lalu tiba di depan pintu utama dengan bunga anggrek yang sudah kembali diam di sampingnya.

Ibu tidak perlu repot mengetuk atau membuka pintu karena ada Lara yang akan membukakan pintu terlebih dulu. Tepat di sebelah pintu ada jendela besar yang menjadi tempat favorit Lara menunggu Ibu datang untuk menjemputnya pulang. Jendela yang bisa memperlihatkan seluruh muka rumah itu terlihat gelap dari luar, tapi menampakkan muka luar dengan jelas dari dalam. Lara kecil tahu Ibunya akan datang di setiap jam lima sore. Maka sebelum jarum panjang menyentuh angka 12, Lara pasti sudah menunggui jendela besar itu menampilkan Ibunya yang datang.

Lara membuka pintu, selalu tepat sebelum Ibu yang buka. Ia akan menyambut kedatangan Ibu dengan penuh suka, tapi juga selalu enggan pulang dengan cepat. Maksud dari dirinya yang membukakan pintu adalah agar meminta Ibu untuk masuk. Duduk dulu, minum dulu, atau bahkan meminta Ibu untuk mencicipi kue buatannya dan nenek jika hari itu mereka membuat kue.

“Hari ini aku tidak punya kejutan untuk Ibu, tapi kita tidak boleh pulang cepat juga. Nenek masih tidur. Sshhhh.” Anak kecil itu membual alasan.

“Baiklah. Kali ini Ibu yang punya kejutan untuk Lara.”

“Benarkah? Apa? Lara suka kejutan!” gadis kecil itu seketika girang. Lupa kalau dia yang meminta tenang untuk tidak membuat nenek bangun dari tidurnya.

Lihat selengkapnya