Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat

Dhea FB
Chapter #8

BAB II Bagian 2: Di Kota Kelahiran Lara

Dari macam-macam tanaman yang ada di rumah Nenek Poppuri, aku paling suka tanaman suplir. Batang hitam kecil yang ditumbuhi rimbunnya daun hijau, tanah yang selalu lembab, serta pot cantik dari keramik putih berdesain puzzle yang menampungnya, adalah ciri khas yang membuat rumah Nenek terasa seperti ‘rumah Nenek’. Tanaman purba ini membuat lantai keramik merah milik Nenek jadi lebih indah – perpaduan antara merah dan hijau memang tidak pernah salah.

Apalagi, tanaman anggrek yang jumlahnya melimpah di sini, semakin memperkaya suasana ‘rumah Nenek’ yang bagi siapapun yang datang pasti akan merasakan ciri khasnya; bila datang ke suatu tempat dengan tanaman suplir dan bunga anggrek, pasti kau akan ingat rumah Nenek Poppuri.

Saat toko bunga di rumah nenek harusnya tutup karena hari Minggu, saat itu datang sebuah mobil bagus berwarna putih berhenti tepat di depan pagar rumah nenek yang juga berwarna putih. Aku baru selesai menyapu halaman depan dan membenarkan posisi beberapa pot tanaman kecil yang sepertinya dipindah posisi oleh kucing-kucing tetangga tadi malam. Dari sebuah mobil itu – yang sudah nampak tidak asing bagiku – keluar seorang perempuan anggun yang terlihat awet muda meski kutahu umurnya sudah tidak lagi muda. Ia adalah seorang yang kukenal bahkan dari bentuk sanggul rambutnya yang selalu sama selama bertahun-tahun, Nyonya Erna.

Entah kapan terakhir kali Nyonya Erna mengunjungi rumah ibunya – Nenek Poppuri – di hari Minggu seperti ini. Mungkin saat liburan terakhir kami ke Lampung? Mungkin juga tidak, itu sudah terlalu lama. Atau saat Nenek Poppuri meninggal dunia? Kurasa iya, yang berarti juga sudah sekitar dua tahun lamanya.

Aku bergegas saja menghampiri Nyonya Erna yang kelihatannya datang sendiri, mengemudi sendiri. Kemana Tuan Joe? Entahlah. Pertanyaannya kusimpan untuk bahan mengobrol di dalam.

“Aku tidak lama, biar mobilnya di luar saja.” Nyonya Erna menolak lebih dulu sebelum aku sempat menawarkan garasi luas Nenek di bagian timur rumah.

“Baik, tante. Silahkan masuk. Kebetulan sekali aku punya teh putih kesukaan tante. Biar sekalian kubuatkan terlebih dahulu.”

“Oh terima kasih, Sa. Semoga tidak merepotkan.” Nyonya Erna tersenyum dengan anggun.

Aku berjalan langsung ke dapur sementara Nyonya Erna duduk di ruang tengah. Benakku sudah melang-lang buana kemana-mana, bertanya-tanya apa yang membuat Nyonya Erna datang tiba-tiba. Apa ia berniat menjual rumah Nenek beserta toko bunganya? Ah, tidak mungkin. Ini adalah warisan Nenek yang mesti akan mereka jaga. Lagipula Nyonya Erna tidak dalam keadaan yang sedang membutuhkan uang warisan. Keluarga mereka sangat berkecukupan apalagi dengan Lara yang sekarang sudah bisa menghidupi dirinya sendiri di kota besar.

Sambil menyiapkan cangkir terbaik di rumah Nenek, aku masih betanya-tanya. Beruntung indera tubuhku sudah sangat kenal dengan dapur Nenek dan perabotan yang ada di dalamnya. Tanganku sudah tahu di mana letak cangkir keramik berwarna putih kuning dengan ukiran bunga daisy lengkap beserta tatakan dan sendok kecilnya. Ia juga tahu di mana bubuk teh putih yang baru kudapat tiga hari lalu dari seorang pelanggan tetap – yang juga adalah teman nenek – itu diletakkan, berapa takaran yang harus kuambil untuk membuatnya menjadi satu teko kecil teh, dan yang paling mengagumkan dari tubuhku adalah dia tetap bisa berhati-hari menuangkan air panas ke dalam teko berisi bubuk teh, lalu menuangkannya lagi ke dalam teko saji sembari disaring. Jadi, meskipun pikiranku fokus kepada pertanyaan-pertanyaan yang masih samar jawabannya, tubuhku masih tetap bisa fokus membuat teh untuk Nyonya Erna.

Jawaban yang paling tepat dari pertanyaanku adalah Nyonya Erna memang sengaja datang untuk menemuiku. Perihal apa yang ingin ia sampaikan adalah jawaban selanjutnya yang baru akan aku ketahui setelah Nyonya Erna meneguk teh putih hangat yang kusajikan.

“Enak sekali. Bisa kutebak Tuan Haki yang memberikannya padamu.”

“Terima kasih, tante. Benar sekali, beberapa hari lalu Tuan Haki datang membeli bunga dan memberikan teh itu. Apa rasanya begitu unik sampai tante bisa tahu teh itu dari Tuan Haki?”

“Ya. Teh putih seperti ini hanya Tuan Haki yang punya karena hanya dia juga yang membuatnya. Tuan Haki benar-benar punya kebun teh sendiri di Kota Dingin sana dan setiap habis panen, dia akan membuat tehnya sendiri, dan membagi-bagikannya kepada orang-orang terdekat.”

“Tidak dijual?”

“Tidak. Hahaha. Padahal kupikir ini peluang bisnis yang besar. Tuan Haki benar-benar dermawan.”

Lihat selengkapnya