Saat ini.
Aku memperhatikan wajah Kama yang seketika mematung setelah mendengar ceritaku tentang Thomas dan Lara. Lewat mulutnya, tidak ada satu patah katapun yang keluar. Tapi dari matanya, aku melihat jutaan kata menguntai.
“Kamu boleh terkejut, Kama. Akupun begitu.”
“Tidak, Sa. Katakan saja kalau kamu tidak terkejut.”
“Oh, apa aku ketahuan?”
Mungkin aku sedikit jahat di sini, berusaha membuat Kama biasa saja padahal aku tahu dia pasti terluka. Siapalah pria yang tidak terkejut saat tahu orang yang dicintainya ternyata memiliki hubungan dengan orang yang selama ini berada dekat dengan mereka, tapi tidak pernah menunjukkan tampak aslinya? Bagaimana pula Kama tidak terkejut saat yang dia tahu Lara tidak pernah bertegur sapa dengan Thomas di setiap kesempatan mereka bertiga bertemu.
“Kenapa, Sa? Kenapa bisa-bisanya saya tidak tahu? Apa benar Lara hanya menganggapnya teman? Kenapa mereka seperti bersembunyi dari saya?”
“Tanya aku maka jawabanku adalah tidak tahu. Bagaimana bisa aku tahu?”
“Bukankah kamu di sini untuk menjelaskan semuanya? Kenapa bisa kamu tidak tahu?” Kama melirik ke arahku. Lirikkan mata tajam yang cukup seram. Oh, aku sungguh tidak ingin menyaksikan Kama tersiksa dengan ceritaku.
“Mereka tidak pernah menyembunyikannya, Kama. Memang di tiap kesempatan kalian bertemu, urusan kalian hanya sebatas penjual dan pembeli kopi, kan? Apa pernah kalian duduk bertiga? Tidak, kan?”