Seorang gadis duduk diam di sebuah halaman kedai kopi dekat kantor Majalah Kana. Tulisan Kona Coffee terpampang jelas di atas pintu kaca yang menjadi pintu utama masuk ke kedai itu. Selain pintu yang terbuat dari kaca, seluruh dinding kedai juga terbuat dari kaca. Bangunan kedai itu transparan, siapapun yang berada di dalam kedai bisa melihat dengan jelas bahwa ada seorang gadis berambut panjang yang sedang duduk melamun di bangku-bangku depan kedai. Gadis itu juga mestilah bisa melihat bahwa orang-orang di dalam kedai sedari tadi menggunjing dirinya yang sudah hampir 3 jam duduk di sana tanpa memesan apa-apa. Meja di hadapannya bersih. Tidak ada kopi. Tidak ada kudapan manis.
Pemilik kedai bukan tidak tahu ada orang asing yang hanya memenuhi tempat duduk tanpa memesan apapun. Thomas, pria berumur 25 tahun yang baru merintis Kona Coffee nya itu, telah menantikan kehadiran orang asing itu.
“Akhirnya kamu datang,” Thomas tersenyum senang dari dalam kedai, di belakang meja barista, sudut paling jelas untuk memperhatikan gadis itu.
“Sudah tiga jam, pak. Dia tidak beranjak, pun memesan sesuatu dari kita. Sesuai prosedur, mestinya kita memintanya pergi atau memesan sesuatu untuk duduk di sana.”
“Jangan, jangan diusir. Biar saya yang bicara dengannya.”
Thomas bahkan tidak sadar juga bahwa sudah tiga jam ia memperhatikan gadis itu. Seorang gadis yang sudah dinantikannya berbulan-bulan, akhirnya akan ia sapa di waktu yang sudah senja, saat langit hampir kehilangan mentarinya.
“Bagaimana kota besar? Terlalu berisik, ya?” Thomas ikut duduk di bangku kosong sebelah gadis itu tanpa basa-basi lagi. Ia menaruh secangkir kopi di atas meja dan sepotong kue cokelat dengan potongan buah strawberry di atasnya.
“Siapa?” Gadis itu bertanya datar. Ia bahkan tidak punya tenaga untuk terkejut.
“Aku Thomas.” Pria itu tersenyum. “Kuperhatikan, mulutmu belum mengunyah apapun sejak pertama kali duduk di sini. Jadi kubawakan beberapa makanan untukmu. Silahkan.”
“Sedang apa di sini?”
“Memberimu kopi dan sepotong kue? Aku bekerja di kafe ini, tak perlu sungkan, aku yang traktir.”
“Aku tidak suka kopi.”
“Oh, kalau begitu kau suka apa? Teh...”
“Tapi akan merepotkan jika kau membuatkannya untukku. Aku bahkan tidak membelinya darimu.” Sang gadis memotong tawaran Thomas yang lain lalu mengambil cangkir berisi kopi yang asapnya masih mengepul tipis.
“Emh.” Wajah gadis itu berubah kecut setelah menyeruput Americano buatan Thomas.
“Kenapa? Terlalu panas?”
“Pahit.”
“Oh, maaf. Harusnya kubawakan kopi yang lebih manis lagi. Tunggu sebentar, biar kuambilkan minuman yang baru...”
“Tidak perlu diganti dengan yang baru.” Lagi, gadis itu memotong ucapan Thomas. “Aku masih bisa meminumnya. Terima kasih untuk kebaikanmu Thomas. Aku Lara. Mungkin mulai besok, kita akan sering berjumpa.”
Thomas urung beranjak dari duduknya. Sementara gadis itu, Lara, yang sedari tadi matanya berisi kekosongan, akhirnya mulai menatap Thomas, lalu tersenyum tipis.
“Aku baru saja datang dari sebuah kota kecil yang jauh dari sini. Sepertinya kau mengenaliku dari sebuah koper yang kubawa dan gaya berpakaianku yang norak. Benar, kan?”
“Tidak, Lara. Pakaian itu cocok untukmu. Kau terlihat sangat anggun.” Thomas memuji dress bunga-bunga berwarna mocca yang menjuntai ke bawah lutut Lara, yang juga dipadukannya dengan sepatu angkle boots cokelat.
“Ada lebih banyak macam gaya pakaian di kota besar, dan semua orang punya gayanya masing-masing, jadi tak perlu merasa norak.” Thomas tersenyum.
“Ah, aku cukup lega mendengarnya.”
“Jadi kau baru saja tiba?” Thomas basa-basi. Tentulah ia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya. Tentu juga ia tahu kalau Lara tidak tahu akan pengetahuannya. Mulai hari ini, sandiwara Thomas benar-benar dimulai. Berawal dari percakapan kecil yang terkesan tidak sengaja, berlanjut ke hubungan pertemanan, dan, ya, mendapatkan cerita akhir sesuai dengan yang direncanakan.